26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Larasati

Pepohonan cemara di sudut bundaran kampus itu mengurangi kegersangan
kompleks gelanggang mahasiswa. Tidak ada kesan tempat ini menjadi lokasi
demonstrasi yang bergemuruh, saksi perkelahian mahasiswa dengan aparat
keamanan, atau sekadar tempat beristirahat mahasiswa.

—

BERBEDA dengan puluhan tahun
lalu, jalanan dari bundaran sampai gedung wisuda tampak lebar, beraspal halus,
dan bersih. Tak ada lagi gerobak pedagang kaki lima dan lapak buku bekas dari
pintu utama hingga pertigaan Purna Budaya. Sebaliknya, di tiap jalan masuk ke
kampus, pos-pos satpam berdiri angker, seolah melarang orang yang tidak
berkepentingan berkeliaran di dalamnya.

Dua puluh dua tahun lebih dari
cukup untuk mengubah kampus ini. Di tempat yang terasa asing ini aku tertegun
sendiri. Dari sekian perubahan, tetap saja ada yang mengabadi. Aroma kayu putih
yang memancar dari tubuhnya sampai kini mengambang di sini. Juga derai tawanya.
Juga tatapannya di depan bekas lapak buku. Betapa gesitnya kenangan sehingga
bisa melintasi ruang dan waktu, mengiringi hidup seseorang, bahkan mengajaknya
kembali ke masa lalu.

*

”Hei, jangan ambil buku itu! Tadi
sudah kutumpuk bersama buku-buku ini. Enak saja datang-datang langsung ambil!”
teriak perempuan di sampingku.

Aku menatap hidung kecil dan
kacamata yang nangkring di atasnya. Baju lengan panjangnya digulung sampai ke
siku. Kulit kuning langsatnya tampak berkilat. Catatan dari Bawah Tanah yang
kupegang terasa memberat. Mataku melirik buku-buku yang ditumpuknya. ”Tolstoy,
Turgenev, Pasternak, dan Goncharov. Ia tengah memburu Rusia,” pikirku.

”Maaf, aku hanya ingin membacanya,”
ujarku tergeragap.

”Oke, aku kira akan dibeli.”

Bukannya bersimpati, penjual buku
bekas itu tersenyum ke arahku. Pengunjung lapak yang lain seolah tak peduli.
Aku tak lagi berminat mencari buku. Kuperhatikan gerakan tangan perempuan itu
menyortir buku bekas. Semilir angin sore dan keteduhan pohon yang menaungi
lapak itu tak mampu mengusir lelehan keringat di sekitar lehernya. Ya ampun,
beruang betina ini luar biasa cantik…

*

Di suatu malam yang lembut di
bulan Mei, dua tahun sebelum terjadi ledakan demonstrasi di kampus, menjelang
petualangannya yang mengagumkan di dalam selimut intelijen tentara dan polisi,
Kunto menemuiku di sebuah warung di dekat Boulevard.

”Pras, perkenalkan teman baruku.
Mahasiswa baru. Tidak kuliah di sastra, tapi mengagumi sastra Rusia. Mungkin
kalian bisa menjadi teman yang baik,” ujarnya.

Perempuan yang beberapa hari lalu
memarahiku karena mengacaukan buku-buku yang akan dibelinya menjabat erat tanganku.

”Larasati,” ujarnya lembut.
”Panggil saja Lara.”

Nama yang indah dan panggilan
yang ganjil.

”Pras, Prasetyo. Kita sudah
ketemu beberapa waktu lalu.”

Tak ada suara yang keluar dari
mulutnya. Mungkin ia tersipu atau merasa bersalah. Kunto membuka percakapan
tentang dokter Zhivago karya Pasternak. Suara Lara mendadak berubah. Dengan
penuh semangat ia bercerita tentang Lara Guissar, tokoh perempuan yang melayani
revolusi Rusia tanpa banyak mulut. Pantas ia memakai nama panggilan seperti
tokoh karangan Boris Pasternak itu. Namun, aku tak mendengarkan uraiannya di
keremangan warung tenda. Leher angsanya, kerapuhan tubuhnya, sorot mata, dan
kepadatan suaranya meluluhlantakkan perasaanku.

Sastra Rusia benar-benar
mendekatkan aku dengan dirinya. Setiap sore, bila tak di warung yang tak jauh
dari lapak buku bekas, kami menghabiskan waktu di undak-undakan depan gedung
wisuda. Di sela-sela keriuhan mahasiswa dan dosen yang terus membicarakan
naiknya suhu politik, ia tenggelam dalam gairah membacanya dan rasa frustrasi
membayangkan akhir dari masa kacau yang tak punya arah ini.

Baca Juga :  Dammahum Jadi Mercusuar

”Bisakah kau bayangkan bagaimana
jadinya setelah rezim ini turun? Tiga puluh tahun rezim ini mengatur hidup
kita,” ujarnya.

”Ya, lebih celaka lagi kalau
rezim terkutuk ini terus dipertahankan,” ujarku.

”Kira-kira kehidupan macam apa
yang akan kita jalani sesudah rezim ini turun?”

”Semoga saja lebih baik dari
sekarang,” jawabku sekenanya.

”Kau yakin?” tanyanya sangsi.

”Tidak juga.”

Ia menatapku. Tidak ada hal yang
paling menyenangkan selain memandang ekspresi jengkel di wajahnya. Sayangnya,
situasi yang makin memanas membuatku tak bisa terus bersamanya. Para aktivis
kampus semakin memperhebat demonstrasi di bawah ancaman penculikan. Waktu
berbincang santai semakin berkurang. Tumpukan tugas reportase sekaligus
penghubung pesan antaraktivis meringkus waktu-waktuku bersamanya.

Lalu, hadirlah peristiwa yang
sama sekali tidak kuharapkan. Di bulan Maret yang sejuk, setelah ia
mengantarkan sebungkus makanan untukku di dalam kampus yang mulai dikelilingi
sekelompok polisi, pecah bentrokan antara polisi dan mahasiswa. Ia terperangkap
dalam arus demonstrasi itu. Bagian belakang kepala dan pelipis wajahnya
berdarah. Tubuhnya terus gemetaran.

Hari-hari setelah peristiwa itu
mengubah hidup Larasati. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah di hari
terang, lalu mulai menjelajahi jalanan pada malam hari. Sorot matanya yang
lembut mulai berubah. Kadang sayu, namun dalam sekejap bisa mencorong terang. Tak
pernah lagi ia masuk ke kampus. Ia menjauhi teman-teman kuliahnya. Pernah pada
suatu malam aku menemukannya duduk sendiri di bangku salah satu sudut
perempatan Tugu setelah kucari-cari ke berbagai lokasi dan tak berhasil
menemukannya.

”Pras, apakah kau benar-benar
mencintaiku? Apakah kau ingin hidup denganku? Apakah kau mencintaiku meskipun
aku gila?”

Ia bercerita ada dunia lain di
kepalanya yang makin merenggut kesadarannya. Saat ia menceritakan dunia itu,
sorot matanya membuncah terang, seolah-olah sebuah pintu rahasia terbuka lebar
di depannya. Jiwanya perlahan-lahan terserap ke dunia itu.

*

Lamunanku lenyap oleh suara
teriakan dari belakangku. Seorang lelaki tambun melambaikan tangan ke arahku.

Benar-benar tak berubah dia,
pikirku. Sejak kuliah sampai sekarang, lelaki tambun ini salah satu orang yang
terus bertahan di lingkaran kecil pertemananku. Ia berasal dari Blitar Selatan.
Sebagian keluarganya habis dibantai semasa geger akhir September 1965. Ia
sendiri terhindar dari maut karena diasuh oleh pamannya yang tinggal di Malang.

Sejarah keluarganya ia kubur dan
nyaris tidak pernah diceritakan ke orang lain. Semasa aksi jalanan 1997–1998,
dengan kelicinannya, ia masuk ke dalam jaringan militer. Aku tak bisa melupakan
ide gila yang diucapkan oleh orang yang banyak membaca novel detektif ini
menjelang demonstrasi mahasiswa besar-besaran.

”Ini perjanjian antara kita
berdua. Aku akan masuk ke jaringan intelijen tentara dan kepolisian,” ujarnya.

Ia menyimpan sendiri semua taktik
dan tujuan-tujuannya. Namun, aku memercayainya. Dendam kepada rezim politik
yang menghabisi keluarganya cukup menggaransi tindakannya. Hanya tempat-tempat
tertentu yang kami datangi untuk saling memungut pesan-pesan. Ratusan kertas
bungkus rokok yang menjadi alat komunikasi kami itu turut menyelamatkan
beberapa aktivis mahasiswa dari penculikan.

Kini hidupnya tampak lebih makmur
dari dua puluh dua tahun lalu. Tidak ada jejak kelaparan seperti yang
dialaminya semasa ngekos di pinggir Kali Code. Tidak seperti teman kami yang
memasuki dunia politik, bekerja di LSM, atau menjadi birokrat, ia beruntung
memperistri anak seorang pengusaha mebel dari Kudus dan hidup tenang dengan
membuka toko mebel.

”Belum mati juga kau,” ujar Kunto
sembari menepuk punggungku.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

Aku tersenyum lebar menanggapi
ucapannya.

”Apa sekarang kau sudah bisa
bangun pagi?” tanyaku.

”Sudah dong. Walaupun terpaksa.
Istriku lebih suka bercinta di pagi hari,” ujarnya sambil cengengesan.

”Ah, bukannya kau impoten,
seperti teman-teman kita di Jakarta sana,” ujarku.

Ia tertawa. Mungkin wajah teman
kami yang dulu berada di garis depan demonstrasi itu berlintasan di benaknya.

”Dasar mulut busuk! Untung
mulutmu selamat dari gebukan popor senapan. Kalau dulu aku tidak pintar,
mungkin nasibmu sama dengan Tanto. Mulut digebuk popor, selangkangannya disepak
sepatu tentara.”

”Dia kaya raya sekarang. Kabarnya
punya banyak istri simpanan,” ujarku geli.

”Apa gunanya memelihara gundik
kalau tidak digauli? Aku berani bertaruh, burungnya makin tua makin mengecil.
Untung tidak sekecil punyamu,” ujarnya.

”Bajingan!”

”Benar kan? Bisa kau dulu
bercinta dengan Lara?”

Aku tidak mengomentari ucapannya.
Alih-alih berbicara, aku mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kampus. Kunto
bercerita tentang kampus yang makin necis dan dihuni orang-orang kaya.
Sementara benakku justru dipenuhi bayangan Larasati. Akhirnya, aku mengajaknya
berhenti di depan gedung wisuda kami dulu.

”Kau tahu kabar terakhir Lara?”
tanyaku kepadanya.

”Terakhir aku mengunjunginya dua
bulan lalu. Ia tampak sehat meski semakin kurus. Untung kita punya teman
seperti dokter Winarno. Tapi, Lara terlalu rapuh untuk kembali seperti dulu.”

Dadaku terasa kosong, sementara
otakku tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan obrolan.

”Dua hari lalu aku tinggal di
rumah dokter itu.”

Kunto menatapku dan menarik napas
panjang.

”Kau ingin mengatakan sesuatu
tentang Lara?”

”Apa kau pikir aku sedang
menyimpan rahasia?” balasku bertanya.

”Sudahlah, katakan saja. Kau
bukan pemain sandiwara yang baik.”

Aku ingin memakinya, namun ia tak
memedulikan ekspresi dan gerakan tubuhku.

”Tak percuma rahasia busukmu itu
tak pernah terbongkar intelijen di kota ini.”

Ia tersenyum simpul dan menepuk
bahuku.

”Aku selalu terinspirasi dengan
serial Penginapan Pintu Naga itu. Sejak pertama mengenalmu, aku yakin kau lebih
mirip sosok Chou Huai An dan aku lebih cocok menjadi teman masa kecil Huai An
yang mengabdi kepada Kasim Wei Cung Sien.”

”Sayangnya, kita tak mati seperti
tokoh-tokoh dalam film itu.”

”Jadi, apa yang terjadi dengan
Lara?”

”Jasadnya sudah dikuburkan
kemarin.”

”Kenapa kau tak menghubungiku?
Magelang–Jogja hanya satu jam.”

Aku memandang jauh ke gedung
wisuda yang tinggi menghalangi pemandangan Gunung Merapi di belakangnya, gedung
yang tidak pernah mewisuda mahasiswa cerdas seperti Larasati. Cahaya matahari
mulai membuatku berkeringat. Namun, jiwaku semakin membeku.

*

Setelah dua jam ngobrol, Kunto
mengajakku singgah di kantin fakultas sastra yang kini terlihat bersih. Setelah
itu, kami berpisah. Dulu, setelah Larasati masuk rumah sakit jiwa di Magelang,
aku membenci kota ini lebih dari apa pun. Kubereskan kuliah secepatnya, lalu
hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.

Kini, setelah jasad Larasati
dimakamkan, kuinjak lagi kota ini untuk berpisah selamanya. Kakiku menyusuri
tempat yang dulu kuakrabi untuk kali terakhir. Telingaku mendengar sebuah
panggilan dari suatu sudut di bekas lapak toko buku bekas yang kini kosong.
Namun, aku terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun. (*)

—

(DWI CIPTA. Penulis adalah
seorang novelis, cerpenis, esais sastra, dan penerjemah. Novel pertamanya yang
berjudul Darah Muda terbit pada Desember 2017, sedangkan kumpulan cerpennya
yang berjudul Renjana terbit pada Januari 2019. Buku terjemahannya yang sudah
diterbitkan adalah Victoria (karya Knut Hamsun))

Pepohonan cemara di sudut bundaran kampus itu mengurangi kegersangan
kompleks gelanggang mahasiswa. Tidak ada kesan tempat ini menjadi lokasi
demonstrasi yang bergemuruh, saksi perkelahian mahasiswa dengan aparat
keamanan, atau sekadar tempat beristirahat mahasiswa.

—

BERBEDA dengan puluhan tahun
lalu, jalanan dari bundaran sampai gedung wisuda tampak lebar, beraspal halus,
dan bersih. Tak ada lagi gerobak pedagang kaki lima dan lapak buku bekas dari
pintu utama hingga pertigaan Purna Budaya. Sebaliknya, di tiap jalan masuk ke
kampus, pos-pos satpam berdiri angker, seolah melarang orang yang tidak
berkepentingan berkeliaran di dalamnya.

Dua puluh dua tahun lebih dari
cukup untuk mengubah kampus ini. Di tempat yang terasa asing ini aku tertegun
sendiri. Dari sekian perubahan, tetap saja ada yang mengabadi. Aroma kayu putih
yang memancar dari tubuhnya sampai kini mengambang di sini. Juga derai tawanya.
Juga tatapannya di depan bekas lapak buku. Betapa gesitnya kenangan sehingga
bisa melintasi ruang dan waktu, mengiringi hidup seseorang, bahkan mengajaknya
kembali ke masa lalu.

*

”Hei, jangan ambil buku itu! Tadi
sudah kutumpuk bersama buku-buku ini. Enak saja datang-datang langsung ambil!”
teriak perempuan di sampingku.

Aku menatap hidung kecil dan
kacamata yang nangkring di atasnya. Baju lengan panjangnya digulung sampai ke
siku. Kulit kuning langsatnya tampak berkilat. Catatan dari Bawah Tanah yang
kupegang terasa memberat. Mataku melirik buku-buku yang ditumpuknya. ”Tolstoy,
Turgenev, Pasternak, dan Goncharov. Ia tengah memburu Rusia,” pikirku.

”Maaf, aku hanya ingin membacanya,”
ujarku tergeragap.

”Oke, aku kira akan dibeli.”

Bukannya bersimpati, penjual buku
bekas itu tersenyum ke arahku. Pengunjung lapak yang lain seolah tak peduli.
Aku tak lagi berminat mencari buku. Kuperhatikan gerakan tangan perempuan itu
menyortir buku bekas. Semilir angin sore dan keteduhan pohon yang menaungi
lapak itu tak mampu mengusir lelehan keringat di sekitar lehernya. Ya ampun,
beruang betina ini luar biasa cantik…

*

Di suatu malam yang lembut di
bulan Mei, dua tahun sebelum terjadi ledakan demonstrasi di kampus, menjelang
petualangannya yang mengagumkan di dalam selimut intelijen tentara dan polisi,
Kunto menemuiku di sebuah warung di dekat Boulevard.

”Pras, perkenalkan teman baruku.
Mahasiswa baru. Tidak kuliah di sastra, tapi mengagumi sastra Rusia. Mungkin
kalian bisa menjadi teman yang baik,” ujarnya.

Perempuan yang beberapa hari lalu
memarahiku karena mengacaukan buku-buku yang akan dibelinya menjabat erat tanganku.

”Larasati,” ujarnya lembut.
”Panggil saja Lara.”

Nama yang indah dan panggilan
yang ganjil.

”Pras, Prasetyo. Kita sudah
ketemu beberapa waktu lalu.”

Tak ada suara yang keluar dari
mulutnya. Mungkin ia tersipu atau merasa bersalah. Kunto membuka percakapan
tentang dokter Zhivago karya Pasternak. Suara Lara mendadak berubah. Dengan
penuh semangat ia bercerita tentang Lara Guissar, tokoh perempuan yang melayani
revolusi Rusia tanpa banyak mulut. Pantas ia memakai nama panggilan seperti
tokoh karangan Boris Pasternak itu. Namun, aku tak mendengarkan uraiannya di
keremangan warung tenda. Leher angsanya, kerapuhan tubuhnya, sorot mata, dan
kepadatan suaranya meluluhlantakkan perasaanku.

Sastra Rusia benar-benar
mendekatkan aku dengan dirinya. Setiap sore, bila tak di warung yang tak jauh
dari lapak buku bekas, kami menghabiskan waktu di undak-undakan depan gedung
wisuda. Di sela-sela keriuhan mahasiswa dan dosen yang terus membicarakan
naiknya suhu politik, ia tenggelam dalam gairah membacanya dan rasa frustrasi
membayangkan akhir dari masa kacau yang tak punya arah ini.

Baca Juga :  Dammahum Jadi Mercusuar

”Bisakah kau bayangkan bagaimana
jadinya setelah rezim ini turun? Tiga puluh tahun rezim ini mengatur hidup
kita,” ujarnya.

”Ya, lebih celaka lagi kalau
rezim terkutuk ini terus dipertahankan,” ujarku.

”Kira-kira kehidupan macam apa
yang akan kita jalani sesudah rezim ini turun?”

”Semoga saja lebih baik dari
sekarang,” jawabku sekenanya.

”Kau yakin?” tanyanya sangsi.

”Tidak juga.”

Ia menatapku. Tidak ada hal yang
paling menyenangkan selain memandang ekspresi jengkel di wajahnya. Sayangnya,
situasi yang makin memanas membuatku tak bisa terus bersamanya. Para aktivis
kampus semakin memperhebat demonstrasi di bawah ancaman penculikan. Waktu
berbincang santai semakin berkurang. Tumpukan tugas reportase sekaligus
penghubung pesan antaraktivis meringkus waktu-waktuku bersamanya.

Lalu, hadirlah peristiwa yang
sama sekali tidak kuharapkan. Di bulan Maret yang sejuk, setelah ia
mengantarkan sebungkus makanan untukku di dalam kampus yang mulai dikelilingi
sekelompok polisi, pecah bentrokan antara polisi dan mahasiswa. Ia terperangkap
dalam arus demonstrasi itu. Bagian belakang kepala dan pelipis wajahnya
berdarah. Tubuhnya terus gemetaran.

Hari-hari setelah peristiwa itu
mengubah hidup Larasati. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah di hari
terang, lalu mulai menjelajahi jalanan pada malam hari. Sorot matanya yang
lembut mulai berubah. Kadang sayu, namun dalam sekejap bisa mencorong terang. Tak
pernah lagi ia masuk ke kampus. Ia menjauhi teman-teman kuliahnya. Pernah pada
suatu malam aku menemukannya duduk sendiri di bangku salah satu sudut
perempatan Tugu setelah kucari-cari ke berbagai lokasi dan tak berhasil
menemukannya.

”Pras, apakah kau benar-benar
mencintaiku? Apakah kau ingin hidup denganku? Apakah kau mencintaiku meskipun
aku gila?”

Ia bercerita ada dunia lain di
kepalanya yang makin merenggut kesadarannya. Saat ia menceritakan dunia itu,
sorot matanya membuncah terang, seolah-olah sebuah pintu rahasia terbuka lebar
di depannya. Jiwanya perlahan-lahan terserap ke dunia itu.

*

Lamunanku lenyap oleh suara
teriakan dari belakangku. Seorang lelaki tambun melambaikan tangan ke arahku.

Benar-benar tak berubah dia,
pikirku. Sejak kuliah sampai sekarang, lelaki tambun ini salah satu orang yang
terus bertahan di lingkaran kecil pertemananku. Ia berasal dari Blitar Selatan.
Sebagian keluarganya habis dibantai semasa geger akhir September 1965. Ia
sendiri terhindar dari maut karena diasuh oleh pamannya yang tinggal di Malang.

Sejarah keluarganya ia kubur dan
nyaris tidak pernah diceritakan ke orang lain. Semasa aksi jalanan 1997–1998,
dengan kelicinannya, ia masuk ke dalam jaringan militer. Aku tak bisa melupakan
ide gila yang diucapkan oleh orang yang banyak membaca novel detektif ini
menjelang demonstrasi mahasiswa besar-besaran.

”Ini perjanjian antara kita
berdua. Aku akan masuk ke jaringan intelijen tentara dan kepolisian,” ujarnya.

Ia menyimpan sendiri semua taktik
dan tujuan-tujuannya. Namun, aku memercayainya. Dendam kepada rezim politik
yang menghabisi keluarganya cukup menggaransi tindakannya. Hanya tempat-tempat
tertentu yang kami datangi untuk saling memungut pesan-pesan. Ratusan kertas
bungkus rokok yang menjadi alat komunikasi kami itu turut menyelamatkan
beberapa aktivis mahasiswa dari penculikan.

Kini hidupnya tampak lebih makmur
dari dua puluh dua tahun lalu. Tidak ada jejak kelaparan seperti yang
dialaminya semasa ngekos di pinggir Kali Code. Tidak seperti teman kami yang
memasuki dunia politik, bekerja di LSM, atau menjadi birokrat, ia beruntung
memperistri anak seorang pengusaha mebel dari Kudus dan hidup tenang dengan
membuka toko mebel.

”Belum mati juga kau,” ujar Kunto
sembari menepuk punggungku.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

Aku tersenyum lebar menanggapi
ucapannya.

”Apa sekarang kau sudah bisa
bangun pagi?” tanyaku.

”Sudah dong. Walaupun terpaksa.
Istriku lebih suka bercinta di pagi hari,” ujarnya sambil cengengesan.

”Ah, bukannya kau impoten,
seperti teman-teman kita di Jakarta sana,” ujarku.

Ia tertawa. Mungkin wajah teman
kami yang dulu berada di garis depan demonstrasi itu berlintasan di benaknya.

”Dasar mulut busuk! Untung
mulutmu selamat dari gebukan popor senapan. Kalau dulu aku tidak pintar,
mungkin nasibmu sama dengan Tanto. Mulut digebuk popor, selangkangannya disepak
sepatu tentara.”

”Dia kaya raya sekarang. Kabarnya
punya banyak istri simpanan,” ujarku geli.

”Apa gunanya memelihara gundik
kalau tidak digauli? Aku berani bertaruh, burungnya makin tua makin mengecil.
Untung tidak sekecil punyamu,” ujarnya.

”Bajingan!”

”Benar kan? Bisa kau dulu
bercinta dengan Lara?”

Aku tidak mengomentari ucapannya.
Alih-alih berbicara, aku mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kampus. Kunto
bercerita tentang kampus yang makin necis dan dihuni orang-orang kaya.
Sementara benakku justru dipenuhi bayangan Larasati. Akhirnya, aku mengajaknya
berhenti di depan gedung wisuda kami dulu.

”Kau tahu kabar terakhir Lara?”
tanyaku kepadanya.

”Terakhir aku mengunjunginya dua
bulan lalu. Ia tampak sehat meski semakin kurus. Untung kita punya teman
seperti dokter Winarno. Tapi, Lara terlalu rapuh untuk kembali seperti dulu.”

Dadaku terasa kosong, sementara
otakku tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan obrolan.

”Dua hari lalu aku tinggal di
rumah dokter itu.”

Kunto menatapku dan menarik napas
panjang.

”Kau ingin mengatakan sesuatu
tentang Lara?”

”Apa kau pikir aku sedang
menyimpan rahasia?” balasku bertanya.

”Sudahlah, katakan saja. Kau
bukan pemain sandiwara yang baik.”

Aku ingin memakinya, namun ia tak
memedulikan ekspresi dan gerakan tubuhku.

”Tak percuma rahasia busukmu itu
tak pernah terbongkar intelijen di kota ini.”

Ia tersenyum simpul dan menepuk
bahuku.

”Aku selalu terinspirasi dengan
serial Penginapan Pintu Naga itu. Sejak pertama mengenalmu, aku yakin kau lebih
mirip sosok Chou Huai An dan aku lebih cocok menjadi teman masa kecil Huai An
yang mengabdi kepada Kasim Wei Cung Sien.”

”Sayangnya, kita tak mati seperti
tokoh-tokoh dalam film itu.”

”Jadi, apa yang terjadi dengan
Lara?”

”Jasadnya sudah dikuburkan
kemarin.”

”Kenapa kau tak menghubungiku?
Magelang–Jogja hanya satu jam.”

Aku memandang jauh ke gedung
wisuda yang tinggi menghalangi pemandangan Gunung Merapi di belakangnya, gedung
yang tidak pernah mewisuda mahasiswa cerdas seperti Larasati. Cahaya matahari
mulai membuatku berkeringat. Namun, jiwaku semakin membeku.

*

Setelah dua jam ngobrol, Kunto
mengajakku singgah di kantin fakultas sastra yang kini terlihat bersih. Setelah
itu, kami berpisah. Dulu, setelah Larasati masuk rumah sakit jiwa di Magelang,
aku membenci kota ini lebih dari apa pun. Kubereskan kuliah secepatnya, lalu
hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.

Kini, setelah jasad Larasati
dimakamkan, kuinjak lagi kota ini untuk berpisah selamanya. Kakiku menyusuri
tempat yang dulu kuakrabi untuk kali terakhir. Telingaku mendengar sebuah
panggilan dari suatu sudut di bekas lapak toko buku bekas yang kini kosong.
Namun, aku terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun. (*)

—

(DWI CIPTA. Penulis adalah
seorang novelis, cerpenis, esais sastra, dan penerjemah. Novel pertamanya yang
berjudul Darah Muda terbit pada Desember 2017, sedangkan kumpulan cerpennya
yang berjudul Renjana terbit pada Januari 2019. Buku terjemahannya yang sudah
diterbitkan adalah Victoria (karya Knut Hamsun))

Terpopuler

Artikel Terbaru