28.4 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sajak: Surat kepada Diri

mata boleh terbuka kendati lelap dalam tidur

kata-kata boleh berlepasan tanpa batasan

asalkan masih tertahan di dalam benak

kau boleh jatuh cinta untuk kedua kali

bahkan keseribu kali, tetapi masih kepada kekasih

yang setia menemanimu semata

berkenalan dengan diri sendiri

ternyata lebih susah ketimbang

melakukan pendekatan dengan orang asing

terlalu lama sebagai diri

lama sekali bukan sebagai diri

lalu harus berjumpa lagi dengan diri sendiri

seperti karib yang lama tak bercengkerama

ternyata bukan hal yang mudah

terlebih saat diri telah berubah bentuk

entah semakin keras atau lunak

menuju dewasa atau kembali kanak

tak ada bahasa yang lebih mewakili

selain getar bibir dan mata merah

Baca Juga :  Membongkar Logika Berpikir dengan Bahasa

yang kadang berlinang-linang

kaki boleh mengentakkan langkah

sejauh ujung daratan. tangan bisa

menjangkau apa pun yang menjadi hasrat

untuk diraih. namun bila jiwa lama abai

dan tersungkur di tepi risau, sesungguhnya

tujuanmu masih jauh

mata boleh terpejam, tetapi sedianya

tak pernah berhenti memandang diri sendiri

demikianlah surat ini kutulis

untuk diriku sendiri yang sekian lama

kurindukan.

______________

Ganding Pustaka, 2020

(RAEDU BASHA. Kelahiran Sumenep,
3 Juni 1988. Buku-buku puisinya, Hadrah Kiai (2017), Matapangara (2014), dan
buku-buku etnografi, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (2020) serta
Ya’ahowu: Etnografi tentang Nias (2018). Saat ini mengabdi ketua yayasan di
Pondok Pesantren Darussalam Billapora, Sumenep, Madura)

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

mata boleh terbuka kendati lelap dalam tidur

kata-kata boleh berlepasan tanpa batasan

asalkan masih tertahan di dalam benak

kau boleh jatuh cinta untuk kedua kali

bahkan keseribu kali, tetapi masih kepada kekasih

yang setia menemanimu semata

berkenalan dengan diri sendiri

ternyata lebih susah ketimbang

melakukan pendekatan dengan orang asing

terlalu lama sebagai diri

lama sekali bukan sebagai diri

lalu harus berjumpa lagi dengan diri sendiri

seperti karib yang lama tak bercengkerama

ternyata bukan hal yang mudah

terlebih saat diri telah berubah bentuk

entah semakin keras atau lunak

menuju dewasa atau kembali kanak

tak ada bahasa yang lebih mewakili

selain getar bibir dan mata merah

Baca Juga :  Membongkar Logika Berpikir dengan Bahasa

yang kadang berlinang-linang

kaki boleh mengentakkan langkah

sejauh ujung daratan. tangan bisa

menjangkau apa pun yang menjadi hasrat

untuk diraih. namun bila jiwa lama abai

dan tersungkur di tepi risau, sesungguhnya

tujuanmu masih jauh

mata boleh terpejam, tetapi sedianya

tak pernah berhenti memandang diri sendiri

demikianlah surat ini kutulis

untuk diriku sendiri yang sekian lama

kurindukan.

______________

Ganding Pustaka, 2020

(RAEDU BASHA. Kelahiran Sumenep,
3 Juni 1988. Buku-buku puisinya, Hadrah Kiai (2017), Matapangara (2014), dan
buku-buku etnografi, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (2020) serta
Ya’ahowu: Etnografi tentang Nias (2018). Saat ini mengabdi ketua yayasan di
Pondok Pesantren Darussalam Billapora, Sumenep, Madura)

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

Terpopuler

Artikel Terbaru