Suatu ketika, ada seorang lelaki yang sudah bertahun-tahun tidak pernah keluar rumah. Ia menghabiskan waktunya dengan membaca sebuah buku tua yang ia temukan di perpustakaan daerah. Lambat laun, wajahnya menjadi sangat pucat dan tubuhnya lembek.
—
“Kau tidak bisa begini terus,” kata ibunya suatu kali.
“Kenapa aku tidak bisa begini terus?” jawab lelaki itu.
Si ibu ingin mengatakan sesuatu. Namun, si ibu selalu kebingungan –lebih tepatnya, si ibu tidak tahu bagaimana cara mengatakan apa yang ingin ia katakan. Si ibu hanya tahu ada yang keliru dengan si anak. Begitu saja.
Pada akhirnya, si ibu meninggalkan anaknya sendirian dan perempuan itu mengerjakan apa yang selama ini selalu ia kerjakan: keluar rumah untuk bekerja apa pun, memasak, membersihkan rumah, berbicara dengan tetangga, ikut pemilihan umum, dan seterusnya, dan sebagainya. Dan si anak kembali tenggelam dalam buku tua tersebut.
Ketika lelaki itu masih berusia enam atau tujuh tahun, sebuah pesawat luar angkasa mendarat di halaman rumah keluarga itu dan sesosok alien keluar dari pintu berwarna perak. Bapaknya menemui alien itu dan si alien menawarkan petualangan yang luar biasa untuk si bapak, juga pengetahuan yang menakjubkan tentang isi semesta.
Bapaknya kemudian pergi dan tak pernah kembali. Si lelaki –yang masih bocah– sejak itu sering menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya menertawakannya.
”Seorang bidadari kemarin juga datang menjemput bapakku,” kata seorang kawannya meledek, ”namun ibuku memukul bidadari itu dengan gagang sapu.”
”Bapakku malah pergi naik naga,” kata kawannya yang lain, ”tapi sekarang ia sudah balik dan membawa oleh-oleh sebatang tongkat sihir.”
Lantas, kawan-kawannya kembali tertawa.
Si lelaki –yang masih bocah– jadi sering murung semenjak itu. Ia menjauh dari kawan-kawannya dan menarik diri dari segala macam permainan bersama. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan sekolah. Lantas, sepulang sekolah, ketika kawan-kawannya pergi untuk nongkrong di suatu tempat, ia pergi ke perpustakaan daerah. Ia bertekad mempelajari segala sesuatu tentang alien.
Namun, baik di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah, tak ada buku tentang alien. Dan suatu kali, ketika si lelaki yang masih bocah itu hampir menyerah, ia menemukan sebuah buku tua berwarna cokelat di salah satu sudut, berada di tumpukan paling bawah, dan beberapa bagiannya sudah dimakan rayap.
Ketika kali pertama membuka buku itu, si lelaki –yang masih bocah– tiba-tiba menemukan dirinya berada di atas rakit kayu yang berlayar di arus Kali Serayu. Ia belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi sampai rakit itu tahu-tahu telah merapat di Mataram.
Di Mataram, ia bertemu sejumlah bidadari yang diusir dari surga oleh Hyang Indra, lantas ditemukan oleh Sultan Agung dan dijadikan ronggeng. Ia berteriak keras sekali ketika para ronggeng itu membuka bajunya, lantas orang-orang menemukannya pingsan di lantai perpustakaan daerah.
Ia kemudian dibawa ke rumah sakit, sehari menginap, dan keesokan harinya ia sudah kembali sehat.
Ibunya bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia yang masih tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi hanya menggeleng. Beberapa hari kemudian, ia kembali ke perpustakaan daerah, mencari buku tua tersebut yang kini diletakkan begitu saja di sebuah tumpukan majalah, dan kembali membacanya.
”Buku ini pasti ditulis oleh alien dan dicetak menggunakan teknologi yang sangat canggih,” pikirnya.
Ia membuka dan membaca buku itu berulang-ulang hingga ia tak lagi terkejut setiap kali melakukannya ia segera terbawa ke sebuah tempat yang asing, di masa yang telah jauh berlalu.
Pada hari ketika ia lulus SMA, ia memutuskan untuk mencuri buku tersebut dari perpustakaan daerah. Dan dengan itu, ia bisa membuka buku tersebut lebih sering di dalam kamarnya. Dan sejak itu pula, ia tidak pernah lagi keluar dari rumah. Ia tidak mau kuliah, ia juga tidak mau mencari pekerjaan.
Kadang kala, ketika ia tengah berada dalam buku tersebut, berpindah dari Mataram ke Ngawi untuk bertemu seorang janda kaya, lantas berpindah kembali ke Ponorogo untuk memadu kasih bersama para warok, ibunya mendengar suara desahan dari kamarnya.
”Apa yang sedang kaulakukan?” kata ibunya suatu kali.
”Aku sedang bertualang,” katanya, ”bertualang bersama Cebolang.”
Ibunya tidak tahu siapa Cebolang. Dan perempuan itu menatapnya dengan iba. ”Siapa Cebolang?” kata ibunya bertanya.
”Alien,” jawabnya.
Ibunya pernah memanggil seorang dukun karena mengira si lelaki kerasukan jin atau sebagainya. Dukun itu datang pada suatu sore dan si lelaki tidak mau menemui dukun tersebut.
Dukun itu kemudian mengendus-endus pintu kamar si lelaki, lantas memercikkan segelas air yang sudah dimantrai ke pintu itu, dan berkata bahwa dalam waktu tiga hari si lelaki akan segera keluar rumah dan bergaul dengan teman-temannya seperti lazimnya seorang pemuda.
Namun, dukun itu keliru. Lelaki itu tetap saja tidak mau keluar rumah.
Lantas, si ibu menghubungi seorang imam masjid dan meminta tolong si imam untuk mengatasi masalahnya.
Bertahun-tahun yang lampau, si ibu juga pernah menghubungi si imam dan meminta imam itu untuk memanjatkan doa-doa agar suaminya yang diambil alien kembali pulang. Waktu itu, si imam berkata bahwa alien tidak ada dan suami si lelaki mungkin pergi bersama perempuan lain dan segala macam.
Sekarang, si imam berkata bahwa setan telah menguasai si lelaki dan ia harus dirukyah atau hal semacam itu.
Dan itulah yang kemudian terjadi.
Namun, si lelaki tetap saja tidak berubah. Dan pada akhirnya, ibu itu menyerah. ”Alien mengambil tubuh suamiku,” gumamnya, ”dan kini alien mengambil jiwa anakku. Kenapa mereka tidak mengambilku juga?”
Pada suatu hari, tiba-tiba lelaki itu mengajak ibunya berbicara serius.
”Sebentar lagi,” katanya, ”cinta sejatiku akan datang ke rumah ini dan kami akan menikah.”
”Bagaimana bisa?” kata ibunya, ”bagaimana bisa kau akan mendapatkan cinta sejatimu jika kau tidak pernah keluar rumah?”
”Aku telah berulang-ulang bertualang bersama Cebolang. Aku telah bertemu banyak perempuan, aku juga ikut Cebolang berhubungan dengan kaum warok di Ponorogo. Aku bahkan telah bertemu Dewa Ruci dan mendapatkan ilmu sejati. Dan seperti Cebolang, aku akan mendapatkan cinta sejatiku itu di rumah sendiri, bukan di luar sana, tak peduli sejauh apa aku mencari.”
Ibunya tak mengerti apa yang dikatakan anaknya. Dalam pikiran si ibu, jika Cebolang memang alien, seharusnya ia membawa jiwa anaknya bertualang dari satu planet ke planet lain, dan bukannya dari satu kota ke kota lain di Jawa. Namun bagaimanapun, si ibu mengangguk juga.
”Jika itu memang benar-benar terjadi,” kata ibunya, ”aku akan berbahagia.”
”Itu memang akan terjadi,” kata si lelaki. ”Semua sudah ada dalam buku. Membaca buku sama saja dengan mengalami apa-apa yang ditulis dalam buku.”
Lantas, tahun-tahun berlalu. Dan selama itu, tak ada satu pun perempuan yang muncul di depan rumah mereka, mengetuk pintu, dan mengatakan bahwa dirinya adalah cinta sejati si lelaki.
Si lelaki tampak mulai putus asa. Dan ia mulai jarang membuka buku tua tersebut.
Si ibu kemudian mulai sakit-sakitan. Punggungnya bungkuk dan tiap sebentar perempuan itu mengeluhkan encok di setiap sendi tubuhnya.
”Jika aku tak lagi kuat bekerja,” kata ibu itu, ”maka tak ada lagi yang bisa kita makan.”
Dengan sisa-sisa keyakinannya, si lelaki berkata bahwa setelah cinta sejatinya tiba, ia akan pindah menggunakan sebuah UFO ke sebuah tempat yang indah, orang-orang awam mungkin akan menyebut tempat itu semacam surga di mana segala sesuatu telah tersedia –namun ia tahu bahwa itu adalah planet asal si alien yang berperadaban jauh lebih maju ketimbang peradaban manusia, dan ia akan membawa si ibu ikut serta sehingga tak satu pun dari mereka yang akan kelaparan.
”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?” kata ibunya.
”Sebab itulah yang terjadi pada Cebolang setelah ia bertemu Rancangkapti,” kata si lelaki.
”Kau terlalu banyak membaca buku,” kata si ibu kesal, ”dan kau lupa bahwa membaca dan mengalami adalah dua hal yang berbeda.”
Suatu kali, ketika si lelaki duduk di ruang tamu memandang ujung jalan dari kaca jendela, sebuah pesawat luar angkasa mendarat di halaman rumah. Lelaki itu berjingkat dan berteriak kepada ibunya bahwa hari yang ditunggu-tunggunya telah tiba.
Kenyataannya, pesawat itu adalah pesawat luar angkasa yang bertahun-tahun sebelumnya membawa bapaknya pergi.
Dan si bapak yang tampak jauh lebih tua dengan kepala botak kemudian keluar dari pintu berwarna perak. Dan pesawat luar angkasa itu segera pergi lagi meninggalkan asap yang mengepul di halaman.
Si bapak segera mencari si ibu. Dan begitu mereka bertemu, si bapak berkata, ”Aku telah mendapatkan semua pengetahuan yang ada di semesta, namun aku melupakan yang terpenting dari semua itu, dasar dari semua ilmu.”
”Apa maksudmu?” kata si ibu.
”Cinta,” kata bapaknya, ”cinta sejati yang ternyata menungguku di rumah sendiri.”
Si lelaki teringat Cebolang –akhir dari petualangan Cebolang yang ia baca dari buku tua cokelatnya. Dan ia merasa bapaknya adalah Cebolang yang berkelana dari satu planet ke planet lain dan kini kembali pulang ke Sokayasa –menemukan surga yang adalah rumahnya sendiri. (*)
—
DADANG ARI MURTONO. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016); Samaran (novel, 2018); Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019); dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019.