26.7 C
Jakarta
Tuesday, December 3, 2024

Dammahum Jadi Mercusuar

KETIKA itu
usianya 48. Ia menemuiku seusai salat Jumat. ”Sungguh, saya tak pernah
mendengar khotbah sebagus tadi,” katanya dengan punggung yang dibungkukkan. Aku
tersenyum. Meski kurang nyaman, aku harus tetap menghargainya. ”Perkenankan
saya jadi murid Kiai,” pintanya tiba-tiba. Aku menoleh ke Umar, santri yang
sudah dua tahun mengawalku. ”Siapa pun bisa belajar sama Kiai,” kata pemuda 20
tahun itu sebelum kami meninggalkannya.

Namanya Dammahum. Suatu malam aku menemuinya di
pendapa pesantren. Kata istriku, ia menunggu hampir sembilan jam. Aku
mendengarkan ceritanya, termasuk mimpinya yang agung itu. Sulit kupercaya, tapi
aku tidak menangkap kebohongan dan keculasan di matanya. Aku hampir tak percaya
kalau masih ada orang kaya yang hanif di luar sana, kataku tanpa berusaha
meremehkannya. ”Tinggallah bersama Umar di kamarnya,” pungkasku.

Waktu berjalan serupa fatamorgana sebelum suatu hari
Umar mengonfirmasi ingatanku tentangnya. ”Sudah lama aku tidak melihatnya di
kajian Subuh. Kenapa dia tidak bilang kalau mau pamit? Alphard-nya juga sudah
lama tak ada di parkiran.”

”Pak Dammahum tidak ke mana-mana, Kiai,” kata Umar.
”Akhir-akhir ini ia langsung kembali ke kamar bakda Subuh. Dia tidak mau
memancing keriuhan lagi. Kiai masih ingat tangisnya pecah di keheningan kajian
Subuh enam bulan lalu?”

Aku mengingat-ingat. ”Ya,” kataku kemudian. ”Saat
itu aku mengisahkan Muhammad kecil yang diselamatkan seorang pendeta dengan
menyuruh Abu Thalib, pamannya yang memimpin rombongan yang akan melakukan
perjalanan ke Negeri Syam, untuk membawa ia kembali ke Makkah karena
orang-orang Yahudi di sana pasti akan melakukan sesuatu yang buruk begitu
mengetahui tanda-tanda kenabian itu tidak melekat pada Bani Israil. Itu
bukanlah bagian yang emosional dari Sirah Nabawiyah daripada masa-masa
menjelang wafatnya Rasul, Umar.”

”Kalau bagian itu saja ia tersedu sedan, bagaimana
dengan bagian-bagian yang lain, Kiai?”

”Apakah dia juga berpuasa?”

Umar mengangguk. ”Dan ia hanya berbuka dengan air
putih dan kurma. Ia juga selalu membangunkanku Tahajud, Kiai, bahkan sejak
malam pertama ia menghuni kamarku.”

”Masya Allah.”

”Alphard-nya sudah dijual, Kiai.”

”Apa?”

”Uangnya disumbangkan untuk pembangunan masjid
pesantren.”

Allah.

”Ia juga bercerita: untuk kepentingan bisnis dan
lepas dari jerat hukum, ia memiliki tujuh nama samaran plus berkas pendukungnya
seperti KTP, paspor, atau yang lainnya untuk semua perusahaannya. Katanya lagi,
wajahnya saat ini adalah hasil operasi plastik yang kali kesekian. Dan ia
sungguh ingin bertobat.”

Aku mencoba mencerna kata-kata Umar. ”Bagaimana
keluarganya?”

”Dia adalah duda yang ditinggal mati istri dan
anak-anaknya dalam sebuah kecelakaan empat tahun lalu.”

Allah. ”Tiap membicarakan hijrahnya, ia membawa-bawa
Kiai.”

Aku mengernyitkan dahi.

”Kiai masih ingat Andri Subhan dan Ahmad Patihan,
dua alumnus pesantren kita yang jadi juru bicara Kemenlu?”

Tentu saja aku ingat. ”Yang membuat Menlu Amerika
yang terkenal piawai beretorika dipecat sehari setelah mereka berdua membalas
serangannya dengan argumentasi brilian di sidang umum PBB tentang gencatan
senjata di Tepi Gaza tiga tahun lalu?”

Umar mengangguk.

”Apa hubungannya?”

”Pak Dammahum mengumpamakan mereka sebagai Mu’adz
bin Afra dan Mu’awwidz bin Afra di Perang Badar.”

”Dan Menlu Amerika yang mendukung Israel itu adalah
Abu Jahalnya?”

Umar mengangguk. ”Artinya… ia menganggap Kiai…”

”Di mana dia sekarang?” potongku.

”Bakda Asar Pak Dammahum biasanya melihat-lihat kuda
di halaman belakang pesantren, Kiai.”

Maka, sore itu kuputuskan menggelar latihan perang
berkuda dengan para santri. Pak Dammahum tampak senang sekali ketika kutawarkan
bergabung. Ia memang tidak mahir menggunakan pedang dan cemeti, tapi cemerlang
mengendalikan tunggangan baru. ”Di Kalimantan, aku memiliki puluhan kuda dan
area pacuan seluas 10 hektare, Kiai,” katanya tanpa terdengar pongah.

”PAK DAMMAHUM telah melampaui diri sendiri. Apa yang
Bapak jalani dua tahun di pesantren ini menjadi teladan bagi yang lain,” kataku
ketika ia meminta nasihat di usianya yang ke-50. ”Aku malah memiliki
permintaan,” lanjutku serta-merta.

Baca Juga :  Pendurhaka

”Sungguh kehormatan, Kiai,” katanya dengan kepala
tertunduk.

”Gantikanlah tugasku berceramah malam ini.”

Di luar dugaan, Pak Dammahum melakukannya dengan
baik. Video amatir ceramah pengalaman hijrahnya bahkan viral. Itu menyadarkanku
bahwa sudah saatnya ia berdakwah. ”Saya belum layak, Kiai,” katanya dengan
berurai air mata.

Tapi, keputusanku sudah bulat: ia harus meninggalkan
pesantren.

*

Hingga setahun setelahnya, Pak Dammahum tak pernah
berkabar. Meski media terus membicarakan sosoknya yang misterius; selain video
ceramahnya yang viral, karena beberapa lembaga kemanusiaan membocorkan
identitas penyokong utama kegiatan mereka; Dammahum. Aku menyesalkan kejadian
itu. Pak Dammahum pasti kecewa dan makin susah muncul ke publik, hingga… malam
pertama Ramadan itu seseorang menunggu di pendapa. Tentu saja aku heran.
Pesantren tak menerima tamu di bulan suci.

”Maaf, Kiai,” kata Umar, ”Saya bisa menolak siapa
pun, tapi tidak untuk yang ini,” ia menyebut sebuah nama dengan suara bergetar.

Sesosok lelaki membalikkan badannya. Aku sungguh
ingin menangis, tapi wajah Pak Dammahum –yang nyaris tak kukenali karena
rahangnya yang dipenuhi jambang dan janggut panjang di dagunya– sudah lebih
dulu merah dan basah oleh cahaya kemuliaan dan air mata ketakwaan.

Kami tak mengeluarkan sepatah kata pun beberapa
saat, seolah-olah memberikan kesempatan bagi sedu sedan untuk mengisi malam.
”Kalau hanya untuk menolak menjadi suar yang menerangi kapal yang kehilangan
arah, sebaiknya engkau pergi setelah kita berbasa-basi sebagai tamu dan tuan
rumah,” kataku dengan suara tercekat.

”Aku akan patuh, Kiai,” kata Pak Dammahum di sela
tangisnya. ”Tapi,” ia menyeka air matanya, ”bolehkah aku menceritakan mimpiku?”

Baru saja aku ingin menjawab, ia melanjutkan:

”Bukan tentang Rasulullah, Kiai,” wajahnya semringah
serta-merta. ”Aku bermimpi melihat debu di permukaan kulit Kiai dan aku ingin
sekali membersihkannya,” lanjutnya. ”Sudikah Kiai melepas jubah?”

Umar hendak buka suara ketika aku melepaskan jubah
pakistan hingga aku hanya mengenakan celana panjang kain dan kaus dalam. ”Kau
ingin aku bertelanjang dada?”

Pak Dammahum mengangguk dan berjalan mendekat.

”Dalam sirah kenabian: Du’tsur bin Al- Harits
berhasil menyusup ke kemah Nabi dan menghunuskan pedangnya ke leher Nabi dan
bertanya siapa yang bisa menyelamatkan Nabi saat itu. Kita semua tahu kalau
Rasulullah menjawab ”Allah” dan laki-laki suku Ghatafan itu terlempar hingga
pedangnya terlepas, bukan?” Umar mengingatkan.

”Aku takkan ingin senasib dengan Du’tsur bin Al-
Harits.”

”Kiai tidak akan mungkin balik menghunuskan
pedangnya ke lehermu,” tukas Umar.

”Silakan tunaikan hajatmu, Pak Dammahum,” kataku
berusaha tenang.

Pak Dammahum memandangi dada, lengan, bahu, dan
leherku dengan saksama. Lalu, ia berjalan memutar perlahan. Kulihat Umar
menatapnya dengan waspada, bersiap menghajar kalau ia mencoba menyakitiku.
Satu, dua, lima detik kemudian, Pak Dammahum menghentikan langkah tepat di
belakangku.

”Bapak telah menemukan debu itu?” desak Umar.

Dua sembilan, tiga dua, tiga lima, empat puluh detik
kemudian, kedua tangannya muncul dari kiri kanan tubuhku dan memelukku erat. Ia
mencium punggungku bertubi-tubi. Umar menariknya, tapi Pak Dammahum seolah-olah
baru mendapat tenaga kuda. Aku berselawat berulang-ulang hingga akhirnya Pak
Dammahum melepaskan pelukannya. ”Masih ingatkah, Kiai,” Pak Dammahum sudah
bersimpuh ketika aku berbalik, ”latihan perang di halaman belakang pesantren?”

”Cemeti yang kupukulkan ke kudamu malah mengenaimu?”

Aku paham ke mana ia menggiring percakapan.

”Tak ada yang kebetulan, Kiai.”

”Latihan perang itu bukan Perang Uhud, bukan pula
setelahnya. Kita terpisah hampir 1.500 tahun lalu dari Yang Mulia. Akasyah
berhak memeluk Rasul yang bertelanjang dada atas cinta kepada Kekasih Allah,
tapi… engkau sungguh tersesat mereka ulang kejadian agung itu dengan melibatkan
kita berdua.”

Baca Juga :  Roh Dewi Sri

Pak Dammahum mati kata. Setelah menarik tangan
kananku dan menciumnya berkali-kali, ia meninggalkan pesantren tanpa salam.

*

Aku jarang mengikuti perkembangan isu-isu nasional,
selain krisis Timur Tengah dan Palestina atau paling jauh kiprah Turki yang
makin disegani Barat, sampai… Umar memutar konferensi pers yang viral hari itu.

Dammahum muncul dengan setelan jas dan wajah yang
klimis. Meski kelihatan lebih muda dan karismatis dengan tampilan barunya, aku
tetap menyesalkan keputusannya. Ia membawa-bawa namaku sebagai orang yang
mengilhaminya untuk menjadi mercusuar negeri ini. Aku dan Umar saling pandang
ketika ia mengajak istri dan anak-anaknya naik ke panggung. Ia kemudian
membawa-bawa namaku sebagai orang yang memaksanya mengambil langkah besar:
berdakwah dengan menjadi mercusuar negeri ini. ”Bangsa ini ibarat kapal,”
katanya di atas podium. ”Harus ada mercusuar yang memberi tahu kalau laut
dangkal dan karang besar ada di tepi lautan. Aku mengambil langkah besar ini
setelah menjalani begitu banyak kejadian luar biasa dalam hidup, dukungan Kiai
muda yang sama-sama kita ketahui sangat layak diteladani bangsa ini, dan
pertimbangan demi pertimbangan yang menabrak tembok besar bernama: kembali ke
ajaran Rasul!”

Allahu Akbar. Allah bersamanya. Atau, Allah sedang
mengujinya?

Oh, ingin sekali aku meralat nasihatku dulu, tapi …
tahun keburu berganti dan Dammahum sudah menjadi mercusuar itu.

*

”Jadilah penasihatku, Kiai,” pintanya untuk kali
kesekian dalam enam bulan masa jabatannya. ”Aku sangat menginginkan keempat
pengawalmu menjadi bagian kabinet yang sebentar lagi akan ku-reshuffle, tapi
mereka tidak mau memberikan jawaban sebelum aku bicara kepadamu dan engkau
memberi mereka izin, Kiai.”

”Mengapa engkau mengesahkan undang-undang yang
menyusahkan orang kecil, melegalkan pembabatan hutan, menghapus hak libur bagi
wanita yang melahirkan dan laki-laki yang mendapat uzur besar, bahkan
menjadikan negeri ini sebagai rumah besar bagi orang-orang yang ingin
menguasainya, Pak Presiden? Tidakkah pesanku waktu itu adalah agar engkau
berdakwalah dengan ilmu dan kehanifan yang ada padamu.”

”Tapi, bukankah Kiai memintaku berjuang dengan
segenap yang kumampu?”

Aku tak tahu. Aku yang salah memilih kata atau dia
yang kebablasan menafsirkan.

”Dan aku tak mau tanggung-tanggung, Kiai.”

Aku ingat sekali. Dia memandangku tajam dan bicara
dengan nada yang ketus. ”Jadilah aku sebentar saja, Kiai,” kata-katanya menjelma
pedang tajam yang menghunus. ”Kiai akan tahu bahwa kata-kata bijak sungguh
tidak bekerja. Yang aku lebih tak habis pikir: mengapa Kiai menggerakkan para
santri untuk menuntutku mundur?”

”Pak Dammahum,” pekikku tertahan. ”Tuduhanmu
benar-benar tak berdasar dan mengawang-awang.”

”Semuanya terang, Kiai!” Ia pun meninggikan
suaranya. ”Sungguh aku tak menyangka hati Kiai busuk sekali. Aku ini muridmu
bagaimanapun!!!” Ia berteriak-teriak seperti macan yang diganggu tidurnya.

Entah sejak kapan dan bagaimana, aku tidak terkejut
dengan perubahan yang baru saja ia tunjukkan.

”Kiai benar dan sekarang aku percaya dengan
ketidakpercayaanmu tentang akhlak Rasul yang masih hidup itu. Mana ada orang
kaya hanif sepertiku di akhir zaman ini. Kini semuanya berbalik kepadamu, Kiai:
bagaimana mungkin masih ada orang sesaleh dan selurus Kiai di dunia yang gila
ini?”

*

Suatu pagi, serombongan orang datang dengan membawa
surat penangkapan. Agar tidak memancing keributan di pesantren, aku meminta
mereka tidak memborgolku dan memperkenankanku masuk ke mobil sebagaimana orang
yang hendak bepergian dengan tamunya. Mereka membawaku ke bilik berjeruji,
tempat aku menulis cerita ini. Oh, Junjungan, syafaatkan kami… mercusuar kami….

Allahumma sholli ’ala Muhammad. Ya Robbi sholli
’alaihi wassalam. (*)

Lubuklinggau, 19 Oktober–4 Desember 2020

*) BENNY ARNAS,
Lahir, besar, dan berdikari d(ar)i Lubuklinggau. Telah menulis 25 buku lintas
genre. Dua novelnya yang akan terbit: Bulan Madu
Matahari
 dan Ethile!
Ethile!

KETIKA itu
usianya 48. Ia menemuiku seusai salat Jumat. ”Sungguh, saya tak pernah
mendengar khotbah sebagus tadi,” katanya dengan punggung yang dibungkukkan. Aku
tersenyum. Meski kurang nyaman, aku harus tetap menghargainya. ”Perkenankan
saya jadi murid Kiai,” pintanya tiba-tiba. Aku menoleh ke Umar, santri yang
sudah dua tahun mengawalku. ”Siapa pun bisa belajar sama Kiai,” kata pemuda 20
tahun itu sebelum kami meninggalkannya.

Namanya Dammahum. Suatu malam aku menemuinya di
pendapa pesantren. Kata istriku, ia menunggu hampir sembilan jam. Aku
mendengarkan ceritanya, termasuk mimpinya yang agung itu. Sulit kupercaya, tapi
aku tidak menangkap kebohongan dan keculasan di matanya. Aku hampir tak percaya
kalau masih ada orang kaya yang hanif di luar sana, kataku tanpa berusaha
meremehkannya. ”Tinggallah bersama Umar di kamarnya,” pungkasku.

Waktu berjalan serupa fatamorgana sebelum suatu hari
Umar mengonfirmasi ingatanku tentangnya. ”Sudah lama aku tidak melihatnya di
kajian Subuh. Kenapa dia tidak bilang kalau mau pamit? Alphard-nya juga sudah
lama tak ada di parkiran.”

”Pak Dammahum tidak ke mana-mana, Kiai,” kata Umar.
”Akhir-akhir ini ia langsung kembali ke kamar bakda Subuh. Dia tidak mau
memancing keriuhan lagi. Kiai masih ingat tangisnya pecah di keheningan kajian
Subuh enam bulan lalu?”

Aku mengingat-ingat. ”Ya,” kataku kemudian. ”Saat
itu aku mengisahkan Muhammad kecil yang diselamatkan seorang pendeta dengan
menyuruh Abu Thalib, pamannya yang memimpin rombongan yang akan melakukan
perjalanan ke Negeri Syam, untuk membawa ia kembali ke Makkah karena
orang-orang Yahudi di sana pasti akan melakukan sesuatu yang buruk begitu
mengetahui tanda-tanda kenabian itu tidak melekat pada Bani Israil. Itu
bukanlah bagian yang emosional dari Sirah Nabawiyah daripada masa-masa
menjelang wafatnya Rasul, Umar.”

”Kalau bagian itu saja ia tersedu sedan, bagaimana
dengan bagian-bagian yang lain, Kiai?”

”Apakah dia juga berpuasa?”

Umar mengangguk. ”Dan ia hanya berbuka dengan air
putih dan kurma. Ia juga selalu membangunkanku Tahajud, Kiai, bahkan sejak
malam pertama ia menghuni kamarku.”

”Masya Allah.”

”Alphard-nya sudah dijual, Kiai.”

”Apa?”

”Uangnya disumbangkan untuk pembangunan masjid
pesantren.”

Allah.

”Ia juga bercerita: untuk kepentingan bisnis dan
lepas dari jerat hukum, ia memiliki tujuh nama samaran plus berkas pendukungnya
seperti KTP, paspor, atau yang lainnya untuk semua perusahaannya. Katanya lagi,
wajahnya saat ini adalah hasil operasi plastik yang kali kesekian. Dan ia
sungguh ingin bertobat.”

Aku mencoba mencerna kata-kata Umar. ”Bagaimana
keluarganya?”

”Dia adalah duda yang ditinggal mati istri dan
anak-anaknya dalam sebuah kecelakaan empat tahun lalu.”

Allah. ”Tiap membicarakan hijrahnya, ia membawa-bawa
Kiai.”

Aku mengernyitkan dahi.

”Kiai masih ingat Andri Subhan dan Ahmad Patihan,
dua alumnus pesantren kita yang jadi juru bicara Kemenlu?”

Tentu saja aku ingat. ”Yang membuat Menlu Amerika
yang terkenal piawai beretorika dipecat sehari setelah mereka berdua membalas
serangannya dengan argumentasi brilian di sidang umum PBB tentang gencatan
senjata di Tepi Gaza tiga tahun lalu?”

Umar mengangguk.

”Apa hubungannya?”

”Pak Dammahum mengumpamakan mereka sebagai Mu’adz
bin Afra dan Mu’awwidz bin Afra di Perang Badar.”

”Dan Menlu Amerika yang mendukung Israel itu adalah
Abu Jahalnya?”

Umar mengangguk. ”Artinya… ia menganggap Kiai…”

”Di mana dia sekarang?” potongku.

”Bakda Asar Pak Dammahum biasanya melihat-lihat kuda
di halaman belakang pesantren, Kiai.”

Maka, sore itu kuputuskan menggelar latihan perang
berkuda dengan para santri. Pak Dammahum tampak senang sekali ketika kutawarkan
bergabung. Ia memang tidak mahir menggunakan pedang dan cemeti, tapi cemerlang
mengendalikan tunggangan baru. ”Di Kalimantan, aku memiliki puluhan kuda dan
area pacuan seluas 10 hektare, Kiai,” katanya tanpa terdengar pongah.

”PAK DAMMAHUM telah melampaui diri sendiri. Apa yang
Bapak jalani dua tahun di pesantren ini menjadi teladan bagi yang lain,” kataku
ketika ia meminta nasihat di usianya yang ke-50. ”Aku malah memiliki
permintaan,” lanjutku serta-merta.

Baca Juga :  Pendurhaka

”Sungguh kehormatan, Kiai,” katanya dengan kepala
tertunduk.

”Gantikanlah tugasku berceramah malam ini.”

Di luar dugaan, Pak Dammahum melakukannya dengan
baik. Video amatir ceramah pengalaman hijrahnya bahkan viral. Itu menyadarkanku
bahwa sudah saatnya ia berdakwah. ”Saya belum layak, Kiai,” katanya dengan
berurai air mata.

Tapi, keputusanku sudah bulat: ia harus meninggalkan
pesantren.

*

Hingga setahun setelahnya, Pak Dammahum tak pernah
berkabar. Meski media terus membicarakan sosoknya yang misterius; selain video
ceramahnya yang viral, karena beberapa lembaga kemanusiaan membocorkan
identitas penyokong utama kegiatan mereka; Dammahum. Aku menyesalkan kejadian
itu. Pak Dammahum pasti kecewa dan makin susah muncul ke publik, hingga… malam
pertama Ramadan itu seseorang menunggu di pendapa. Tentu saja aku heran.
Pesantren tak menerima tamu di bulan suci.

”Maaf, Kiai,” kata Umar, ”Saya bisa menolak siapa
pun, tapi tidak untuk yang ini,” ia menyebut sebuah nama dengan suara bergetar.

Sesosok lelaki membalikkan badannya. Aku sungguh
ingin menangis, tapi wajah Pak Dammahum –yang nyaris tak kukenali karena
rahangnya yang dipenuhi jambang dan janggut panjang di dagunya– sudah lebih
dulu merah dan basah oleh cahaya kemuliaan dan air mata ketakwaan.

Kami tak mengeluarkan sepatah kata pun beberapa
saat, seolah-olah memberikan kesempatan bagi sedu sedan untuk mengisi malam.
”Kalau hanya untuk menolak menjadi suar yang menerangi kapal yang kehilangan
arah, sebaiknya engkau pergi setelah kita berbasa-basi sebagai tamu dan tuan
rumah,” kataku dengan suara tercekat.

”Aku akan patuh, Kiai,” kata Pak Dammahum di sela
tangisnya. ”Tapi,” ia menyeka air matanya, ”bolehkah aku menceritakan mimpiku?”

Baru saja aku ingin menjawab, ia melanjutkan:

”Bukan tentang Rasulullah, Kiai,” wajahnya semringah
serta-merta. ”Aku bermimpi melihat debu di permukaan kulit Kiai dan aku ingin
sekali membersihkannya,” lanjutnya. ”Sudikah Kiai melepas jubah?”

Umar hendak buka suara ketika aku melepaskan jubah
pakistan hingga aku hanya mengenakan celana panjang kain dan kaus dalam. ”Kau
ingin aku bertelanjang dada?”

Pak Dammahum mengangguk dan berjalan mendekat.

”Dalam sirah kenabian: Du’tsur bin Al- Harits
berhasil menyusup ke kemah Nabi dan menghunuskan pedangnya ke leher Nabi dan
bertanya siapa yang bisa menyelamatkan Nabi saat itu. Kita semua tahu kalau
Rasulullah menjawab ”Allah” dan laki-laki suku Ghatafan itu terlempar hingga
pedangnya terlepas, bukan?” Umar mengingatkan.

”Aku takkan ingin senasib dengan Du’tsur bin Al-
Harits.”

”Kiai tidak akan mungkin balik menghunuskan
pedangnya ke lehermu,” tukas Umar.

”Silakan tunaikan hajatmu, Pak Dammahum,” kataku
berusaha tenang.

Pak Dammahum memandangi dada, lengan, bahu, dan
leherku dengan saksama. Lalu, ia berjalan memutar perlahan. Kulihat Umar
menatapnya dengan waspada, bersiap menghajar kalau ia mencoba menyakitiku.
Satu, dua, lima detik kemudian, Pak Dammahum menghentikan langkah tepat di
belakangku.

”Bapak telah menemukan debu itu?” desak Umar.

Dua sembilan, tiga dua, tiga lima, empat puluh detik
kemudian, kedua tangannya muncul dari kiri kanan tubuhku dan memelukku erat. Ia
mencium punggungku bertubi-tubi. Umar menariknya, tapi Pak Dammahum seolah-olah
baru mendapat tenaga kuda. Aku berselawat berulang-ulang hingga akhirnya Pak
Dammahum melepaskan pelukannya. ”Masih ingatkah, Kiai,” Pak Dammahum sudah
bersimpuh ketika aku berbalik, ”latihan perang di halaman belakang pesantren?”

”Cemeti yang kupukulkan ke kudamu malah mengenaimu?”

Aku paham ke mana ia menggiring percakapan.

”Tak ada yang kebetulan, Kiai.”

”Latihan perang itu bukan Perang Uhud, bukan pula
setelahnya. Kita terpisah hampir 1.500 tahun lalu dari Yang Mulia. Akasyah
berhak memeluk Rasul yang bertelanjang dada atas cinta kepada Kekasih Allah,
tapi… engkau sungguh tersesat mereka ulang kejadian agung itu dengan melibatkan
kita berdua.”

Baca Juga :  Roh Dewi Sri

Pak Dammahum mati kata. Setelah menarik tangan
kananku dan menciumnya berkali-kali, ia meninggalkan pesantren tanpa salam.

*

Aku jarang mengikuti perkembangan isu-isu nasional,
selain krisis Timur Tengah dan Palestina atau paling jauh kiprah Turki yang
makin disegani Barat, sampai… Umar memutar konferensi pers yang viral hari itu.

Dammahum muncul dengan setelan jas dan wajah yang
klimis. Meski kelihatan lebih muda dan karismatis dengan tampilan barunya, aku
tetap menyesalkan keputusannya. Ia membawa-bawa namaku sebagai orang yang
mengilhaminya untuk menjadi mercusuar negeri ini. Aku dan Umar saling pandang
ketika ia mengajak istri dan anak-anaknya naik ke panggung. Ia kemudian
membawa-bawa namaku sebagai orang yang memaksanya mengambil langkah besar:
berdakwah dengan menjadi mercusuar negeri ini. ”Bangsa ini ibarat kapal,”
katanya di atas podium. ”Harus ada mercusuar yang memberi tahu kalau laut
dangkal dan karang besar ada di tepi lautan. Aku mengambil langkah besar ini
setelah menjalani begitu banyak kejadian luar biasa dalam hidup, dukungan Kiai
muda yang sama-sama kita ketahui sangat layak diteladani bangsa ini, dan
pertimbangan demi pertimbangan yang menabrak tembok besar bernama: kembali ke
ajaran Rasul!”

Allahu Akbar. Allah bersamanya. Atau, Allah sedang
mengujinya?

Oh, ingin sekali aku meralat nasihatku dulu, tapi …
tahun keburu berganti dan Dammahum sudah menjadi mercusuar itu.

*

”Jadilah penasihatku, Kiai,” pintanya untuk kali
kesekian dalam enam bulan masa jabatannya. ”Aku sangat menginginkan keempat
pengawalmu menjadi bagian kabinet yang sebentar lagi akan ku-reshuffle, tapi
mereka tidak mau memberikan jawaban sebelum aku bicara kepadamu dan engkau
memberi mereka izin, Kiai.”

”Mengapa engkau mengesahkan undang-undang yang
menyusahkan orang kecil, melegalkan pembabatan hutan, menghapus hak libur bagi
wanita yang melahirkan dan laki-laki yang mendapat uzur besar, bahkan
menjadikan negeri ini sebagai rumah besar bagi orang-orang yang ingin
menguasainya, Pak Presiden? Tidakkah pesanku waktu itu adalah agar engkau
berdakwalah dengan ilmu dan kehanifan yang ada padamu.”

”Tapi, bukankah Kiai memintaku berjuang dengan
segenap yang kumampu?”

Aku tak tahu. Aku yang salah memilih kata atau dia
yang kebablasan menafsirkan.

”Dan aku tak mau tanggung-tanggung, Kiai.”

Aku ingat sekali. Dia memandangku tajam dan bicara
dengan nada yang ketus. ”Jadilah aku sebentar saja, Kiai,” kata-katanya menjelma
pedang tajam yang menghunus. ”Kiai akan tahu bahwa kata-kata bijak sungguh
tidak bekerja. Yang aku lebih tak habis pikir: mengapa Kiai menggerakkan para
santri untuk menuntutku mundur?”

”Pak Dammahum,” pekikku tertahan. ”Tuduhanmu
benar-benar tak berdasar dan mengawang-awang.”

”Semuanya terang, Kiai!” Ia pun meninggikan
suaranya. ”Sungguh aku tak menyangka hati Kiai busuk sekali. Aku ini muridmu
bagaimanapun!!!” Ia berteriak-teriak seperti macan yang diganggu tidurnya.

Entah sejak kapan dan bagaimana, aku tidak terkejut
dengan perubahan yang baru saja ia tunjukkan.

”Kiai benar dan sekarang aku percaya dengan
ketidakpercayaanmu tentang akhlak Rasul yang masih hidup itu. Mana ada orang
kaya hanif sepertiku di akhir zaman ini. Kini semuanya berbalik kepadamu, Kiai:
bagaimana mungkin masih ada orang sesaleh dan selurus Kiai di dunia yang gila
ini?”

*

Suatu pagi, serombongan orang datang dengan membawa
surat penangkapan. Agar tidak memancing keributan di pesantren, aku meminta
mereka tidak memborgolku dan memperkenankanku masuk ke mobil sebagaimana orang
yang hendak bepergian dengan tamunya. Mereka membawaku ke bilik berjeruji,
tempat aku menulis cerita ini. Oh, Junjungan, syafaatkan kami… mercusuar kami….

Allahumma sholli ’ala Muhammad. Ya Robbi sholli
’alaihi wassalam. (*)

Lubuklinggau, 19 Oktober–4 Desember 2020

*) BENNY ARNAS,
Lahir, besar, dan berdikari d(ar)i Lubuklinggau. Telah menulis 25 buku lintas
genre. Dua novelnya yang akan terbit: Bulan Madu
Matahari
 dan Ethile!
Ethile!

Terpopuler

Artikel Terbaru