Oleh: Baron Yudo Negoro
Saat Ghofur celaka, orang-orang bilang akulah penyebabnya. Mereka tak menuduh langit muram, atau tanah licin karena hujan semalam. Mereka melirik garis nasib yang melekat padaku, warisan yang tak pernah kuminta. Maka dari itu, aku tidak kaget karena tuduhan itu merupakan rutinitas.
AKU memasukkan barang-barang seperlunya ke dalam tas. Di luar, langit mendung, angin menggetarkan kusen jendela. Napas ibu pendek-pendek di kamar, seperti…
”Aku… ke rumah sakit sebentar,” kataku di ambang pintu.
Ibu terkulai di kasur, tubuhnya begitu kurus hingga hampir menyatu dengan seprai. Aku menunggu, dan yang keluar darinya bukan jawaban, tapi batuk nyaring.
”Ke Ghofur?” Akhirnya ia bertanya.
Aku mengangguk.
Ibuku diam, lalu, perlahan, ia menitikkan air mata. Aku mendekat, menyentuh, meremas tangannya sebagai tanda sayang.
”Orang bilang nasib itu nurun,” katanya dengan pelan. ”Tapi kadang bukan cuma nasib yang diwariskan. Maafkan ibu, Nduk.”
Dadaku sesak, tapi aku tak menjawab. Aku hanya memandangi jemari kurusnya, jemari yang dulu sering mengelus lembut rambutku.
Aku lahir dalam keadaan yang telah ditentukan. Aku tak memilih siapa ibuku, tak memilih nasib yang digantungkan orang di punggungku. Ibuku dukun, dan aku tumbuh dalam tatapan waspada orang-orang, dalam gunjingan yang sebaiknya tidak kau dengar, dan dalam jarak yang mereka bikin tanpa pernah menyebut alasannya.
Ada waktu di mana duniaku masih menyenangkan. Saat bocah, aku masih bisa berlari tanpa beban di pematang sawah. Aku ingat tawa teman-temanku, lumpur di kaki, dan suara jangkrik di semak-semak kala senja turun. Saat itu, orang-orang masih baik sama ibuku, sering bertamu ke rumah berbagi keluh kesah.
Aku pernah mengintip dari celah pintu saat seorang pria datang, duduk di tikar yang terkoyak.
”Toko sepi, Mbok. Seminggu… tapi tak laku satu pun.”
Di hadapannya, ibu mengangguk tanpa banyak bicara, tangannya mengaduk melati dalam mangkuk tanah liat.
Rumah kami kecil dan lembap, dengan topeng-topeng kayu menggantung di dinding. Bau bunga bercampur minyak, menguar di udara. Di siku tembok, rak kayu dipenuhi botol-botol kaca, berisi cairan merah pekat, hijau lendir, ada pula yang keruh.
Sebelum pria itu pamit, seorang perempuan muncul di pintu. ”Mbok, suamiku belum sembuh. Panas dingin, makan susah.”
”Masuklah dulu,” kata ibu.
Lalu suara lain lagi, tetanggaku yang melongok di pintu. ”Mbok, pinjam Gendis sebentar. Anak-anak numbuk padi.”
Ibuku menoleh ke arahku, seakan sudah tahu bahwa sedari tadi aku mengintip.
”Pergilah,” katanya.
Begitulah. Orang-orang meminta, berharap, memohon. Tetapi karena satu sebab, mereka memutuskan menjauhi kami.
Saat aku tujuh belas tahun, kepala dusun mati mendadak. Ia wafat hanya beberapa hari setelah terang-terangan menolak bantuan ibuku. Tak butuh waktu lama, masyarakat menghubungkan dua hal itu, merangkai prasangka yang hanya masuk akal dalam pikiran mereka sendiri. Nama ibuku menjadi bisikan, lalu berubah menjadi tuduhan.
Suatu malam, derap langkah menggetarkan tanah berbatu. Sinar obor berkedip-kedip di halaman, bayangan kerumunan orang melekat di dinding rumah kami. Aku mengintip dari balik jendela, jantungku berdebar-debar, sekujur badanku gemetaran.
”Keluar!”
”Usir dari dusun!”
”Dukun santet!”
Teriakan mereka beradu dengan desir angin, dedaunan kebun pisang di seberang mengepak-ngepak.
Aku melihat ibu melewati pintu kamarku. Aku menyusul, berdiri ketakutan di punggungnya saat ia mengulurkan tangan ke pegangan pintu
Engsel-engsel berkarat merintih, pintu terbuka, orang-orang tercengang, menatap ibu seperti menatap hantu-hantu kuno.
”Ada apa malam-malam begini?” tanyanya dengan datar, tanpa gentar.
Tidak ada jawaban. Hanya dengus napas, desis percakapan, dan gerak-gerik tak nyaman. Lalu mereka mundur, bubar.
Sejak malam itu, orang-orang berjalan memutar, tidak lagi melewati pekarangan rumah kami. Teman-teman yang dulu biasa memanggilku berpaling, tak lagi menganggapku ada. Sawah kami dibiarkan terbengkalai, tak ada buruh yang berselera menggarapnya. Di pasar, di jalan, di balik pintu-pintu yang setengah tertutup, orang-orang bergunjing.
Usiaku dua puluh saat mengenal Ghofur. Ia dokter magang di puskesmas desa. Kami bertemu saat aku mengantar jamu pesanan pegawai puskesmas, jamu buatan ibuku –yang diam-diam dikonsumsi orang-orang.
Setiap aku datang, Ghofur berlari menghampiri dan menurunkan karung-karung dari sepeda motorku. Kadang ia menawariku duduk di teras puskesmas, berbagi teh hangat di sela-sela jam praktik.
Percakapan kami dimulai dengan hal ringan: tentang desa, tentang kota asalnya, dan tentang tingkah lucu pasien-pasien. Lalu percakapan itu tumbuh perlahan-lahan seperti sesuatu yang tak terhindarkan.
Entah sejak kapan aku mulai bicara lebih banyak ketimbang biasanya. Dan aku mulai percaya bahwa mungkin, untuk sekali itu, aku bukan orang yang diwarisi sesuatu yang tak kuminta.
”Apa tidak takut?” tanyaku suatu siang, saat kami semakin dekat.
”Takut apa?”
Aku mengangkat bahu. ”Tahu sendiri. Orang sini apa-apa dikaitkan…”
Ia menghela napas, memandang bangkai ambulans yang terpakir di depan kebun tebu. ”Aku tidak mendengar kata orang.”
Aku ingin percaya. Aku ingin merasa bahwa kedekatan kami bukanlah bahaya. Namun, suara-suara masa lalu selalu di belakang telingaku, tak bisa dibungkam.
Dan kemudian, Ghofur terjatuh. Ia sedang menambal atap puskesmas saat kakinya terpeleset. Ia dibaringkan di bok mobil pikap, lalu dibawa pergi ke rumah sakit.
Dusun gempar. Dalam hitungan jam, gunjingan orang jadi lebih kencang, tatapan mereka makin tajam, semua menjadi lebih berat ketimbang sebelumnya. Aku lelah.
”Itu dia.”
”Lakinya juga ngeyel. Sudah dibilang jangan dekat-dekat.”
Aku mendengar mereka di pasar, di antara tumpukan cabai dan bawang.
Saat aku membeli jeruk, pedagang jeruk menatapku sebentar. ”Habis, Mbak,” katanya, lalu memasukkan keranjang ke dalam kiosnya. Jeruk-jeruk itu berjejalan di sana, segar dan utuh.
Aku pulang dengan tangan kosong. Tapi suara-suara itu berputar-putar di kepalaku. Ia seakan menempel di tengkukku, membebani langkahku, menyesakkan napasku. Dan meski aku meyakini bahwa diriku tidak punya kekuatan gaib, bahwa aku tak mungkin memengaruhi celaka dan selamatnya orang lain, rasa bersalah tetap tumbuh dan menjulur-julur di benakku.
Aku sering bertanya, apakah aku memang penyebab sial, apakah ibu menanam sesuatu yang tak bisa kulihat, tapi selalu ada di punggungku? Atau mungkin, aku hanyalah korban dari keyakinan yang mereka pegang teguh. Entahlah. Aku tak tahu apakah harus percaya pada mereka atau justru takut pada diri sendiri.
Di rumah sakit, langkahku ragu. Aku menuju lobi dengan hati-hati, sesekali menoleh ke kanan dan kiri. Tapi orang-orang sibuk. Mereka berjalan cepat, mereka bicara, mereka mengisi ruangan dengan segala urusan mereka. Tak ada yang memerhatikanku. Tak ada yang melihatku.
Udara dingin. Bau karbol bercampur dengan desinfektan menguar.
”Di Ruang Cemara nomor tujuh,” kata perempuan di balik meja lobi. Ia tersenyum ramah, dan itu sesuatu yang asing bagiku.
Di dalam ruangan, Ghofur terkulai di ranjang, kakinya terbungkus gips. Aku duduk di kursi plastik di sampingnya. Kursi itu keras, dingin, dan sedikit bergoyang, seakan-akan tak yakin apakah bisa menahan bobotku.
Kami lalu bercakap-cakap lama.
”Pergi. Tinggalkan desa. Ke kota. Kau akan aman di sana,” katanya setelah kuceritakan kesedihanku.
”Tapi… aku tak pernah jauh dari desa.”
Aku terdiam. Lalu aku berkata lagi. ”Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau aku memang…”
Ia meraih tanganku, tersenyum, meremas tanganku dengan lembut. Wajahku menghangat.
”Bagaimana kalau benar? Kau tak mungkin tahu pastinya kecuali kau pergi dari desa.”
Aku tidak menjawab. Kata-katanya menggantung di kepalaku, seperti lonceng yang terus berdentang, mengusik pikiranku bahkan setelah aku meninggalkan rumah sakit.
Di rumah, aku merebahkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamarku yang kusam. Ada rumah laba-laba di lampu, menjuntai ke sana-sini.
Aku merenungkan perkataan Ghofur.
Apakah mungkin ada tempat di mana aku bisa menjadi seperti orang lain? Di mana aku bisa berjalan tanpa merasa diawasi, tanpa bisik-bisik di belakangku, tanpa tatapan yang selalu mencari-cari kesalahan?
Tapi, ibuku sakit. Tak mungkin aku meninggalkannya.
”Nduk.”
Suara lemah ibu membuyarkan pikiranku. Ia berdiri di ambang pintu, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya. Ia melangkah terseret-seret ke arahku, bau jamu menguar dari tangannya.
”Kau kenapa?” tanyanya pelan.
Aku menarik napas panjang, lalu mulai bercerita bagaimana orang-orang di rumah sakit tak memedulikanku, bagaimana aku bisa berjalan di antara mereka tanpa dikenali, tanpa lirikan, tanpa gunjingan. Untuk kali pertama dalam waktu yang sungguh lama, aku merasa ringan.
Lalu, dengan tersendat-sendat, aku menceritakan apa yang dikatakan Ghofur kepadaku. Dan entah kenapa, aku menangis.
Ibu mengusap kepalaku, jemarinya menyisir rambutku seperti dulu saat aku kecil dan menangisi urusan yang kini terasa remeh.
”Aku ingin seperti orang lain,” kataku sambil sesenggukan.
Ibu tidak menjawab. Ia membiarkan tangisku mereda, membiarkanku menyerap setiap detik dari pelukannya.
”Pergilah. Kau lulusan SMEA. Cari kerja. Ke Semarang, atau ke Ungaran. Ada pabrik di sana.”
”Tapi…”
”Tak ada tapi. Aku baik-baik saja.”
Ia menarik sesuatu dari kutangnya: lembar-lembar uang yang digulung dan diikat karet.
Tangisanku menjadi-jadi dan aku mendekapnya erat. Untuk sesaat, aku percaya bahwa mungkin aku bisa seperti orang lain.
Aku berkemas-kemas malamnya, berbaring di ranjang, tapi tak bisa tidur. Malam terasa panjang dan sunyi, seakan waktu menolak bergerak, seakan rumah ini tahu bahwa esok aku akan pergi.
Aku menutup mata, dan ingatan di suatu masa yang sangat jauh tiba-tiba berkelebat. Aku menyusuri jalanan desa di sore hari dan teman-teman memanggilku dan aku menghampiri dan kami menumbuk padi bersama di pekarangan rumah tetangga. (*)
Baron Yudo Negoro
Seorang buruh di Semarang. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba Menulis Dongeng Batik Nusantara yang diselenggarakan Museum Batik Indonesia dan Kemendikbud pada Oktober 2021.