27.5 C
Jakarta
Monday, March 31, 2025

Membunuh Harimau Jawa yang Sebenarnya

Oleh NAUFAL ZABIDI

Risda Nur Widia berhasil membingkai siapa dan bagaimana perilaku harimau jawa

ORANG Belanda memang berburu harimau di Jawa, tapi hanya Darmo-lah satu-satunya manusia yang mendapat predikat pembunuh harimau jawa dalam novel ini. ”Harimau jawa” tidak diartikan sebagaimana mestinya, melainkan metafora dari para penguasa lokal yang menindas rakyatnya sendiri.

Darmo betul-betul lihai memanfaatkan momentum. Orang Belanda yang tengah diusik harimau, sebab mengacau sumber penghasilannya, memutuskan untuk memburu harimau tersebut. Bukannya berhasil menumpas harimau, para elite Belanda ini justru diobrak-abrik harimau karena sibuk bertengkar. Darmo berhasil mengecoh ”harimau jawa”, kemudian membunuh sisanya dengan tangan sendiri.

Mistisisme dan Legenda

Berlatar Desa Pajang, Jogjakarta, novel ini dibagi menjadi 12 bab dengan alur maju mundur. Detail percakapan dan istilah-istilah berbahasa Belanda menguatkan bahan novel sebagai kategori sastra sejarah.

Risda Nur Widia, sang penulis novel, membuka cerita dengan penemuan dua mayat warga di wilayah Pajang. Kondisi keduanya yang terkoyak-koyak membuat warga yakin bahwa kematian ini ulah harimau. Padahal, tidak ada saksi yang melihat penyebabnya langsung.

Banyak warga yang mendadak ditemukan tewas di Desa Pajang. Beberapa warga lain ribut karena anaknya tidak kembali ke rumah. Selain menduga bahwa pembunuhnya adalah harimau, sebagian warga berusia lebih tua mengira bahwa anak-anaknya hilang karena diculik makhluk halus. Percakapan warga Desa Pajang dalam gubahan Risda cukup melambangkan bahwa mereka kental dengan mistisisme.

”Kami percaya bahwa roh leluhur sering menjelma menjadi harimau.” (hal 104)

Memilih harimau untuk menceritakan masa lampau adalah pilihan unik. Di Jawa, harimau erat kaitannya dengan legenda Prabu Siliwangi. Seiring waktu, legenda tersebut dipotret sebagai produk kebudayaan.

Raden Saleh, misalnya, memberi tempat spesial untuk harimau dalam lukisannya. Besar kemungkinan kondisi zaman dan serangkaian tragedi sejarah saling berkaitan dengan harimau.

Sayangnya, harimau jawa dinyatakan punah pada 1980-an. Perburuan harimau jawa di masa pemerintah kolonial dan pemburu harimau liar pasca kemerdekaan tentu punya andil besar pada kepunahan harimau di Jawa.

Baca Juga :  Melancong Dunia dalam Ramuan Kisah Nostalgia ala Anton Kurnia

Penindasan Belanda

Tampak bahwa pengaruh mitos dan legenda hanya berlaku pada warga lokal. Saya tidak menemukannya pada Dedrick, seorang Belanda yang jadi penguasa lahan di wilayah Pajang.

Hanya, Dedrick kesal dengan beredarnya kabar harimau di Desa Pajang. Dia takut ternaknya terus berkurang karena harimau di Hutan Pajang ikut mencampuri wilayah kekuasaannya.

Di era kolonial –sebagaimana novel ini mengambil tahun 1920-an sebagai latar waktu– Belanda mengganggu ketenangan di pedesaan. Desa Pajang yang dulu merupakan kawasan stabil secara ekonomi dan sosial mulai berubah saat Dedrick datang. Serangan harimau dan hewan liar lain bermula sejak kedatangan Dedrick.

Londo itu kali pertama datang sebagai onderkoopman yang sedang melancong dari kota untuk berburu kijang di wilayah Hutan Pajang. (hal 74). Kondisi warga Pajang amat sial. Mereka tidak mungkin bisa mengelak dari segala kemauan Dedrick. Sebab, ketergantungan pada Londo satu ini cukup kuat. Ketidakmampuan warga membayar utang pada Dedrick mengharuskan mereka tunduk padanya.

Dedrick selalu mengutus Darmo, jongos yang bekerja untuknya, untuk mengatur warga. Karena Darmo jagoan silat, warga sangat takut dan segan padanya.

Adegan adu jotos dan deskripsi pembunuhan banyak ditemui dalam buku setebal 156 halaman ini. Bagi saya, Risda tergolong sistematis menata bab dalam buku. Di bab tertentu, digunakan hanya untuk menceritakan latar belakang tokoh, kondisi desa, dan adegan konflik.

Membunuh Harimau Jawa

Risda sadar betul bahwa elite Belanda kerap melakukan monopoli demi kepentingan status quo. Melalui tokoh Van Barend, seorang kepala keamanan daerah, karakteristik tersebut ditonjolkan.

Desas-desus terbunuhnya warga karena harimau diamini oleh Van Barend. Bukan demi keselamatan warga atau sejenisnya, melainkan untuk menjaga reputasinya sendiri.

Ketika kematian warga disebabkan serangan bandit, tugas Van Barend sebagai kepala keamanan daerah akan semakin banyak. Kinerjanya akan dipertanyakan pemerintah kolonial.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Ketika ada laporan kematian, jawaban yang disampaikan Van Barend selalu sama: kematian warga terjadi karena ulah harimau. Padahal, Van Barend tidak menyelidikinya dengan serius. Ia hanya memaparkan kemungkinan-kemungkinan.

Van Barend dan Meneer Dedrick sama-sama punya kepentingan kuat di wilayah Pajang. Van Barend dengan reputasinya dan Dedrick dengan harta bendanya. Dua kubu ini akan beradu tinju di akhir kisah karena konflik kepentingan. Meskipun, mereka sama-sama orang Belanda.

Dua kubu tersebut akan berkelahi di hutan ketika berburu harimau. Perburuan harimau ini pun dibumbui kepentingan mereka masing-masing, bukan demi melindungi warga. Cukup mengejutkan, tidak satu pun dari kedua kubu selamat dari hutan. Sebenarnya mereka masuk perangkap Darmo.

Darmo mengakui bahwa kekisruhan antara kedua elite Belanda tersebut adalah rencananya sejak lama. Tidak sulit bagi Darmo memanfaatkan keadaan mereka yang lelah bertengkar. Kedua kubu Belanda berhasil terbunuh di hutan. Melalui pengakuan Darmo pula, maksud dan tujuan mengambil alih kekuasaan Belanda disampaikan.

Hampir saja saya memastikan bahwa Darmo merupakan puncak pembunuh dalam bingkai pengisahan Risda, ternyata tidak. Risda pandai mengecoh pembaca. Ternyata, di akhir babak, Darmo tewas dikoyak harimau.

Meneer Dedrick dan Van Barend adalah ”harimau jawa” yang diartikan secara metaforis; penguasa lokal yang menindas rakyatnya sendiri. Darmo memang satu-satunya manusia yang berhasil membunuh ”harimau jawa”, tapi ia juga termasuk golongan tersebut karena turut memperlakukan rakyat dengan bengis. Bisa dikatakan, pembunuh harimau jawa yang sebenarnya adalah harimau dalam makna asli, yang tinggal di hutan Jawa. (*)

Judul buku: Membunuh Harimau Jawa

Penulis: Risda Nur Widia

Penerbit: Tanda Baca

Tahun: 2023

Tebal: iv + 156 halaman

ISBN: 978-623-5869-26-1

*) NAUFAL ZABIDI, Jurnalis LPM Rhetor dan anggota komunitas Radio Buku

Oleh NAUFAL ZABIDI

Risda Nur Widia berhasil membingkai siapa dan bagaimana perilaku harimau jawa

ORANG Belanda memang berburu harimau di Jawa, tapi hanya Darmo-lah satu-satunya manusia yang mendapat predikat pembunuh harimau jawa dalam novel ini. ”Harimau jawa” tidak diartikan sebagaimana mestinya, melainkan metafora dari para penguasa lokal yang menindas rakyatnya sendiri.

Darmo betul-betul lihai memanfaatkan momentum. Orang Belanda yang tengah diusik harimau, sebab mengacau sumber penghasilannya, memutuskan untuk memburu harimau tersebut. Bukannya berhasil menumpas harimau, para elite Belanda ini justru diobrak-abrik harimau karena sibuk bertengkar. Darmo berhasil mengecoh ”harimau jawa”, kemudian membunuh sisanya dengan tangan sendiri.

Mistisisme dan Legenda

Berlatar Desa Pajang, Jogjakarta, novel ini dibagi menjadi 12 bab dengan alur maju mundur. Detail percakapan dan istilah-istilah berbahasa Belanda menguatkan bahan novel sebagai kategori sastra sejarah.

Risda Nur Widia, sang penulis novel, membuka cerita dengan penemuan dua mayat warga di wilayah Pajang. Kondisi keduanya yang terkoyak-koyak membuat warga yakin bahwa kematian ini ulah harimau. Padahal, tidak ada saksi yang melihat penyebabnya langsung.

Banyak warga yang mendadak ditemukan tewas di Desa Pajang. Beberapa warga lain ribut karena anaknya tidak kembali ke rumah. Selain menduga bahwa pembunuhnya adalah harimau, sebagian warga berusia lebih tua mengira bahwa anak-anaknya hilang karena diculik makhluk halus. Percakapan warga Desa Pajang dalam gubahan Risda cukup melambangkan bahwa mereka kental dengan mistisisme.

”Kami percaya bahwa roh leluhur sering menjelma menjadi harimau.” (hal 104)

Memilih harimau untuk menceritakan masa lampau adalah pilihan unik. Di Jawa, harimau erat kaitannya dengan legenda Prabu Siliwangi. Seiring waktu, legenda tersebut dipotret sebagai produk kebudayaan.

Raden Saleh, misalnya, memberi tempat spesial untuk harimau dalam lukisannya. Besar kemungkinan kondisi zaman dan serangkaian tragedi sejarah saling berkaitan dengan harimau.

Sayangnya, harimau jawa dinyatakan punah pada 1980-an. Perburuan harimau jawa di masa pemerintah kolonial dan pemburu harimau liar pasca kemerdekaan tentu punya andil besar pada kepunahan harimau di Jawa.

Baca Juga :  Melancong Dunia dalam Ramuan Kisah Nostalgia ala Anton Kurnia

Penindasan Belanda

Tampak bahwa pengaruh mitos dan legenda hanya berlaku pada warga lokal. Saya tidak menemukannya pada Dedrick, seorang Belanda yang jadi penguasa lahan di wilayah Pajang.

Hanya, Dedrick kesal dengan beredarnya kabar harimau di Desa Pajang. Dia takut ternaknya terus berkurang karena harimau di Hutan Pajang ikut mencampuri wilayah kekuasaannya.

Di era kolonial –sebagaimana novel ini mengambil tahun 1920-an sebagai latar waktu– Belanda mengganggu ketenangan di pedesaan. Desa Pajang yang dulu merupakan kawasan stabil secara ekonomi dan sosial mulai berubah saat Dedrick datang. Serangan harimau dan hewan liar lain bermula sejak kedatangan Dedrick.

Londo itu kali pertama datang sebagai onderkoopman yang sedang melancong dari kota untuk berburu kijang di wilayah Hutan Pajang. (hal 74). Kondisi warga Pajang amat sial. Mereka tidak mungkin bisa mengelak dari segala kemauan Dedrick. Sebab, ketergantungan pada Londo satu ini cukup kuat. Ketidakmampuan warga membayar utang pada Dedrick mengharuskan mereka tunduk padanya.

Dedrick selalu mengutus Darmo, jongos yang bekerja untuknya, untuk mengatur warga. Karena Darmo jagoan silat, warga sangat takut dan segan padanya.

Adegan adu jotos dan deskripsi pembunuhan banyak ditemui dalam buku setebal 156 halaman ini. Bagi saya, Risda tergolong sistematis menata bab dalam buku. Di bab tertentu, digunakan hanya untuk menceritakan latar belakang tokoh, kondisi desa, dan adegan konflik.

Membunuh Harimau Jawa

Risda sadar betul bahwa elite Belanda kerap melakukan monopoli demi kepentingan status quo. Melalui tokoh Van Barend, seorang kepala keamanan daerah, karakteristik tersebut ditonjolkan.

Desas-desus terbunuhnya warga karena harimau diamini oleh Van Barend. Bukan demi keselamatan warga atau sejenisnya, melainkan untuk menjaga reputasinya sendiri.

Ketika kematian warga disebabkan serangan bandit, tugas Van Barend sebagai kepala keamanan daerah akan semakin banyak. Kinerjanya akan dipertanyakan pemerintah kolonial.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Ketika ada laporan kematian, jawaban yang disampaikan Van Barend selalu sama: kematian warga terjadi karena ulah harimau. Padahal, Van Barend tidak menyelidikinya dengan serius. Ia hanya memaparkan kemungkinan-kemungkinan.

Van Barend dan Meneer Dedrick sama-sama punya kepentingan kuat di wilayah Pajang. Van Barend dengan reputasinya dan Dedrick dengan harta bendanya. Dua kubu ini akan beradu tinju di akhir kisah karena konflik kepentingan. Meskipun, mereka sama-sama orang Belanda.

Dua kubu tersebut akan berkelahi di hutan ketika berburu harimau. Perburuan harimau ini pun dibumbui kepentingan mereka masing-masing, bukan demi melindungi warga. Cukup mengejutkan, tidak satu pun dari kedua kubu selamat dari hutan. Sebenarnya mereka masuk perangkap Darmo.

Darmo mengakui bahwa kekisruhan antara kedua elite Belanda tersebut adalah rencananya sejak lama. Tidak sulit bagi Darmo memanfaatkan keadaan mereka yang lelah bertengkar. Kedua kubu Belanda berhasil terbunuh di hutan. Melalui pengakuan Darmo pula, maksud dan tujuan mengambil alih kekuasaan Belanda disampaikan.

Hampir saja saya memastikan bahwa Darmo merupakan puncak pembunuh dalam bingkai pengisahan Risda, ternyata tidak. Risda pandai mengecoh pembaca. Ternyata, di akhir babak, Darmo tewas dikoyak harimau.

Meneer Dedrick dan Van Barend adalah ”harimau jawa” yang diartikan secara metaforis; penguasa lokal yang menindas rakyatnya sendiri. Darmo memang satu-satunya manusia yang berhasil membunuh ”harimau jawa”, tapi ia juga termasuk golongan tersebut karena turut memperlakukan rakyat dengan bengis. Bisa dikatakan, pembunuh harimau jawa yang sebenarnya adalah harimau dalam makna asli, yang tinggal di hutan Jawa. (*)

Judul buku: Membunuh Harimau Jawa

Penulis: Risda Nur Widia

Penerbit: Tanda Baca

Tahun: 2023

Tebal: iv + 156 halaman

ISBN: 978-623-5869-26-1

*) NAUFAL ZABIDI, Jurnalis LPM Rhetor dan anggota komunitas Radio Buku

Terpopuler

Artikel Terbaru