CABAI-cabai dalam cobek itu belum lagi lumat seutuhnya, tapi Tinah
sudah meraupnya dengan tangan telanjang, lalu mengusap-ratakan ke wajah
suaminya –yang sedang asyik menonton TV. Lelaki itu meraung, berjalan
pontang-panting mencari air buat basuh muka. Segenap wajah dan matanya bagai
dicelup ke bara api. Panas amit-amit. Sementara Tinah bergegas pergi dari rumah
itu sambil menuntun tangan anaknya yang cuma melongo.
â€Kita akan pergi dari rumah ini!
Tak usah balik!†dengusnya penuh emosi.
Sepanjang jalan menjauhi rumah
itu, Tinah membayangkan, ada dinding-dinding yang ambrol. Dinding-dinding itu
adalah kesabaran yang terus dia bangun dari waktu ke waktu. Sepanjang jalan
menuju antah-berantah itu, Tinah menangis. Seakan seseorang tengah menyodorkan
omelan ke mukanya: Kau menikahi lelaki yang salah… Kau berada di tengah
keluarga yang salah… Sementara anaknya akan tetap melongo sepanjang waktu dan
akan tetap tak menggubris ke mana pun Tinah bakal membawanya pergi.
Di dunia ini cuma Tinah yang peduli
kepada bocah itu. Bocah tujuh tahun yang baru menguasai beberapa perbendaharaan
kata. Bocah tujuh tahun yang bahkan masih kesulitan menutup bibirnya sendiri.
Sehingga dia benar-benar melongo nyaris sepanjang hari. Mulutnya yang bagai
pintu tak berdaun itu kerap menjadi bidikan utama tabokan suami Tinah. Dan
meski ditabok, bocah itu sepertinya telah kehilangan banyak ekspresi semenjak
dilahirkan, kecuali melongo, dan sesekali menggumam.
***
Rumah itu mungil, cuma enam kali
dua belas meter. Tanpa halaman, terasnya cuma diisi rak plastik yang berisi
sandal-sepatu yang lebih kerap berantakan ketimbang tertata rapi. Tak ada pot
bunga ataupun hijau-hijauan yang lain. Kali pertama melihat rumah itu, Tinah
merasa kurang sreg. Tinah tidak menyukai rumah yang tidak ada hijau-hijaunya.
Tapi, garis nasib sepertinya memang menggiring Tinah ke rumah itu, menikah
dengan lelaki yang beberapa tahun terakhir dia anggap sebagai lelaki yang
salah.
Rumah mungil itu seharusnya tidak
menjadi rumah yang begitu buruk seandainya penghuninya cuma Tinah dan suaminya
seorang, ditambah dengan bocah melongo itu tentu saja. Tapi, Tinah tentu tidak
bisa berharap seperti itu. Sebab, rumah mungil itu bukanlah rumah suami Tinah,
melainkan rumah mertua Tinah. Rumah yang tak bisa Tinah utak-atik sesuka hati.
Dulu Tinah pernah mencoba mengganti tata letak meja dan kursi di ruang tamu.
Lalu, mertua Tinah, terutama yang perempuan, mengoceh tak reda-reda. Menyindir
Tinah sebagai orang lancang yang suka menyentuh barang yang bukan miliknya. Tinah
juga pernah mencoba menaruh tiga pot bugenvil di teras rumah yang sempit itu.
Tapi, kata mertua Tinah, bunga di teras rumah hanya akan mengotori teras,
terutama kalau daun-daunnya sudah kering dan rontok. Pada akhirnya, tiga pot
bugenvil itu Tinah pindah ke depan pagar, di atas got tertutup, di pinggir
trotoar. Semenjak itu, Tinah tak sudi lagi mengubah atau menyentuh apa pun yang
ada di rumah tersebut, kecuali ada perintah yang turun.
Di rumah itu banyak sekali
perintah yang turun. Sampai-sampai kalau Tinah mau menghitungnya, alih-alih
menuliskannya dalam sebuah daftar, perintah itu akan menghabiskan satu buku
tulis kosong dalam sebulan. Tinah yakin begitu.
Rumah mungil itu dihuni enam
kepala. Sepasang mertua Tinah yang bagai ratu dan raja, suami Tinah yang
berlagak bagai pangeran, serta kakak ipar Tinah, seorang perawan tua –yang demi
Tuhan, sama sekali tak bisa diandalkan. Tinah dan bocah melongo itu sudah masuk
dalam hitungan. Tinah pernah membayangkan, seandainya setiap orang mendapat
jatah ruang sekat di rumah itu, maka setiap orang hanya punya tempat satu kali
dua meter. Tak jauh-jauh dari lebar liang kubur. Bisa dibilang begitu.
Di rumah itu tak ada yang bangun
lebih pagi daripada Tinah. Dan, Tinah kadang merasa serbasalah. Seisi rumah itu
akan menyalahkan Tinah bila mereka terlambat kerja karena tidak dibangunkan
pagi-pagi. Di sisi lain Tinah akan mendapat dampratan yang sama karena
mengganggu orang yang sedang enak-enak tidur. Suatu kali Tinah pernah
menyarankan mereka untuk memasang weker di kamar masing-masing. Dan, kata
mereka, â€Wekernya ya kamu itu, tak bakal soak dan tetep bisa bunyi meski tak
pakai baterai,†sambil tergelak-gelak. Tinah ikut tergelak atau pura-pura
tergelak sebagai ungkapan syukur bahwa mereka masih punya selera humor.
Di rumah itu nyaris semua
pekerjaan rumah dipasrahkan kepada Tinah, mulai mencuci celana dalam mertua
sampai menjemur kasur yang ketumpahan susu. Sebab, kakak ipar Tinah suka sekali
bermain telepon genggam di atas kasur sambil makan biskuit celup dan minum susu.
Ditemani kucing putih kesayangannya. Tak jarang, perawan tua itu meletakkan
gelas susunya di atas seprai sambil terbahak-bahak sendiri menatap layar
telepon genggam. Karena itu, sedikit saja kain seprai tersebut tertarik, susu
dalam gelas langsung ambyar. Atau kalau tidak, kucing yang manjanya persis
dengan sang majikan itulah yang akan menyenggol gelas susu. Apa yang lebih
rumit dari susu yang tumpah di atas kasur? Tinah kerap mengumpat dalam hati,
bagaimana mungkin dirinya bisa mempunyai ipar setolol itu. Bahkan anak kecil
sekalipun tidak akan meletakkan gelas susu di atas kasur. Dan kalau susu itu
sudah menyiram kasur, perawan tua tersebut akan teriak-teriak, mengumpat
kebodohannya sendiri, atau menyalahkan si kucing yang tak hati-hati, dan
kembali menyerahkan semua perkara rumit tersebut kepada Tinah seorang.
Hanya satu pekerjaan di rumah itu
yang tidak dikerjakan oleh Tinah: memasak. Lidah ibu mertua Tinah adalah lidah
perasa dengan sensor sempurna. Tidak ada makanan yang boleh masuk ke mulut
orang serumah kecuali cocok dengan lidahnya. Dan sebab itu, ibu mertua Tinah
melarang Tinah menyentuh sayur-mayur dan bumbu-bumbu, kecuali satu: meracik
sambal. Orang serumah sepakat bahwa Tinah dilahirkan untuk mengulek sambal.
Bahkan, ibu mertua Tinah mengakui bahwa sambal bikinannya satu tingkat di bawah
sambal lumatan Tinah. Dan sebab itu, dalam urusan meja makan, Tinah mendapat
satu tugas utama: menyiapkan sambal.
Semua orang di rumah itu tidak
bisa makan tanpa pedas-pedas. Kalau tidak ada pedas-pedas, Tinah bakal jadi
bulan-bulanan kata-kata pedas. Sebentar saja sambal telat terhidang,
orang-orang yang makan di depan TV itu bakal mengomel, mengatai Tinah lelet,
tidak bisa tangkas. Oh Tuhan, pikir Tinah, siapa yang membuat lantai rumah ini
selalu kesat, membuat piring-piring selalu beraroma jeruk, menjadikan air dalam
bak mandi selalu bening. Kerap kali Tinah ingin mengusapkan sambal lumatannya
itu ke wajah mereka semua, sampai rata. Wajah-wajah itu tentu jauh lebih
bermanfaat andai kata menjadi cobek. Tempat cabai-cabai dilumat. Tempat segala
pedas berpusat.
***
Tinah kerap bertanya, kapan semua
opera sambal yang membosankan itu bakal berakhir. Dulu, ketika hamil, Tinah
sempat berpikir bahwa kisah Upik Abu itu akan segera berakhir setelah si jabang
bayi lahir. Sepertinya orang-orang di rumah itu merindukan kehadiran bocah
cilik. Tapi, begitu bayi itu lahir –dengan wajahnya yang melongo–, orang-orang
berpaling. Suami Tinah sendiri nyaris tak pernah menggendong si melongo, bahkan
semasa si melongo masih bayi. Dan pada suatu hari yang tak pernah ingin Tinah
ingat, suaminya pernah berseloroh dengan wajah datar, â€Karma apa ini, dikasih
anak kok mirip lubang jamban begitu!â€
Waktu itu spontan Tinah mengumpat
suaminya sebagai musyrik yang melecehkan ciptaan Tuhan. Mereka terlibat adu
mulut dan ujung-ujungnya Tinah mendapat bonus tamparan di pipi. Rasa panas di
pipi itu tak pernah hilang dari wajah Tinah, sampai sekarang.
Dua mertua Tinah juga sama,
mereka tak pernah tertarik dengan cucunya sendiri yang cuma bisa melongo. Kerap
kali mereka melemparkan sindiran-sindiran ringan yang sangat menyakiti hati
Tinah.
â€Bocah apa ini? Sudah tujuh tahun
kok bisanya cuma ha ho ha ho… Cucu si anu baru empat tahun tapi sudah hapal doa
mau makan, anak si anu belum genap tiga tahun malah sudah bisa mengurutkan
abjad,†ujar ibu mertua Tinah.
Demi kata-kata itu, Tinah
dijangkiti insomnia semalam suntuk. Hingga dia berpikir untuk mengulek mulut
mertuanya sebelum benar-benar pergi dari rumah itu. Tapi, tentu saja Tinah
masih terlalu waras untuk melakukan itu.
Suami Tinah sendiri adalah
seorang guru olahraga. Meski cuma guru olahraga, pikir Tinah, guru tetaplah
guru yang seharusnya pandai menjaga sikap dan kata-kata. Tapi, lelaki itu
tidak. Dia bersikap begitu manis kepada semua orang, terutama kepada para
gadis, tapi tidak kepada istri sendiri. Satu hal lagi yang membuat Tinah semakin
muak kepada suaminya, lelaki itu suka sekali menggoda tukang bakso yang biasa
berhenti di depan rumah. Seorang gadis muda dengan tubuh penuh, berkeliling
dengan gerobak bakso di atas jok motor. Suami Tinah kerap membangga-banggakan
gadis itu. Katanya, masih muda, cantik, tapi tidak malu berkeliling jualan
bakso. Salut. Calon istri idaman…
Tinah yakin sekali, mata suaminya
sudah tertutup pantat bahenol si tukang bakso. Lelaki itu tidak pernah bisa
melihat apa yang sudah dilakukan istrinya sendiri di rumah, mulai pagi sampai
pagi lagi. Mendaki segunung pakaian kotor sampai menjilati susu tumpah di atas
kasur. Mengilapkan setumpuk perkakas dapur sampai mengurus bocah luar biasa
itu. Tinah bisa mengukur dengan jelas tatapan mesum suaminya kepada tukang bakso
itu. Suaminya yang seorang guru olahraga.
***
Dinding kesabaran Tinah ambrol
sore ini. Dan semua bermula dari sambal. Sepulang mengajar, lelaki itu
celingak-celinguk menengok meja makan. Lalu tiba-tiba menyerapahi Tinah. Sebab,
di meja makan cuma ada nasi dan tempe goreng. Ibu mertua Tinah tidak memasak
hari ini. Sebab, dia harus pergi ke kerabat dengan suaminya dan perawan tuanya.
Tadi pagi ibu mertua Tinah sudah pesan, masak nasi saja di mesin penanak, tak
usah masak lauk, goreng tempe boleh, tapi tak usah banyak-banyak. Sebab, mereka
yakin, sore bakal pulang dengan banyak makanan. Dan Tinah hanya menjalankan
titah tersebut. Akan tetapi, sampai sore ketika suaminya pulang, mertuanya
belum juga pulang. Dan kalau meja makan itu sepi, semua murni kesalahan Tinah.
â€Jangan cuma mengurusi bocah
melongo tak berguna itu, suamimu baru pulang kerja… Lapar! Apa saja yang sudah
kau lakukan seharian di rumah? Ha? Meja makan bisa kosong melompong begini.â€
Tinah tidak menjawab. Sebab,
sekali saja dia menjawab, umpatan lelaki itu akan menjadi-jadi. Sambil
mendengar lelaki itu uring-uringan, Tinah masih saja berjibaku dengan muntahan
kucing di sofa. Mana kucing brengsek itu? Tinah benar-benar ingin menyembelih
kucing itu dan menghidangkan dagingnya di atas meja, tepat di muka lelaki yang
berteriak-teriak tersebut.
â€Kau tidak punya kuping? Sambal!
Mana sambal?†lelaki itu menggebrak meja.
Entakan itu membuat bocah melongo
yang menggelosor di lantai terhenyak. Tinah tidak menghiraukan. Dia masih saja
sibuk mengepel sofa. Sampai lelaki itu melempar gelas plastik –yang mendarat
tepat di batok kepala Tinah. Membuat kepala Tinah ngilu berdenyut-denyut.
â€Hei, tuli! Sekarang bikinkan
suamimu sambal, tinggalkan itu semua. Suamimu mau makan. Sambal! Sekarang!â€
Tinah mendengus sejenak,
meninggalkan lap basah di atas sofa. Bergegas ke lemari es. Meraup puluhan
cabai –yang terasa begitu dingin di tangan Tinah, tanpa tomat, tanpa bawang
merah, tanpa bawang putih.
Di dapur, Tinah membalikkan cobek
yang tengkurap karena belum kering habis dicuci. Tinah menumpahkan semua cabai
di tangannya ke lesung cobek. Tanpa mencucinya. Menyambar ulek-ulek. Dan
menggerus cabai-cabai itu tanpa ampun. Penuh gurat emosi. Keringatnya
bercucuran, air matanya berlinangan, menitis ke lesung cobek. Bersatu padu
dengan lumatan paling pedas.
Belum lagi cabai-cabai itu lumat
seutuhnya, Tinah sudah meraupnya dengan tangan telanjang, bergegas ke meja
makan di depan TV, lalu mengusap-ratakan lumatan cabai itu ke wajah suaminya.
Lelaki itu meraung. Tinah tahu betul apa yang harus dia lakukan, dia mesti
gegas, pergi dari rumah itu. Sebelum lelaki dengan lumatan cabai di wajah itu
silih melumatnya.***
Malang, 2018
(MASHDAR ZAINAL. Lahir di Madiun,
5 Juni 1984. Suka membaca dan menulis puisi dan prosa. Tulisannya tepercik di
berbagai media. Buku terbarunya Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran (2018). Kini
bermukim di Malang)