29.9 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Sebab, Neraka Terlalu Lama

Oleh DIMARIFA DY

Orang yang takut dosa-dosa kecil mengkhawatirkan dirinya tak beruntung. Menjadikan lampu merah sebagai tanda orang yang beruntung atau tidak. Menjadikan hal-hal kecil lainnya sebagai beruntung atau tidak.

MENJADIKAN hal-hal yang lepas darinya sebagai kesialan dan sebagainya. Mereka tidak menghitung dosa yang besar. Dosa besar ya dosa saja. Akan dibakar di neraka. Mutlak. Begitulah wejangan itu terus-menerus disematkan ke telingaku.

’’Ada sebuah pembunuhan yang terjadi dan mayatnya disembunyikan dalam plafon rumahmu. Darahnya menetes kental. Garis line memenuhi ruangan itu …

’’Orang-orang lalu menyebut kita penyintas.” Aku berkata sambil menghela napas, ’’Ah rasanya mimpi itu berlebihan, kenapa aku justru bermimpi mengerikan begitu saat kau akan menjelang hari bahagiamu.”

’’Menurutmu, apa lebih baik aku membatalkan saja pernikahan kami?” Gadis itu memandangku dengan ketakutan yang kentara.

Aku tersenyum dan memegang tangannya. ’’Itu hanya sebuah mimpi. Kau tak perlu memikirkan.”

’’Te-tapi …” Dia menundukkan wajahnya. Ketakutannya semakin terlihat. Dia ingin mengusirku, tapi bibirnya kelu. Aku tersenyum sedih. Perlahan aku berdiri dan berbalik meninggalkannya.

Padahal aku hanya bercerita. Aku terlalu antusias karena dia satu-satunya orang yang masih menganggapku teman selama kami tinggal di panti.

Sejak kecil aku diberi tahu mimpi adalah bunga tidur yang tidak berarti. Bagi sebagian orang seperti kami artinya hanya kumpulan angka yang tercantum dalam buku 1001 mimpi.

’’Ibu, aku melihat orang yang mirip diriku. Dia memanggil namaku. Namanya Maya. Dia bilang dia saudaraku. Benarkah itu, Ibu?” Aku berlari menemui ibu yang ada di ruang tamu. ’’Kau hanya berkhayal,’’ tukas ibu.

’’Berhentilah bicara omong kosong.” Ibu tidak pernah mau mendengar aku. Mimpi itu terus terjadi. Kadang-kadang dia menemaniku bermain ayunan di belakang rumah atau mengajakku naik pohon rambutan kebun tetangga saat belum musim berbuah. Kalau sedang musim, tetangga itu biasanya memasang kawat duri agar kami tak bisa menaikinya. ’’Kau tak bisa naik?” Maya terlihat masgul

’’Bagaimana kau bisa naik tanpa terluka?” Aku malah bertanya balik.

’’Aku melompat,” jawabnya ringan. Aku cemberut, merasa sangat kesal, kenapa dia bisa naik pohon itu tanpa terluka, sementara aku merasa ketakutan melihat kawat berduri itu. Dia memang lebih suka naik pohon yang begitu, orang-orang tidak akan menemukannya. Maya tidak suka memperkenalkan dirinya pada orang lain, dia tidak ingin diriku dianggap aneh seperti ibu. Apalagi kami sedikit mirip, pasti membuat banyak pertanyaan.

’’Mereka tidak akan berhenti hanya kita telah menjawab mereka. Pertanyaan yang satu akan membuat pertanyaan yang lain, begitu terus-menerus sampai mereka merasa puas. Padahal mereka tidak punya kepentingan apa pun.” Maya mengumpat.

Begitu juga yang diajarkan padaku. Aku tahu. Ibu juga suka berkata begitu. Aku ingat waktu Bapak baru meninggal, para tetangga juga bertanya hal-hal yang aneh. Bagaimana bapakmu meninggal, bukannya bapakmu sehat-sehat saja? Kok bisa tiba-tiba meninggal? Mereka terus bertanya sampai Ibu mengusir mereka.

’’Orang-orang dewasa memang suka begitu.” Maya mencela. Gadis itu membuka tangannya. Aku terpekik girang. Terlihat beberapa buah seri sebesar biji kelereng berwarna merah. Aku melihat ujung jarinya berdarah lagi.

’’Apa kau sedang kesakitan?” tanyaku simpatik. Aku melihat kukunya, penuh darah.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

Dulu saat Bapak ’’menyiksaku’’, aku juga melakukannya agar rasa sakit dari siksaan Bapak tidak lagi kurasakan, dengan begitu aku bisa terus memaafkannya.

Ibu memergoki penyiksaan itu. ’’Bajingan kau, aku seharian mencari uang bekerja keras. Kubiarkan saja kau memakan hasil keringatku. Ini yang kau lakukan pada anakmu sendiri!”

Ibu menatapku sambil terus meratap-ratap. ’’Kenapa kau tak bilang pada Ibu, Nak.” Ibu mencengkeram daguku. Benar kata Bapak, jika aku mengadu, Ibu akan menyiksaku juga. Aku diam saja sambil menggigit ujung jariku yang lain. Ibu baru berhenti saat melihat darah mengalir dari sela-sela kukuku. ’’Saat beliau tidak marah lagi, aku bilang, dengan begitu aku tidak akan merasa sakit.”

’’Mau kutunjukkan sesuatu yang indah.” Maya menarik tanganku, untuk membuang ingatan buruk itu.

’’Kenapa aku baru tahu ada padang rumput di sini.” Aku keheranan. Maya tersenyum. Aku tidak tahu di padang rumput itu ada kawat durinya juga.

’’Raya.” Maya menatapku, ’’Kau mau lepas dari semua siksaan itu?” Aku mengangguk ragu-ragu.

’’Katakan apa pun yang ingin kau katakan. Aku akan membantumu.” Maya tersenyum. Aku mengangguk.

Kami kemudian tertawa-tawa dan berlarian. Sepertinya seluruh dunia isinya adalah warna yang indah. Sebelum sosok Bapak menjelma monster yang berusaha membunuh kami berdua. ’’Kau sudah mati. Matilah kembali.” Aku mengutuk. Anehnya makhluk itu kemudian berubah menjadi wajah Ibu.

’’Kau hanya melindur.” Ibu menatapku lekat. Saat dia tanya bagaimana aku bisa terluka. Aku menceritakan padang rumput yang barusan aku datangi. Beliau mencengkeram daguku untuk melihat mulutku, mengambil kapas dan mengelapnya. Bibi Marni, tetangga yang mengantarkanku hanya melihat dengan prihatin.

’’Ibu, aku melihat ibu yang mati dalam padang rumput itu.” Aku membekukan mata. Ibu mengentakkan tangannya.

Beberapa hari kemudian Ibu benar-benar meninggal. Bibi Marni menjerit histeris sambil menunjuk-nunjukku. Aku diungsikan. Entah di mana. Berpindah-pindah.

’’Kalian tahu buah kemang? Atau pinjai?” Sebangsa mbacang dengan aroma lebih wangi dan rasa lebih asam. Biasanya digunakan oleh orang lokal jadi sambal. Bisa juga dimakan begitu saja, asal tahan dengan baunya. Aku suka menatap mata mereka yang melihatku takjub.

’’Ada satu riwayat, jika kau berdiri di bawah batang kemang itu pada hari hujan, kau akan hilang dibawa orang bunian. Siluman atau mak sumai.” Aku bersemangat sekali menceritakan pada mereka. Mereka baru tahu cerita-cerita begitu.

Salah satu teman kami tidak percaya pada mitos tersebut, dia tetap mencari buah kemang. Saat hujan berangin apalagi, biasanya buah kemang banyak berjatuhan. Bagi sebagian anak-anak malang itu, buah tersebut bisa dijadikan uang.

Pohon kemang itu tumbuh di pinggir sungai. Batangnya besar dan rindang. Meski bukan hari hujan saja, aku tidak pernah berani berteduh di bawahnya. Kami biasa membantu keuangan panti dengan menjadi kuli-kuli pelapak batu kali.

Lalu peristiwa itu terjadi, saat itu kami baru naik kelas enam SD, anak lelaki suku Jawa itu, dia termasuk bengal. Karena kepercayaan atau mitos pohon kemang dianggap hanya mitos orang kami, dia menantang mitos itu. Hujan turun dengan lebat. Kami yang masih di tengah sungai cepat naik ke darat. Takut sungai naik tiba-tiba. Anak Jawa itu dengan santai memungut kemang yang jatuh yang disebabkan angin. Kreseknya sudah penuh, tapi dia tidak juga berhenti.

Baca Juga :  Sajak: Perahu dari Tulang Rusukku

Teman-teman lain menyuruhnya berhenti. Dia hanya tertawa dan mengatakan kami pengecut. Besoknya terdengar kabar anak itu hilang. Anak itu jadi bahan pembicaraan seluruh kampung. Mitos pohon kemang menghilangkan orang terbukti.

Dua hari kemudian, anak tersebut ditemukan dibawa arus sungai di kampung ketiga dari kampung itu. Beritanya sampai masuk koran. Semua orang menduga-duga bagaimana dia bisa terseret begitu jauh.

’’Itu gara-gara Raya.”

’’Lidahnya penuh kutukan.”

’’Pergilah, Raya. Jangan mendekat.”

’’Kau mengerikan!”

Mereka terus meneriakkan itu. Setiap aku cerita tentang mimpi-mimpi.

Beberapa orang melakukan apa pun untuk mengubah nasib. Dan nasibnya tetap buruk. Beberapa orang percaya apa yang terjadi padanya adalah takdir yang harus dilalui dengan tabah agar hidup ke depannya menjadi lebih baik, tapi orang itu tetap menangis dan bermimpi buruk. Lain waktu dia meninggal dalam harapannya yang entah.

’’Raya coba kau tengok aku, apa aku bisa menikahi pemuda keren di ujung jalan sana?”

’’Raya kemarilah, tolong periksa angka-angka ini. Yang mana yang bisa membuat kami kaya?” Aku sudah menggeleng beberapa kali. Tapi, mereka terus membujuk untuk mengatakan hal-hal yang mereka ingin.

Ada bibi-bibi tua memberi kami makanan yang enak kemudian bertanya dengan lembut, tanggal mana yang baik untuk pernikahan putrinya. Lain kali paman putus asa yang tinggal di pos ronda, dia juga membujukku sambil menangis meraung-raung, jalan mana yang akan membawanya pada keberuntungan. Karena kasihan, aku menunjuk arah sembarangan. Paman itu segera menghilang dari desa itu. Beberapa tahun kemudian dia kembali dengan gaya yang keren dan bercerita pada orang-orang kampung kalau aku adalah anak ajaib yang telah mengubah nasibnya.

Orang-orang berduyun-duyun melakukan sumbangan pada panti kami yang menyedihkan. Ibu panti sangat senang dan menyuruhku terus mengatakan ramalan-ramalan. Tak peduli benar atau tidak.

’’Kau sudah delapan belas tahun. Kau harusnya sudah tidak menjadi anak panti asuhan lagi. Keluarlah, katakan ramalanmu.” Ada dua orang kaya seperti pejabat. Mereka memintaku menunjukkan nomor urut berapa supaya mereka bisa memenangkan pilkada.

Saat sampai keluar aku hanya melihat mereka seperti mayat hidup.

’’Paman seperti hantu pocong. Pucat sekali.”

’’Bibi, rambut bibi penuh dengan darah.” Kata-kata mengerikan itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa bisa aku cegah. Besoknya mereka kecelakaan dengan tragis. Suasana kampung jadi mencekam. Mereka kembali memandangku sebagai anak yang menakutkan.

’’Mereka benar-benar menakutkan, bukan.” Dia tersenyum. Sekarang juga dia tumbuh dewasa sama sepertiku. Wajah kami juga mirip. Aku heran kenapa kami begitu mirip.

’’Kau lama sekali menghilang, Maya. Kau pergi ke mana saja.”

’’Aku selalu di sini. Bersamamu.” Maya tersenyum. ’’Aku senang kau kembali mengatakan hal-hal mengerikan. Itu lebih mudah diwujudkan …”

Maya menyeringai.

Aku memandangnya. Juga tersenyum.

Dia benar. Aku juga lebih suka mengatakan hal-hal demikian. Manusia terlalu serakah.

’’Sebab, neraka terlalu lama.” (*)

Oleh DIMARIFA DY

Orang yang takut dosa-dosa kecil mengkhawatirkan dirinya tak beruntung. Menjadikan lampu merah sebagai tanda orang yang beruntung atau tidak. Menjadikan hal-hal kecil lainnya sebagai beruntung atau tidak.

MENJADIKAN hal-hal yang lepas darinya sebagai kesialan dan sebagainya. Mereka tidak menghitung dosa yang besar. Dosa besar ya dosa saja. Akan dibakar di neraka. Mutlak. Begitulah wejangan itu terus-menerus disematkan ke telingaku.

’’Ada sebuah pembunuhan yang terjadi dan mayatnya disembunyikan dalam plafon rumahmu. Darahnya menetes kental. Garis line memenuhi ruangan itu …

’’Orang-orang lalu menyebut kita penyintas.” Aku berkata sambil menghela napas, ’’Ah rasanya mimpi itu berlebihan, kenapa aku justru bermimpi mengerikan begitu saat kau akan menjelang hari bahagiamu.”

’’Menurutmu, apa lebih baik aku membatalkan saja pernikahan kami?” Gadis itu memandangku dengan ketakutan yang kentara.

Aku tersenyum dan memegang tangannya. ’’Itu hanya sebuah mimpi. Kau tak perlu memikirkan.”

’’Te-tapi …” Dia menundukkan wajahnya. Ketakutannya semakin terlihat. Dia ingin mengusirku, tapi bibirnya kelu. Aku tersenyum sedih. Perlahan aku berdiri dan berbalik meninggalkannya.

Padahal aku hanya bercerita. Aku terlalu antusias karena dia satu-satunya orang yang masih menganggapku teman selama kami tinggal di panti.

Sejak kecil aku diberi tahu mimpi adalah bunga tidur yang tidak berarti. Bagi sebagian orang seperti kami artinya hanya kumpulan angka yang tercantum dalam buku 1001 mimpi.

’’Ibu, aku melihat orang yang mirip diriku. Dia memanggil namaku. Namanya Maya. Dia bilang dia saudaraku. Benarkah itu, Ibu?” Aku berlari menemui ibu yang ada di ruang tamu. ’’Kau hanya berkhayal,’’ tukas ibu.

’’Berhentilah bicara omong kosong.” Ibu tidak pernah mau mendengar aku. Mimpi itu terus terjadi. Kadang-kadang dia menemaniku bermain ayunan di belakang rumah atau mengajakku naik pohon rambutan kebun tetangga saat belum musim berbuah. Kalau sedang musim, tetangga itu biasanya memasang kawat duri agar kami tak bisa menaikinya. ’’Kau tak bisa naik?” Maya terlihat masgul

’’Bagaimana kau bisa naik tanpa terluka?” Aku malah bertanya balik.

’’Aku melompat,” jawabnya ringan. Aku cemberut, merasa sangat kesal, kenapa dia bisa naik pohon itu tanpa terluka, sementara aku merasa ketakutan melihat kawat berduri itu. Dia memang lebih suka naik pohon yang begitu, orang-orang tidak akan menemukannya. Maya tidak suka memperkenalkan dirinya pada orang lain, dia tidak ingin diriku dianggap aneh seperti ibu. Apalagi kami sedikit mirip, pasti membuat banyak pertanyaan.

’’Mereka tidak akan berhenti hanya kita telah menjawab mereka. Pertanyaan yang satu akan membuat pertanyaan yang lain, begitu terus-menerus sampai mereka merasa puas. Padahal mereka tidak punya kepentingan apa pun.” Maya mengumpat.

Begitu juga yang diajarkan padaku. Aku tahu. Ibu juga suka berkata begitu. Aku ingat waktu Bapak baru meninggal, para tetangga juga bertanya hal-hal yang aneh. Bagaimana bapakmu meninggal, bukannya bapakmu sehat-sehat saja? Kok bisa tiba-tiba meninggal? Mereka terus bertanya sampai Ibu mengusir mereka.

’’Orang-orang dewasa memang suka begitu.” Maya mencela. Gadis itu membuka tangannya. Aku terpekik girang. Terlihat beberapa buah seri sebesar biji kelereng berwarna merah. Aku melihat ujung jarinya berdarah lagi.

’’Apa kau sedang kesakitan?” tanyaku simpatik. Aku melihat kukunya, penuh darah.

Baca Juga :  Langkah Terpenggal

Dulu saat Bapak ’’menyiksaku’’, aku juga melakukannya agar rasa sakit dari siksaan Bapak tidak lagi kurasakan, dengan begitu aku bisa terus memaafkannya.

Ibu memergoki penyiksaan itu. ’’Bajingan kau, aku seharian mencari uang bekerja keras. Kubiarkan saja kau memakan hasil keringatku. Ini yang kau lakukan pada anakmu sendiri!”

Ibu menatapku sambil terus meratap-ratap. ’’Kenapa kau tak bilang pada Ibu, Nak.” Ibu mencengkeram daguku. Benar kata Bapak, jika aku mengadu, Ibu akan menyiksaku juga. Aku diam saja sambil menggigit ujung jariku yang lain. Ibu baru berhenti saat melihat darah mengalir dari sela-sela kukuku. ’’Saat beliau tidak marah lagi, aku bilang, dengan begitu aku tidak akan merasa sakit.”

’’Mau kutunjukkan sesuatu yang indah.” Maya menarik tanganku, untuk membuang ingatan buruk itu.

’’Kenapa aku baru tahu ada padang rumput di sini.” Aku keheranan. Maya tersenyum. Aku tidak tahu di padang rumput itu ada kawat durinya juga.

’’Raya.” Maya menatapku, ’’Kau mau lepas dari semua siksaan itu?” Aku mengangguk ragu-ragu.

’’Katakan apa pun yang ingin kau katakan. Aku akan membantumu.” Maya tersenyum. Aku mengangguk.

Kami kemudian tertawa-tawa dan berlarian. Sepertinya seluruh dunia isinya adalah warna yang indah. Sebelum sosok Bapak menjelma monster yang berusaha membunuh kami berdua. ’’Kau sudah mati. Matilah kembali.” Aku mengutuk. Anehnya makhluk itu kemudian berubah menjadi wajah Ibu.

’’Kau hanya melindur.” Ibu menatapku lekat. Saat dia tanya bagaimana aku bisa terluka. Aku menceritakan padang rumput yang barusan aku datangi. Beliau mencengkeram daguku untuk melihat mulutku, mengambil kapas dan mengelapnya. Bibi Marni, tetangga yang mengantarkanku hanya melihat dengan prihatin.

’’Ibu, aku melihat ibu yang mati dalam padang rumput itu.” Aku membekukan mata. Ibu mengentakkan tangannya.

Beberapa hari kemudian Ibu benar-benar meninggal. Bibi Marni menjerit histeris sambil menunjuk-nunjukku. Aku diungsikan. Entah di mana. Berpindah-pindah.

’’Kalian tahu buah kemang? Atau pinjai?” Sebangsa mbacang dengan aroma lebih wangi dan rasa lebih asam. Biasanya digunakan oleh orang lokal jadi sambal. Bisa juga dimakan begitu saja, asal tahan dengan baunya. Aku suka menatap mata mereka yang melihatku takjub.

’’Ada satu riwayat, jika kau berdiri di bawah batang kemang itu pada hari hujan, kau akan hilang dibawa orang bunian. Siluman atau mak sumai.” Aku bersemangat sekali menceritakan pada mereka. Mereka baru tahu cerita-cerita begitu.

Salah satu teman kami tidak percaya pada mitos tersebut, dia tetap mencari buah kemang. Saat hujan berangin apalagi, biasanya buah kemang banyak berjatuhan. Bagi sebagian anak-anak malang itu, buah tersebut bisa dijadikan uang.

Pohon kemang itu tumbuh di pinggir sungai. Batangnya besar dan rindang. Meski bukan hari hujan saja, aku tidak pernah berani berteduh di bawahnya. Kami biasa membantu keuangan panti dengan menjadi kuli-kuli pelapak batu kali.

Lalu peristiwa itu terjadi, saat itu kami baru naik kelas enam SD, anak lelaki suku Jawa itu, dia termasuk bengal. Karena kepercayaan atau mitos pohon kemang dianggap hanya mitos orang kami, dia menantang mitos itu. Hujan turun dengan lebat. Kami yang masih di tengah sungai cepat naik ke darat. Takut sungai naik tiba-tiba. Anak Jawa itu dengan santai memungut kemang yang jatuh yang disebabkan angin. Kreseknya sudah penuh, tapi dia tidak juga berhenti.

Baca Juga :  Sajak: Perahu dari Tulang Rusukku

Teman-teman lain menyuruhnya berhenti. Dia hanya tertawa dan mengatakan kami pengecut. Besoknya terdengar kabar anak itu hilang. Anak itu jadi bahan pembicaraan seluruh kampung. Mitos pohon kemang menghilangkan orang terbukti.

Dua hari kemudian, anak tersebut ditemukan dibawa arus sungai di kampung ketiga dari kampung itu. Beritanya sampai masuk koran. Semua orang menduga-duga bagaimana dia bisa terseret begitu jauh.

’’Itu gara-gara Raya.”

’’Lidahnya penuh kutukan.”

’’Pergilah, Raya. Jangan mendekat.”

’’Kau mengerikan!”

Mereka terus meneriakkan itu. Setiap aku cerita tentang mimpi-mimpi.

Beberapa orang melakukan apa pun untuk mengubah nasib. Dan nasibnya tetap buruk. Beberapa orang percaya apa yang terjadi padanya adalah takdir yang harus dilalui dengan tabah agar hidup ke depannya menjadi lebih baik, tapi orang itu tetap menangis dan bermimpi buruk. Lain waktu dia meninggal dalam harapannya yang entah.

’’Raya coba kau tengok aku, apa aku bisa menikahi pemuda keren di ujung jalan sana?”

’’Raya kemarilah, tolong periksa angka-angka ini. Yang mana yang bisa membuat kami kaya?” Aku sudah menggeleng beberapa kali. Tapi, mereka terus membujuk untuk mengatakan hal-hal yang mereka ingin.

Ada bibi-bibi tua memberi kami makanan yang enak kemudian bertanya dengan lembut, tanggal mana yang baik untuk pernikahan putrinya. Lain kali paman putus asa yang tinggal di pos ronda, dia juga membujukku sambil menangis meraung-raung, jalan mana yang akan membawanya pada keberuntungan. Karena kasihan, aku menunjuk arah sembarangan. Paman itu segera menghilang dari desa itu. Beberapa tahun kemudian dia kembali dengan gaya yang keren dan bercerita pada orang-orang kampung kalau aku adalah anak ajaib yang telah mengubah nasibnya.

Orang-orang berduyun-duyun melakukan sumbangan pada panti kami yang menyedihkan. Ibu panti sangat senang dan menyuruhku terus mengatakan ramalan-ramalan. Tak peduli benar atau tidak.

’’Kau sudah delapan belas tahun. Kau harusnya sudah tidak menjadi anak panti asuhan lagi. Keluarlah, katakan ramalanmu.” Ada dua orang kaya seperti pejabat. Mereka memintaku menunjukkan nomor urut berapa supaya mereka bisa memenangkan pilkada.

Saat sampai keluar aku hanya melihat mereka seperti mayat hidup.

’’Paman seperti hantu pocong. Pucat sekali.”

’’Bibi, rambut bibi penuh dengan darah.” Kata-kata mengerikan itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa bisa aku cegah. Besoknya mereka kecelakaan dengan tragis. Suasana kampung jadi mencekam. Mereka kembali memandangku sebagai anak yang menakutkan.

’’Mereka benar-benar menakutkan, bukan.” Dia tersenyum. Sekarang juga dia tumbuh dewasa sama sepertiku. Wajah kami juga mirip. Aku heran kenapa kami begitu mirip.

’’Kau lama sekali menghilang, Maya. Kau pergi ke mana saja.”

’’Aku selalu di sini. Bersamamu.” Maya tersenyum. ’’Aku senang kau kembali mengatakan hal-hal mengerikan. Itu lebih mudah diwujudkan …”

Maya menyeringai.

Aku memandangnya. Juga tersenyum.

Dia benar. Aku juga lebih suka mengatakan hal-hal demikian. Manusia terlalu serakah.

’’Sebab, neraka terlalu lama.” (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru