Site icon Prokalteng

Terima Kasih, Paman

ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Oleh YUDHI HERWIBOWO

Aku tak mau memungkiri, orang paling berjasa bagi hidupku adalah paman. Aku ingat beberapa tahun setelah ayah meninggal, kami harus pergi dari kontrakan rumah karena tak bisa membayar sewa.

PEMILIK kontrakan yang tak cukup sabar dengan kejamnya mengeluarkan semua barang kami dari rumah. ”Sudah kuberikan kesempatan satu bulan, itu waktu yang cukup untuk membayar, kecuali kalau kalian memang tak berniat membayar!” serunya.

Ibu masih berusaha memohon padanya, namun yang terjadi kemudian para pesuruh pemilik kontrakan malah menendang ibu. Lalu, bagai adegan dalam sinetron, aku yang waktu itu masih 7 tahun berlari mendekati ibu sambil berteriak panjang. Yang terjadi, tendangan kedua dari pesuruh itu pun membuatku terjerembap menyusul ibu.

Saat dalam kondisi seperti itulah, tiba-tiba paman datang. Dengan jaket panjang, ia tiba-tiba menyeruak di antara kepungan para pesuruh dan mendekati kami.

”Sudahlah, ini memang waktunya kalian pergi!” Paman mengangkat tubuh ibu dan menggendong tubuhku. ”Tak usah khawatir, aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian.”

Kami hanya bisa diam. Paman kemudian membimbing kami menjauh dari tempat itu. Kulihat beberapa orang suruhannya tampak mengangkuti barang-barang kami.

Kami kemudian pergi dari rumah kenangan itu.

***

Aku sebelumnya tak cukup mengenal paman. Yang kutahu namanya Asruni, dan tak ada yang kutahu selain itu. Hanya, dari beberapa saudara jauh, aku kemudian tahu kalau paman adalah seorang bromocorah penguasa Pasar Abang. Itulah kenapa selama ini ayah seperti berusaha menjauhkan kami darinya. Bagaimanapun ayah seorang pegawai negeri yang menjaga nama baiknya.

Namun, setelah ayah tak ada, aku baru mulai dekat dengan paman. Paman mengantar kami ke rumah baru. Ia menyuruh orang-orangnya untuk langsung menata barang-barang kami di dalam rumah. Bahkan saat meninggalkan kami, paman masih sempat memberikan amplop tebal untuk ibu sebelum ia mengucak rambutku.

”Terima kasih, Paman,” aku hanya bisa berujar dengan mata berkaca-kaca.

”Tak usah berterima kasih begitu,” senyum paman tampak begitu menenangkan.

”Ingat kita ini keluarga, dan harta paling berharga itu adalah … keluarga.”

***

Sejak itu hidup kami seperti ditanggung oleh paman. Ini membuat ibu tenang. Apalagi rumah baru kami ini juga dibayar oleh paman untuk beberapa tahun ke depan. Walau tak terlalu besar, tapi cukup sekali bagi ibu dan aku.

Sebenarnya sejak dulu ibu bekerja dengan menerima jahitan pakaian. Tapi, sejak asam urat menyerang pergelangan tangannya, ia tak bisa terlalu banyak menerima pesanan. Maka itulah sejak memasuki SMA, aku selalu berpikir bagaimana caranya untuk membantu ibu. Atau setidaknya tidak terlalu merecoki keuangan ibu yang pas-pasan. Dan satu-satunya cara yang terlintas olehku adalah aku harus berbisnis kecil-kecilan.

Jadi, kuutarakan niatan itu pada paman. Aku ingin meminta modal padanya.

”Untuk apa?” tanya paman.

”Aku ingin menjual pisang goreng,” jawabku.

”Pisang goreng? Bukankah sudah banyak yang menjual pisang goreng?”

”Memang betul, Paman. Tapi, mereka hanya menjual pisang goreng standar seperti itu-itu saja. Aku punya konsep yang sedikit berbeda. Pisang gorengku nantinya hanya akan memakai pisang tanduk. Minyaknya pun bukan minyak goreng kiloan, tapi minyak goreng bermerek yang jelas kualitasnya. Ditambah lagi, aku juga sudah mendapat resep bagaimana McD menggoreng kentang, terutama bentuk penggorengan dan waktu penggorengannya. Dengan itu semua aku yakin bisa membuat pisang goreng paling enak, Paman.”

Paman mengangguk-angguk.

Lalu dengan modal Rp 1 juta dari paman, aku membeli penggorengan dan meja kecil serta bahan-bahan. Di perempatan jalan yang ramai, kubuka daganganku di sana.

Beberapa pembeli langsung datang, tapi saat mengetahui harga pisang gorengnya, mereka membatalkan niat membeli. Tak apa. Kalau orang lain menganggap daganganmu mahal, dia berarti bukan target pasarmu, tiba-tiba kutipan itu melintas di otakku.

Tapi, saat seorang kenalan datang dan juga membatalkan niatannya, aku pun bertanya, kenapa tak jadi?

”Mas, Mas, pisang goreng wae kok sakmono regone!”

Aku tentu sudah siap berdebat dengan itu. Kusiapkan kata-kata untuk kenalanku itu: ”Ini jelas pisang goreng yang berbeda. Pisangnya pisang tanduk, minyak gorengnya yang termahal, dan cara masaknya pun bukan di penggorengan biasa, tapi memakai penggorengan layaknya di McD!” Tapi, rupaya kenalanku itu sudah keburu pergi.

Di hari-hari esok, memang ada satu-dua pembeli pisang gorengku. Namun, mereka tak lagi kembali. Tak lebih dari sebulan kemudian, aku pun terpaksa menutup bisnisku.

Waktu kulapori kegagalan itu, paman hanya tersenyum. ”Tak apa-apa, inilah yang namanya belajar.”

Aku mencoba mengoreksi diri. Kupikir aku memang agak terburu-buru. Aku bahkan tak memikirkan nama. Padahal branding itu penting. Ah, kali ke depan, aku pasti akan lebih baik.

***

Beberapa bulan kemudian aku mendapat ide bisnis lainnya. Segera saja saat paman datang, aku berkata padanya, ”Aku berpikir ingin membuat martabak, Paman.”

”Martabak? Bukankah di sini sudah banyak yang menjual martabak?”

”Kujamin martabakku akan berbeda, Paman. Konsepnya adalah martabak sehat. Nantinya aku tak akan pakai mentega dan cokelat kiloan. Gulanya pun aku tak akan memakai gula pasir, tapi memakai tropica slim. Sedang untuk martabak asin, tentu aku tak akan memakai MSG.

Aku juga akan memakai telur ayam kampung karena semakin ke sini orang semakin tahu betapa berbahayanya ayam lehor dan telurnya. Jadi, pembeli yang punya masalah dengan penyakit gula tak perlu takut dengan martabak buatanku.”

Paman mengangguk-angguk mendengar ucapanku. Kupikir ia kagum dengan ideku.

Maka dengan modal Rp 5 juta dari paman, aku membuat gerobak dan spanduk. Kutulis dengan meyakinkan: Martabak Sehat! Makan Enak, Tetap Sehat!

Di perempatan jalan paling ramai, kubawa gerobak martabakku ke sana. Di hari pertama, satu pembeli langsung datang. Disusul pembeli lainnya. Kupikir beginilah berbisnis, masa awal adalah masa paling berat. Tapi, aku yakin semakin hari akan semakin banyak pembelinya.

Namun, harapanku tinggal harapan. Semakin hari, bukannya semakin bertambah pembeli, tapi bahkan tak ada lagi orang yang mampir seiring kudengar gerutuan beberapa pembeli sebelumnya:

”Rasanya hambar!”

”Cokelatnya sedikit!”

”Huh, sudah mahal, porsinya kecil!”

Tak lama kemudian, aku pun terpaksa menutup bisnis Martabak Sehat. Aku gagal lagi. Tapi, paman tetap tidak marah. Ia malah berkata, ”Tak ada seorang pun yang berhasil di bisnis-bisnis awal mereka. Kau harus terus bangkit!”

Aku tahu. Kupikir aku memang kurang mengenali calon pembeliku. Tawaran hidup sehat tentu tak akan dipilih semua orang. Itulah kesalahanku.

Sampai aku kemudian mendapat ide kembali tentang bisnis katering. Aku ingat, di suatu masa saat ayah masih hidup dan pesanan jahitan ibu membeludak, ibu memesan katering untuk kami. Satu yang kuingat, kami tak bisa memilih lauk yang kami sukai. Para pemilik katering hanya menyediakan beberapa pilihan, dan itu kupikir adalah kelemahan bisnis itu. Yang ada di kepalaku tentu revolusi dari bisnis katering yang sudah-sudah. Aku ingin ada sebuah katering yang bisa melayani semua permintaan dari pemesan.

Maka aku pun mengajukan kembali niatan itu pada paman. Seperti biasa paman bertanya, ”Kenapa katering? Bukankah itu sudah banyak?”

Maka aku menjawab dengan yakin, ”Katering yang akan kubuat sangat berbeda, Paman. Katering ini menyediakan makanan sesuai pesanan pemesannya. Jadi, ia tak harus memilih makanan-makanan yang tak disukainya. Terlebih bila ia ingin makan sehat, kita juga bisa menyiapkannya. Jadi, katering ini nantinya bisa membidik pasar dari masyarakat umum dan masyarakat yang ingin hidup sehat.”

Paman mengangguk-angguk, ”Kau tampaknya cepat belajar.”

”Tentu, Paman. Kegagalan-kegagalanku kemarin selalu menjadi pecut untuk keberhasilanku kali ini. Jadi, kali ini aku tak sekadar bisnis, bisnis, bisnis! Tapi, gagasannya jelas, narasinya juga jelas.”

”Bagus, bagus!”

Paman kemudian memberiku modal hampir Rp 20 juta. Uang itu langsung kualokasikan untuk mengubah dapur rumah dan memberi peralatan masak serta pernak-pernik katering yang dibutuhkan. Aku bahkan menggaji 2 orang tukang masak.

Kunamakan bisnis katering ini: Makanan Dariku Untukmu. Sengaja kata katering tidak kupakai karena aku ingin menghilangkan kesan sama seperti katering-katering yang sudah ada.

Sehari berpromosi di media sosial tak ada pesanan. Seminggu berpromosi dengan menyebar brosur dan voucer tetap tak ada pemesan. Sebulan berpromosi memanggil organ tunggal dan boneka angin tetap tak ada pesanan masuk.

Barulah di hari kedelapan ada telepon berdering di hape.

”Halo?” terdengar suara di seberang.

”Halo dari Makanan Dariku Untukmu,” balasku deg-degan.

”Maaf, Kak? Ini Makanan Dariku Untukmu maksudnya apa ya? Apa Kakak memberi makanan untuk anak yatim piatu? Saya dari pengurus panti asuhan ….”

Aku hanya bisa mendengus.

Sampai dua bulan berlalu, tak ada satu pesanan pun datang. Aku sadar telah membuat kesalahan fatal dengan nama bisnisku kali ini. Tapi, aku tak bisa menggantinya karena semua promosi, papan nama, dan spanduk sudah memakai nama itu. Ah, kenapa aku tak belajar dari rencana bego mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat dulu?

Aku pun menyerah. Paman tetap menepuk pundakku sambil terus menyemangatiku.

Sampai aku kuliah, ada 8 bisnis yang kujalani. Semuanya dimodali oleh paman, dan semuanya gagal. Di kegagalanku yang kedelapan itulah, aku mulai menyadari kalau aku mungkin memang tak memiliki bakat bisnis.

Paman pun hanya berkata, ”Fokus kuliah saja! Jadilah PNS seperti ayahmu!”

Aku hanya bisa mengangguk.

***

Aku pun fokus berkuliah. Selama kuliah inilah baru kusadari kalau dua anak paman ternyata tak melanjutkan kuliah. Baru kuingat semasa SMU dulu, aku juga sering melihat mereka nongkrong di warung atau di tempat biliar. Andre, anak pertama paman, kutahu sering mabuk-mabukan. Dodit, anak kedua paman, bahkan pernah ditelanjangi warga kampung sebelah gara-gara menghamili pacarnya.

Aku pernah menanyakan tentang mereka pada paman. Tapi, paman hanya mengangkat bahu. ”Mereka memang tak cepat dewasa sepertimu. Setiap Paman tanya, mereka hanya bilang akan berbisnis nanti. Tapi, sampai sekarang belum juga ada action-nya.”

Aku hanya bisa mengangguk-angguk.

***

Saat akhirnya aku diterima di pemda, ibu menyambutnya dengan jatuh pingsan. Sejak lama ibu memang sakit, dan lagi-lagi, paman yang mengurus semua biaya rumah sakit. Tapi, kali ini ibu tak lagi bisa sembuh.

Selepas melepas kepergian ibu, aku menjalani kehidupanku sendiri. Aku berjanji pada diriku sendiri, ingin seperti ayah menjadi pegawai negeri yang jujur. Walau nantinya aku tak punya apa-apa dan jabatanku pun mentok, setidaknya aku menjaga nama baikku. Itu juga yang menjadi pesan ibu sebelum pergi.

Sampai beberapa tahun kemudian paman sakit. Saat aku menjenguknya di rumah sakit, paman bicara denganku, ”Ris, kali ini Paman mungkin tak lagi bisa berumur panjang. Kini saatnya kamu bantu Paman ya. Kautahu kan, sepupumu Andre baru saja membuat usaha kontraktor, bantulah ia agar bisa menggarap proyek-proyek pemda…”

Aku hanya bisa terdiam.

”Juga si Dodit yang baru membuat toko ATK. Bantulah ia supaya bisa menjadi supplier tetap di pemda. Kuharap ini tak memberatkanmu. Bagaimanapun, kita adalah keluarga karena harta terbaik itu adalah … keluarga ….” (*)

YUDHI HERWIBOWO, Menulis cerpen dan novel. Buku-bukunya antara lain Umbira dan Keajaiban-Keajaiban di Kotak Ajaibnya (kumcer/bukuKatta) dan Tunas Ibu (kumcer/Indonesia Tera).

Exit mobile version