SERIAL pemeran tetap Galeri
Nasional Indonesia yang disiarkan daring menjadi alternatif belajar sejarah
seni rupa di nusantara. Melalui Youtube dan Instagram, pameran tetap daring
dari Galeri Nasional Indonesia ini ditata sejak masa awal Corona mewabah.
Kebijakan menutup kunjungan publik secara langsung masa itu lantas disambung
dengan pilihan tetap dapat mengapresiasi karya koleksi tetap negara lewat jalur
daring.
’’Koleksi tetap yang
dipamerkan daring terbagi menjadi tujuh ruangan,’’ terang Kepala Galeri
Nasional Indonesia Pustanto.
Menurutnya, tujuh ruang
tersebut terbagi berdasar periodesasi sejarah sejak Indonesia masih bernama
Hindia Belanda hingga tarikh 2000-an. Tiap ruang menampilkan karya semasa. Baik
semasa dalam konteks penciptaan karya dan tahun kelahiran mereka.
Pada ruang pertama bertajuk
Ruang Kolonialisme dan Orientalisme, disajikan koleksi seni rupa masa Hindia
Belanda, karya-karya Raden Saleh Sjarief Bustaman, dan seni rupa di Hindia
Belanda hingga awal abad ke-20. Kapal Karam Dilanda Badai yang
diperkirakan Raden Saleh lukis pada antara 1811-1880 ada dalam ruang ini.
Bagian ini juga menampilkan lukisan Abdullah Soerjo Subroto (1878-1941)
berjudul Telaga Warna yang dia ciptakan pada 1932. Dia adalah anak
angkat Dr Wahidin Soedirohoesodo yang menjadi pelukis istana Kraton Yogyakarta
sekaligus ayah dari dua pelukis hebat Indonesia, Soedjono Abdoellah dan Basoeki
Abdoellah.
Di ruang kedua bertajuk
Nasionalisme dan Dekolonisasi, pameran virtual ini menampilkan dinamika seni
rupa seiring terbangunnya kesadaran berbangsa di Indonesia. Karya dari para
aktivis Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan Kelompok Lima Bandung
yang lahir sebagai semacam perlawanan terhadap hegemoni pelukis-pelukis Eropa
ada dalam ruangan ini. Beberapa di antaranya adalah lukisan berjudul Tjap
Go Meh karya S. Sudjojono (1913-1986) buatan 1940, Ibu karya
Affandi (1907-1990) ciptaan 1941, dan karya Otto Djaya (1916-2002)
berjudul Pertemuanbertarikh 1947.
Di ruang ke empat, pameran
virtual koleksi tetap Galeri Nasional Indonesia menampilkan karya yang
terangkum dalam tema Pembentukan Identitas Nasional di periode 1950-an. Bagian
ke tiga pameran virtual ini menampilkan karya-karya seniman yang hidup di masa
itu. Tidak sedikit karya dalam bagian ini muncul dari periode setelah 1950-an.
Ada karya Ahmad Sadali (1924-1987) buatan 1980 berjudul Gunungan
Emas, Gunung Merapi dari Wonolelo karya Widayat (1923-2002) dari
tarikh 1974, juga ciptaan Srihadi Soedarsono pada 1964 berjudul Putih dan
Warna Emas. Masih ada empat ruang lagi yang akan hadir dalam pameran virtual
ini.
Di ruang 4 bertajuk Masa Transisi
Prahara Politik dan Kebudayaan 1960-an menyajikan karya di sekitar tegangan
antara estetika kerakyatan ala Lekra menjadi yang menghegemoni dengan gugatan
sejumlah seniman dan budayawan melalui Manifesto Kebudayaan yang menawarkan
semangat humanisme universal. Miniatur Patung Pembebasan yang berdiri megah di
lapangan Banteng ciptaan Edhi Soenarso menjadi salah satu koleksi di ruangan
ini. Ada pula koleksi karya Trubus Sudarsono, seniman hebat yang nasibnya gelap
seiring prahara 1965.
Di ruang ke lima bertajuk Orde
Baru dan Depolitisasi Kesenian 1970-an, jejak depolitisasi seni dengan semangat
eksperimental mendominasi karya yang disajikan. Selain abstrak, dekoratif, dan
liris, muncul pula para pelukis yang bereksperimen mengolah kanvas dengan
berbagai teknik dan material. Dalam perkembangannya, kemudian muncul sejumlah
seniman muda yang memilih sikap anti kepada yang liris dengan menyingkirkan
asosiasi terhadap alam, hidup, dan emosi. Karya Bagong Kussudiardja (1928-2004)
menjadi salah satu penghuni ruangan ini.
Di ruang enam, Masa Keemasan
Orde Baru: Puncak Pembangunan 1980-an menjadi tema besarnya. Ruangan ini
merekam bentuk-bentuk karya dari tahun 1980-an yang tumbuh pesat seiring pasar
seni rupa Indonesia. Karya-karya yang berkembang ke dalam bentuk-bentuk lukisan
dan patung dengan penggunaan teknologi sederhana, instalasi, video art,
fotografi, media campuran, pengolahan objek jadi, dan performance art muncul
pada masa ini. Karya dari Ivan Sagita, I Gusti Nengah Nurata, Lucia Hartini,
hingga I Nyoman Irawan ada dalam ruang ini.
Di ruang terakhir, pameran ini
menawarkan tema Globalisasi dan Demokratisasi dari tarikh 1990-an hingga
2000-an. Tumbuhnya kesadaran mengenai keberagaman seni di tengah globalisasi
yang sering disebut sebagai Internasionalisme Baru terekam dalam ruangan ini.
Antara lain adalah karya dari Hening Purnamawati (1960-2017), Semsar Siahaan
(1952-2005), hingga Eddie Hara.