Jari-jari bantat itu memoleskan bibirku dengan gincu. Pipiku disapunya
dengan perona merah. Sepasang kancing emas dijepitkan ke telingaku. Sekujur
tubuhku lalu disemprotnya dengan wewangian murah. Kemarin semua buluku dibabat
olehnya, terutama di daerah selangkangan.
————-
KATANYA, biar lelaki semakin bernafsu. Juga tak risi saat
menggagahiku. Diperiksanya rantai di tangan dan kakiku. Sudah terkunci
semuanya. Aku pun bersiap-siap. Melayani pria hidung belang yang mengidap
kelainan.
Mereka menamaiku Leoni. Umurku
sepuluh tahun. Yang mendandaniku tadi induk semang, mucikariku. Orang-orang
memanggilnya Mak Sum. Perawakannya pendek, perutnya buntal.
Mak Sum menemukanku di lahan
bekas kebakaran hutan di Kalimantan. Saat itu aku masih anak-anak dan
sendirian. Wanita tua itu lalu memungutku dan merawatku sejak itu.
Mak Sum tinggal dan berjualan
nasi di gubuk dekat kebun kelapa sawit. Para pekerja kebun sering datang untuk
makan atau mengaso di gubuknya. Tadinya Mak Sum bekerja seorang diri, tapi
kemudian ia dibantu Ayu, gadis yang didatangkannya dari Pulau Jawa.
Sejak kehadiran Ayu, gubuk Mak
Sum semakin ramai. Ayu tak hanya melayani pembeli nasi. Ia juga bekerja di
dalam gubuk menemani laki-laki. Pernah kulihat pantatnya bergoyang-goyang
bersama pelanggan hingga keringatan.
Lama-kelamaan berdatangan
gadis-gadis lainnya. Ada Siska, Lia, entah siapa lagi. Gubuk Mak Sum tak cukup
melayani pelanggan. Dibelinya tanah di sebelah gubuknya pakai uang rentenir,
lalu dibangunnya rumah semen beratap genting. Rumah Mak Sum makin terkenal.
Seiring membesarnya bisnis Mak
Sum, tubuhku juga demikian. Payudaraku bertumbuh, siklus berdarah datang. Mata
lelaki mulai jelalatan. Pernah ada yang meremas bokongku. Kata Mak Sum, itu
karena aku terlihat spesial. Berbeda.
Suatu sore, Mak Sum menerima tamu
seorang lelaki. Perawakannya kurus, dekil, dengan gigi berkerak sehitam jamban
tak pernah disikat. Mak Sum berkata kepadaku, “Ia bayar mahal untuk berkeringat
denganmu.†Tawanya pecah, lalu meninggalkan kami berdua.
Orang itu mendekatiku. Jakunnya
naik turun, bibirnya dibasahi ludah. Dadaku dibelainya, kemudian tangannya
meremas setiap gundukan dagingku. Celananya yang penuh sesak diturunkan. Isinya
disodok-sodokkan ke selangkanganku. Instingku membunyikan alarm bahaya, spontan
kugigit telinganya dan menendang perutnya sekuat tenaga.
Pria itu terpelanting,
menjerit-jerit. Mak Sum datang tergopoh-gopoh. Matanya hampir loncat ke luar
saat menemukan pelanggannya bersimbah darah, sementara selembar daging cokelat
kenyal berada di mulutku. Muka Mak Sum merah padam. Diambilnya kayu, lalu
diayunkan kuat-kuat ke tubuhku terus-menerus tanpa ampun.
Malamnya, sejumlah pria datang
menyeret rantai besi. Aku melawan saat mereka hendak memasangkannya padaku.
Namun, sebuah hantaman keras mendarat di bagian tengkuk dan dalam sekejap
duniaku gelap gulita.
***
Aku terbangun oleh suara makian
Mak Sum. Kudapati kedua tangan dan kakiku telah terpasung. Bulu-buluku habis
dicukurnya sampai gundul. Sekujur tubuhku perih bagai habis tergerus aspal
jalanan. Rasa nyeri juga menyerang kemaluanku seperti habis diobok-obok.
Kulihat darah menetes dari pinggir lubangnya.
“Kau akan terbiasa. Gadis perawan
juga begitu awalnya. Mulai besok kau akan bekerja seperti Ayu. Kuhabisi kau
kalau melawan!†sebilah parang besar dipamerkan ke wajahku.
Mulai detik itu, aku menjadi
manusia. Aku didandaninya. Aku juga diajari cara merayu pria. Kelebihanku
sebagai kerabat terdekat manusia membuatku mampu mengimitasi tindakan dan
beradaptasi dengan cepat.
Aku pun menjadi primadona. Para
lelaki bejat di rumah bordil Mak Sum tergila-gila. Pria-pria itu bilang, aku
adalah fantasi mereka. Bercinta denganku memberikan kenikmatan baru, mendobrak
batas moral yang dianggap tabu. Tak peduli jika dianggap sakit jiwa atau
tertular penyakit berbahaya.
Mak Sum sangat gembira. Aku
menjadi pencetak uang terbesarnya. Ia menyayangiku lebih dari gadis-gadis lain
di rumah bordilnya. Beberapa kali kutangkap pancaran iri di mata Ayu dan
teman-temannya.
Sungguh lucu, aku benar-benar
tertawa. Pesona mereka dikalahkan seekor primata. Jika semudah ini menguasai
manusia, bangsaku tak perlu berevolusi. Cukup mengangkang dan memainkan nafsu
mereka yang seperti binatang.
Orang-orang bilang manusia
ciptaan paling sempurna. Akal dan budi mereka membedakan dari makhluk lainnya.
Itu semua omong kosong. Mereka semua menjijikkan.
Akan tetapi, pendapatku berubah
saat bertemu pemuda yang satu ini. Ia datang di suatu pagi. Pemuda itu
mendekatiku dengan hati-hati dan memperkenalkan diri. “Namaku Adrian. Aku
takkan menyakitimu,†ujarnya lembut. Ia lalu berkata kepada Mak Sum. “Bisa
tolong tinggalkan kami? Akan kuberikan uang lebih nanti.â€
Mak Sum tersenyum iblis. Otaknya
membayangkan jumlah uang yang akan diterimanya. Sebelum pergi, ia membisikkanku,
“Bikin dia ketagihan biar datang terus ke sini.â€
Kemudian, seperti biasa,
kurentangkan kaki menunjukkan aset wanita. Namun, pemuda itu tak melorotkan
celananya. Ia hanya memandangku sedih. Dirapatkannya kakiku sambil berkata, “Mengapa
kau sampai begini. Mereka sangat biadab.â€
Tangannya lalu memeriksa mata,
telinga, serta bagian-bagian tubuhku yang korengan karena luka-luka dan gigitan
serangga. Setelah selesai, dipanggilnya Mak Sum. Tangannya menyerahkan uang dan
berpamitan. Mak Sum terheran-heran.
“Kok, cepat sekali?â€
“Besok saya kembali.â€
Mak Sum tersenyum menyeringai. “Baiklah.
Sudah dibuat ketagihan rupanya.â€
Pemuda itu melengos, lalu
ditinggalkannya Mak Sum dengan muka masam.
***
Keesokan paginya, pemuda itu
datang kembali. Kali ini tangannya menenteng sekeranjang buah-buahan. Mak Sum
memeriksanya. “Aku tak yakin ini dimakannya. Kegemarannya lauk dan nasi seperti
kita,†kata Mak Sum bangga, lalu meninggalkan kami berdua.
Pemuda itu menatap punggung Mak
Sum dengan sepasang mata menyala-nyala. Namun, saat melihatku, tatapannya
berubah. “Selamat pagi, Nona Leoni. Apa kabarmu hari ini?†sapanya ceria, lalu
mengambil tabung kecil dari sakunya. “Ini salep untuk mengobati koreng-korengmu.
Rasanya agak perih, tapi sangat manjur. Maukah Nona Leoni memercayaiku?â€
Kupamerkan sederet gigi besarku
sebagai jawaban. Ia pun tertawa. Usai mengoleskan salep, ditunjukkannya
buah-buahan yang dibawanya. “Kau harus mencobanya. Teman-temanmu menyukainya.â€
Disuapinya aku dengan buah itu. Kulahap dengan membabi buta.
“Sudah kuduga kau akan suka.
Inilah makananmu seharusnya,†katanya senang.
Begitulah di hari-hari
berikutnya. Adrian datang, namun tak meniduriku. Uangnya terbuang hanya untuk
mengajakku berbicara sambil menikmati buah-buahan yang dibawanya.
Pada hari kesepuluh, Adrian
muncul bersama serombongan orang yang memanggul senapan. Ia melepaskanku dari
belenggu rantai. Mak Sum histeris. Beberapa orang menahannya.
“Jangan takut. Kau akan tinggal
di rumah baru bersama teman-temanmu,†kata Adrian menenangkanku.
Digendongnya aku keluar. Di luar
rumah, puluhan orang bersenjata dan berseragam loreng membentuk barisan. Mereka
menahan orang-orang kampung yang bereaksi macam kerasukan setan, meminta agar
aku dirantai ke tempat semula. Sebagian dari mereka mengacungkan parang ke
udara. Kukenali wajah-wajah itu. Mereka adalah pelanggan tetapku.
Adrian memasukkanku ke dalam
mobil. Dari kejauhan kulihat Mak Sum meronta-ronta persis orang gila. Ia tak
rela aku dirampas begitu saja. Bayang-bayang rumah bordil Mak Sum pun perlahan
menghilang dari pandanganku.
***
Berbulan-bulan berlalu sejak
peristiwa penyelamatanku. Tak kutemukan lagi muka bulat jahat yang sibuk
menghitung uang hasil menjual diriku. Tak ada lagi gincu merah di bibirku. Tak
ada lagi tubuh-tubuh yang menindihku. Tak ada lagi rantai yang membelenggu. Dan
bulu-buluku dibiarkan tumbuh menjadi pakaianku.
Aku juga tak diberi sepiring lauk
dan nasi. Malahan disuruh ke pohon cari makan sendiri. Namun, aku tak tahu
memanjat dan berayun. Tangan dan kakiku lumpuh bertahun-tahun. Rantai besi
telah membuatnya mati suri. Aku hanya tahu membuka kedua kaki. Jadi, sepanjang
hari aku menunggu sampai manusia datang membawakan makanan.
Adrian bilang, di sinilah
tempatku, bersama hewan-hewan satu keluarga. Namun, aku tak bisa menyatu dan
merasa berbeda. Aku juga tak suka laki-laki bangsaku sendiri. Pernah seekor
pejantan muda mendekati, namun aku tak tertarik sama sekali. Di mataku rupanya
jelek, tak tampan seperti manusia.
Adrian melatihku agar jati diriku
kembali. Namun, kali ini sulit bagiku beradaptasi. Rumah bordil Mak Sum terlalu
lama menjadi habitatku. Kehidupan di sana keburu menyatu dengan darah dan
dagingku.
Dari waktu ke waktu, semangatku semakin
layu. Tubuhku menyusut menyerupai seonggok kulit yang membalut tulang-tulang
lesu. Pohon-pohon rimbun dan buah-buah ranum tak menggugah selera makanku. Aku
hanya ingin berbaring membisu. Gambaran dunia mulai meredup di mataku yang
sayu.
Adrian menatapku pilu.
’’Seharusnya aku lebih cepat membawamu keluar dari situ. Seharusnya aku yang
dulu menemukanmu,’’ katanya berkali-kali dan menyesali diri.
Hingga suatu pagi, kurasakan
sudah waktunya untuk pergi. Adrian menggenggam erat tanganku, menciumnya, lalu
menempelkan ke pipinya yang basah. Ah, tak seharusnya ia menangis. Ia adalah
ciptaan paling sempurna itu. Satu-satunya manusia yang menunjukkan adab berbeda
dari makhluk lainnya. Kupandangi lautan teduh di bola matanya untuk kali
terakhir. Tak lama, kelopak mataku turun dan menutup wajah Adrian selamanya. (*)
=============================
*Mengenang orang utan korban eksploitasi
seksual manusia
(Penulis adalah praktisi komunikasi.
Alumnus Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung)