Site icon Prokalteng

Pendurhaka

pendurhaka

TAK ada yang tahu berapa lama ia terkapar di bibir pantai.
Semalaman ia teronggok di sana. Termangu-mangu ia menatap tubuhnya sendiri yang
tak bisa bergerak-gerak lagi. Perutnya membuncit terisi air laut dan pasir.

Bisu ia menatap tubuhnya, tak
pernah menyangka bahwa dirinya akan bertekuk lutut di tengah gelombang pasang.
Laut yang menjadi bagian dari dirinya, namun laut juga yang membunuhnya.
Awalnya ia demikian takjub bisa melihat tubuhnya sendiri, ia bisa leluasa
terbang bagai camar dan mudah saja hinggap di pelepah pohon kelapa. Tetapi,
ketika paham apa yang sedang terjadi, ia tercenung. Bibirnya terkatup, matanya
nyalang menatap tubuhnya sendiri, terkapar menyedihkan dan tak bisa bergerak
lagi.

”Aku kira kelampusan manusia itu
hanya fatamorgana,” bisiknya tak percaya.

Lamunan ombak menampar perahu
miliknya, pecah berserakan tak hendak menyisakan bagian kecil sekalipun.
Pelariannya dari Teluk Gong telah berakhir. Kutukan dari tua yang ditemuinya
seolah kembali terdengar di gendang telinga.

”Kau akan mati muda. Pendurhaka
seperti engkau tak akan selamat. Bedebah akan selalu mati sia-sia!”

Ia tak pernah menduga, betapa
ucapan tua renta yang hendak mati lantaran tikaman belatinya itu tak ubahnya
rapalan mantra. Tapi, selama tiga puluh tahun hidupnya, sudah berapakah manusia
yang meracau mengutuknya? Tak ada yang pernah terwujud. Tak ada yang pernah mengena
dirinya. Ia masih bebas membegal, menikam orang-orang yang menolak memberikan
hartanya. Belati bergagang kepala naga kerap menghunjam tengkuk dan dada
orang-orang.

Ia kerap menghitung, mungkin
sudah sepuluh orang yang mati di tangannya, bukan sepuluh, tapi mungkin dua
belas atau lima belas. Ah, ia mencoba mengingat-ingat lagi. Bukankah ia pernah
membunuh sepasang suami istri sekaligus pembantunya? Berarti mungkin sudah
lebih dari angka lima belas. Begitu banyak orang yang telah mati di tangannya.
Darah segar begitu kerap memandikan belati bergagang kepala naga kesayangan.
Belati yang ia curi dari lemari ayahnya sebelum kabur dan menghilang dengan
berlari ke tengah hutan. Tentu saja darah ayahnya sendirilah yang kali pertama
memandikan belati miliknya.

Kepalanya menengadah ke langit.
Rekata berhamburan, seolah bersukaria bahwa sang pendurhaka telah mati. Kesal
ia meludah ke langit, sengit ia melihat lelintang yang begitu bersemarak. Ombak
tak lagi pasang, ia mulai tenang, dan untuk kali kesekian dirinya merasa
dikhianati.

Ia kembali termangu-mangu,
memandang tubuhnya sendiri yang mulai kaku. Ditatapnya betul-betul tubuh yang
terkapar layaknya orang tertidur itu.

”Dasar tubuh tak berguna,”
desahnya dengan kesal ketika paham benar bahwa tak ada lagi aliran darah di
nadi dan denyut di dadanya sama sekali menghilang.

Tak ada orang yang datang. Ia
menoleh ke arah selatan. Di sana, sepuluh kilometer dari pantai ini, ada sebuah
bukit yang dipenuhi batu kapur. Di bukit itu, tubuh ibunya yang malang ditanam.
Di sana pula ayahnya yang dibencinya itu turut dikubur. Mengingat itu, ia
tersenyum kecut, bagaimana gilanya orang-orang itu mengubur pendosa dan seorang
dewi begitu berdekatan.

Ia masih menunggu orang-orang
agar datang menemukan dirinya, lalu membawa jasadnya pergi ke bukit di sebelah
selatan. Tubuh yang tak berguna itu ia harapkan ditanam di samping makam
ibunya. Sadar ia tengah memikirkan pemakamannya sendiri, ia terbahak. Pemikiran
tolol macam apa yang sedang ia pikirkan. Orang-orang yang akan menemukan
jasadnya sudah baik betul jika membawa tubuhnya pergi dan ditanam ke dalam
tanah meski entah di mana. Alih-alih dikubur, ia jauh lebih percaya bahwa
tubuhnya akan dibakar di dalam tumpukan sampah kering atau mungkin akan
dilemparkan kembali ke laut untuk dimakan ikan.

***

Cambuk itu melayang, menghajar
punggung ibu. Mata ayah yang merah seperti gambar api neraka. Membara dan siap
membakar apa saja yang ditatapnya. Cemeti itu menggelegar lagi. Ibu hanya
terbungkuk-bungkuk, ia menangis tanpa suara. Air mata mengalir dari ceruk
matanya, membentuk anak sungai di wajahnya. Dirinya masih sepuluh tahun waktu
itu, tatkala ayahnya kerap memutar cemeti atau menumbuk kepala ibu dengan vas
bunga. Gugu ibu akan ditahan, sebuah petaka baru jika tangis itu sampai di
telinga ayah. Cemeti yang sudah teronggok di meja akan bekerja kembali
menghajar punggung ibu.

Di usianya itu ia tak mengenal
apa itu dendam. Ia hanya tahu bahwa ayah tak berlaku benar. Ibu sebagai
perempuan teramat lemah untuk membela diri. Usia lima belas, ia masih kerap
melihat ibu tersiksa. Perempuan malang yang masih saja setia atas nama cinta di
tengah siksa. Di usia ini pula ia kerap bertanya apakah mencintai seseorang
haruslah menggadaikan nalar? Haruskah cinta itu sebegitu setianya sampai
mengarah kepada hal bodoh seperti yang dilakukan ibu? Bersedia bertahan di
samping seorang suami yang tak berguna.

Ia belum mengenal istilah dendam
dan pembangkangan sampai didapatinya ibu terkapar di lantai kamar. Tak
bergerak, tak bernapas. Orang-orang begitu percaya bahwa perempuan malang itu
mati lantaran sakit yang tak kunjung terobati. Bilur-bilur di tubuh perempuan
yang lemah itu dianggap sebagai penyakit biasa. Semuanya harus menganggap itu
bukan perkara pelik hanya lantaran yang mati adalah istri dari cucu demang yang
terhormat.

Tatkala tubuh ibunya mulai
berkalang tanah, dendam baru mengenal hatinya. Ia memberontak di atas liang
lahad ibunya sendiri. Kematian lelaki yang dipanggilnya ayah tak ubahnya candu
yang harus dipenuhi.

Satu malam lelaki durhaka itu
meregang dalam tikaman belati peninggalan nenek moyang. Belati bergagang kepala
naga yang hanya di waktu-waktu tertentu digunakan. Ayahnya terkapar di atas
tilam, darah mengucur layaknya air mancur di dadanya. Ia telah menunaikan
dendam masa lalu. Ia menang atas ayahnya sendiri. Pendurhaka telah terlahir di
malam kematian seorang cucu demang yang konon terhormat namun demikian celaka.

Satu per satu, bukan hanya
ayahnya yang harus meregang nyawa. Orang-orang yang dulu tak peduli atas derita
ibunya satu per satu dihunjami belati. Belasan nyawa melayang, namun ia seolah
tak menemukan ujung kepuasan. Serdadu-serdadu berhasil menyergapnya di sebuah
pelarian, menggunakan tongkang bermesin ia dilarikan ke Teluk Gong. Sebuah
tempat hukuman untuk para manusia yang haruslah dimusnahkan di kehidupan
masyarakat. Setengah tahun mendekam di sana, ia melarikan diri menggunakan
perahu rampasan. Sejak kecil ia demikian mencintai laut. Ibu, perempuan yang
malang itu, kerap mengajaknya menonton burung-burung camar terbang di tengah
deburan ombak. Aroma laut demikian dicintai ibu.

Banyak waktu dihabiskan ibu hanya
untuk sekadar memandangi laut lepas. Melihat matahari yang terbenam di garis
cakrawala. Jika hati ibu sedang baik dan tidak diliputi rasa gelisah, kerap
kali ibu akan melontarkan sajak-sajak pendek untuk mengiringi tenggelamnya sang
matahari.

Awan berarak memisah diri, tampak
nyaris bersembunyi di punggung hari.

Matahari memilih kembali pada
pangkuan ibunda malam yang hendak berjaga.

Camar-camar turut berarak pergi,
pulang menuju kembali kepada sangkar, hendak melelapkan diri di peraduan.

Laut tak akan menjadi laut tanpa
campur tangan buih dan kerasnya karang.

Hidup tak akan demikian hidup
tanpa adanya rasa kasih sayang…

Mendengar sajak yang dibacakan
ibu, dia akan tertawa lepas. Betapa indahnya sajak yang disampaikan perempuan
yang kerap dilihatnya menangis itu. Lalu, sajak ibu pun tak pernah ia dengar
lagi, selepas ibu kehilangan daya dan citanya dalam menjalani hidup yang
demikian fana.

***

Tubuhnya masih teronggok layaknya
ikan paus terdampar. Fajar telah lewat, tapi belum juga ada yang menemukan
jasadnya. Ia tak perlu berharap banyak. Matanya hanya menatap jasadnya dengan
gamang. Pantaskah tubuh seorang pendurhaka dikebumikan? Atau haruskah ia
dibiarkan saja membusuk di bibir pantai. Ia tak ingin lagi memikirkan nasib
dirinya. Terserah mau diapakan dirinya nanti, ia menjadi begitu tak peduli.

Cericit burung camar terdengar
begitu ingar bingar. Satu-dua ekor hinggap di tubuhnya yang masih terkapar.
Jenuh menunggu orang datang, ia mengamati burung-burung camar itu dengan
sukacita. Senyum merekah di bibirnya. Entah sudah berapa tahun ia tak lagi
tersenyum, tawa bahagia pun lenyap di bibirnya. Ia pendurhaka yang lupa akan
tawa dan bahagia. Camar-camar yang lain mulai berdatangan. Hinggap dan
meloncat-loncat di atas jasadnya.

”Makanlah tubuhku itu jika kalian
lapar. Makanlah semua tubuhku dan bawalah terbang tinggi meninggalkan dunia
yang sial ini,” ia berkata sembari mengamati burung-burung camar yang bermain
di atas tubuhnya. ”Makanlah! Tak usah sungkan, makanlah semuanya meski aku tak
yakin tubuh seorang pendurhaka segurih ikan atau udang-udang yang kerap kalian
makan dari dalam lautan.”

Gerombolan burung camar yang lain
mulai berdatangan. Tubuhnya mulai dipatuki. Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai
dimakan para burung camar. Melihat burung-burung itu begitu bersemangat memakan
jasadnya, ia tertawa lepas. Tawanya menggelegar. Jadi, beginilah upacara
pemakaman seorang pendurhaka itu. Camar-camar menguburkan dirinya, deburan
ombak berdoa. Tak perlu menunggu lama agar jasadnya habis.

Ia mengira bahwa camar akan
meninggalkan dirinya selepas hanya tersisa tulang belulang saja. Tapi, ia
keliru, sekawanan burung camar membawa kerangka tubuhnya terbang tinggi ke arah
lepas pantai. Di tengah lautan, kerangka tubuhnya dilemparkan para camar.
Kerangka itu dibenamkan di tengah lautan.

Ia masih termangu di bibir pantai
selepas pemakaman dirinya usai. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Berjalanlah
ia menuju bukit kapur di selatan. Ia ingin bertemu dengan ibunya, mengabarkan
bahwa sang pendurhaka telah kembali. Kembali menemukan dirinya yang paling
sejati, meski itu didapatkannya selepas mati. (*)

Jogjakarta, November 2019

ARTIE AHMAD

Lahir 21 November 1994 dan besar
di Salatiga. Saat ini tinggal di Jogjakarta. Menulis cerita pendek dan novel.
Beberapa karyanya dimuat media massa. Dua buku terbarunya, novel Sunyi di Dada Sumirah (2018) dan
kumpulan cerpen Cinta yang Bodoh Harus
Diakhiri
(2019). Novela terbarunya, Manusia-Manusia
Teluk
, terbit pada awal 2020.

Exit mobile version