28.6 C
Jakarta
Sunday, January 19, 2025

Tawanan Perang

Oleh ELI RUSLI

Derap sepatu tentara NICA saat menginjak lantai penjara itu seperti mengolok-olok kaki telanjang milik lelaki kulit kuning yang melangkah tertatih-tatih di depan hidungnya. Dari balik jeruji penjara tempatku ditahan, sepasang mataku meraba-raba mengawasi langkah kedua lelaki yang berjalan beriringan tersebut.

Sepasang mataku tidak terlalu awas menyentuh tubuh mereka setelah lebam dihantam pukulan tangan kasar tentara NICA inlander yang menangkapku. Namun lambat laun setelah kedua bayangan itu semakin mendekat, sebelah mataku mulai mengenali permukaan wajah yang melangkah lunglai di depan tentara NICA tersebut. Betul. Sepertinya aku mengenali wajah lelaki kulit kuning itu.

Pagi itu matahari berusaha menerobos celah-celah bilik kamar kontrakanku. Tadi, sebelum beduk subuh bertalu-talu, aku terlebih dahulu santap sahur dengan tiga potong singkong rebus.

Dan setelah salat Subuh, kuluruskan kembali tubuhku di atas sehelai tikar anyaman mendong. Maklumlah, kemarin pikiran dan tenagaku kerasukan perasaan gembira bersetubuh ketegangan. Berita kekalahan Jepang menari-nari di lorong telinga para pemuda di Jakarta.

Tadi malam, puluhan bibir kalangan pemuda mengucap satu suara mendesak Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Aku membasuh muka dengan air dari sumur yang isinya semakin mengering karena kemarau merajalela tanpa ampun menyedot semua air sumur warga Jakarta. Kemudian memindahkan sepeda onthel ke halaman. Lalu kukayuh secepatnya menuju Cikini. Jalanan sepi. Ban sepeda mesti berkelok-kelok menghindari lubang-lubang yang berserak di jalanan.

Dari arah muka sebuah truk tua melintas ke arahku. Terdengar tubuh truk tua berderak-derak saat ban menggilas lubang-lubang di badan jalan. Debu-debu berhamburan ke udara. Di belakang kemudi, duduk seorang pemuda berseragam prajurit PETA. Truk tua melaju tergesa-gesa menuju batas kota.

Perasaan tegang berkecamuk di balik dada saat ban sepeda memasuki tengah kota. Wajah-wajah tentara Jepang yang kutemui di jalan tidak garang seperti hari-hari sebelumnya. Wajah mereka tampak tegang, lesu, tidak bergairah. Kepercayaan diri mereka seperti terbang dari tubuhnya. Dugaanku, kemungkinan besar berita tentang kekalahan tentara Jepang dari sekutu telah lolos ke lubang telinga mereka.

 

Tiba di markas pemuda, Samsul, sahabatku merentangkan kedua tangannya ke langit.

’’Ros! Besok kita merdeka!”

’’Merdeka?”

’’Benar. Kita akan melucuti tentara Jepang lewat tengah malam nanti. Bung Karno dan Bung Hatta sudah diamankan ke luar kota biar tidak terpengaruh orang-orang Jepang sialan itu. Hari ini kita tidak boleh jauh-jauh dari markas. Bersiaplah dengan sepedamu! Kabar ini harus didengar seluruh pemuda di setiap sudut Kota Jakarta.”

Siang itu, sambil menahan lapar dan dahaga, aku mengayuh sepeda menyambangi kantong-kantong pemuda agar bersiap menyambut kemerdekaan Indonesia.

Selepas membatalkan puasa, menjelang salat Isya, wajah seorang pemuda dengan lencana berbentuk kepala banteng dalam lingkaran yang melekat di atas dada sebelah kiri masuk ke ruangan.

”Besok Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di lapangan Ikada! Kawan-kawan harap datang ke sana sebelum jam sepuluh pagi!”

Wajah-wajah di dalam ruangan yang mendengar kabar tersebut menjadi tegang dan heran.

Baca Juga :  Tanpa Nuklir

’’Bukankah Bung Karno dan Bung Hatta berada di luar kota?” tanya Samsul.

’’Tidak! Bung Karno dan Bung Hatta dalam perjalanan ke Jakarta. Tadi siang Mr Achmad Soebardjo menjemputnya,” jawab kurir penuh semangat.

Kami saling pandang. Ketegangan sedikit pudar. Semua tersenyum bahagia.

’’Kita merdeka!”

’’Merdeka!”

’’Merdeka!”

Ruangan sontak bergemuruh mengalahkan suara-suara binatang malam yang bersahutan di luar. Kami berangkulan. Ada tetes air mata yang membanjiri belahan pipi para pemuda yang berkumpul di ruangan.

’’Kawan-kawan! Tenang dulu. Kita belum merdeka. Lebih baik informasi ini kita sebarkan lewat poster yang ditempel di pohon-pohon dan dinding-dinding tembok. Biar seluruh rakyat mengetahui apabila besok Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di lapangan Ikada. Satu hal lagi, rencana kita melucuti tentara Jepang belum dibatalkan. Kita harus menunggu kabar berikutnya.”

Semua mulut yang berada di ruangan serempak mengucapkan kata setuju. Kemudian kami bekerja menyiapkan poster-poster yang akan ditempelkan malam ini juga.

Sebelum jam berdentang dua belas kali, seorang kurir mengabarkan jika Bung Karno dan Bung Hatta sudah ada di rumah Laksamana Maeda. Rencana kami melucuti tentara Jepang setelah lewat tengah malam digugurkan.

Aku, Samsul, dan beberapa kawan pemuda bergegas mengayuh sepeda ke rumah Laksamana Maeda. Berkali-kali ban sepeda kami terantuk lubang jalanan. Angin dingin perlahan-lahan menguasai tubuh kami. Dedaunan berguguran ke tanah melawan musim kemarau yang masih berkuasa. Namun, semangat kami yang menyala-nyala tidak menghiraukannya.

Beberapa orang pemuda menyambut di halaman rumah. Tidak jauh dari pintu masuk, seorang tokoh pemuda yang mengenakan seragam opsir PETA bersenjata revolver dan pedang samurai tengah berbincang dengan seorang Jepang.

Tak lama terdengar deru mobil sedan memasuki halaman. Bung Karno, Bung Hatta, dan seorang perwira Jepang yang wajahnya aku kenal sebagai Laksamana Maeda keluar satu per satu. Mereka melangkah setengah berlari memasuki rumah, kemudian disambut tokoh pemuda dan orang Jepang yang sedari tadi berbincang dengannya.

Ketika kami berdiri di ruang tengah, Bung Karno, Bung Hatta, Mr Achmad Soebardjo, Laksamana Maeda, serta dua orang Jepang memasuki ruang makan. Aku melihat sekilas saat mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar.

Tengah malam telah lewat. Gurat wajah orang-orang yang berdiri di ruang utama tampak tegang. Semua mulut terkunci. Tidak ada yang bicara. Hanya embusan angin malam yang bergerak merasuki jiwa-jiwa yang hendak merdeka. Semua menunggu hasil rapat orang-orang yang berada di ruang makan.

Keheningan pecah saat dari luar terdengar deru mobil memasuki halaman. Tak lama sesosok tubuh lelaki berkulit kuning memasuki ruang tengah. Matanya yang sipit berkeliling menatap wajah-wajah yang berdiri di ruangan. Dia tampak terperanjat. Beberapa pemuda bergerak cepat mengepungnya.

Terdengar riuh suara para pemuda.

Sebelum kericuhan menjadi keramaian, salah satu dari orang Jepang yang duduk di ruang makan melangkah keluar. Dia segera bicara meyakinkan para pemuda yang berusaha menangkap lelaki yang baru datang. Kemudian lelaki itu membawa masuk orang Jepang yang baru datang ke ruang makan.

Baca Juga :  Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Bayar Uang Pengganti Rp210 Miliar

Sial. Sebelum sempat melarikan diri dari kejaran tentara NICA, kaki kiri terantuk batu. Tubuhku berdebum menyentuh tanah, debu berhamburan. Senjata di tangan kananku terlempar.

’’Berhenti ekstremis! Atau kutembak!”

Dua orang tentara NICA inlander cepat-cepat menghampiri tubuhku.

’’Bangun! Bangun!”

Sambil meringis menahan sakit, pelan-pelan aku berdiri. Namun sebelum kakiku tegak lurus, tiba-tiba sebuah tendangan kaki kanan menghajar ulu hati. Aku terjengkang. Tubuhku kembali menyentuh tanah.

’’Bangun! Bangun anjing! Dasar antek Soekarno!”

Aku berusaha duduk sambil memegang perut yang terasa nyeri. Salah seorang dari mereka jongkok sambil menodongkan pistol ke keningku.

’’Ekstremis gila. Mau merdeka he?”

Kawannya yang masih berdiri menghantam wajahku dengan popor senjata. Dari hidungku keluar darah segar. Belum sempat menghirup udara, sebuah pukulan tepat mengenai mata kiriku. Aku kembali terjengkang.

”Hari ini saatnya kau mati anjing!”

Pelatuk pistol akan segera ditarik. Aku menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Sebelum pistol menyalak, samar-samar terdengar teriakan dalam bahasa Inggris.

Ketika aku bangun. Tubuh terasa linu dan pegal-pegal. Mata kiri tidak bisa melihat dengan sempurna. Sakit rasanya sekujur tubuh. Aku dikelilingi wajah-wajah sebangsaku.

’’Syukurlah sudah siuman. Sejak tadi sore kamu tidak sadarkan diri. Minumlah dahulu.”

Aku menatap lelaki muda yang tangan kanannya menyodorkan cangkir minum ke mulutku. Kemudian kepala memutar, menjelajahi jeruji besi yang kini mengurungku.

’’Kamu dalam tawanan sekutu! Namaku Diro!”

Sejak itu aku menghuni tahanan bersama kawan-kawan seperjuangan yang lain.

Benakku dengan cepat menarik semua data tentang lelaki kulit kuning yang barusan melintas di depan sel. Wajah Samsul berkelebat di atas kepalaku. Aku ingat sekarang. Tebakanku pasti tidak meleset. Lelaki kulit kuning itu adalah salah seorang dari orang-orang Jepang yang malam itu duduk di depan meja bundar di Nassau Boulevard No 1.

Dia adalah lelaki Jepang yang menjelang perumusan naskah proklamasi berbincang dengan tokoh pemuda yang berseragam PETA. Lelaki itu pula yang meyakinkan para pemuda jika lelaki Jepang yang datang belakangan bukan mata-mata.

Lelaki itu tampak lusuh. Wajahnya kuyu seperti menanggung beban yang sangat berat. Aku ingat. Malam itu, setelah mereka keluar dari ruang makan, lelaki itu masuk ke ruangan lain. Di ruangan utama, di mana kami berdiri menunggu, Bung Karno membacakan teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Walau sempat mendapat sanggahan dari beberapa pemuda, akhirnya teks itu disepakati.

Aku menatap ke lorong sel di mana lelaki Jepang itu menghilang. Tidak ada cahaya. Ingin sekali aku menolongnya. Namun, keadaanku sekarang tidak jauh beda dengannya. Apakah lelaki berkulit kuning itu kelak akan tercatat dalam buku sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang baru merdeka ini? Entahlah. (*)

ELI RUSLI, Menulis cerpen yang dimuat di beberapa surat kabar dan media online. Buku terbarunya Cerita Pendek yang Tidak Pernah Selesai (Kumpulan Cerpen), penerbit Langgam Pustaka (Juni 2024).

Oleh ELI RUSLI

Derap sepatu tentara NICA saat menginjak lantai penjara itu seperti mengolok-olok kaki telanjang milik lelaki kulit kuning yang melangkah tertatih-tatih di depan hidungnya. Dari balik jeruji penjara tempatku ditahan, sepasang mataku meraba-raba mengawasi langkah kedua lelaki yang berjalan beriringan tersebut.

Sepasang mataku tidak terlalu awas menyentuh tubuh mereka setelah lebam dihantam pukulan tangan kasar tentara NICA inlander yang menangkapku. Namun lambat laun setelah kedua bayangan itu semakin mendekat, sebelah mataku mulai mengenali permukaan wajah yang melangkah lunglai di depan tentara NICA tersebut. Betul. Sepertinya aku mengenali wajah lelaki kulit kuning itu.

Pagi itu matahari berusaha menerobos celah-celah bilik kamar kontrakanku. Tadi, sebelum beduk subuh bertalu-talu, aku terlebih dahulu santap sahur dengan tiga potong singkong rebus.

Dan setelah salat Subuh, kuluruskan kembali tubuhku di atas sehelai tikar anyaman mendong. Maklumlah, kemarin pikiran dan tenagaku kerasukan perasaan gembira bersetubuh ketegangan. Berita kekalahan Jepang menari-nari di lorong telinga para pemuda di Jakarta.

Tadi malam, puluhan bibir kalangan pemuda mengucap satu suara mendesak Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Aku membasuh muka dengan air dari sumur yang isinya semakin mengering karena kemarau merajalela tanpa ampun menyedot semua air sumur warga Jakarta. Kemudian memindahkan sepeda onthel ke halaman. Lalu kukayuh secepatnya menuju Cikini. Jalanan sepi. Ban sepeda mesti berkelok-kelok menghindari lubang-lubang yang berserak di jalanan.

Dari arah muka sebuah truk tua melintas ke arahku. Terdengar tubuh truk tua berderak-derak saat ban menggilas lubang-lubang di badan jalan. Debu-debu berhamburan ke udara. Di belakang kemudi, duduk seorang pemuda berseragam prajurit PETA. Truk tua melaju tergesa-gesa menuju batas kota.

Perasaan tegang berkecamuk di balik dada saat ban sepeda memasuki tengah kota. Wajah-wajah tentara Jepang yang kutemui di jalan tidak garang seperti hari-hari sebelumnya. Wajah mereka tampak tegang, lesu, tidak bergairah. Kepercayaan diri mereka seperti terbang dari tubuhnya. Dugaanku, kemungkinan besar berita tentang kekalahan tentara Jepang dari sekutu telah lolos ke lubang telinga mereka.

 

Tiba di markas pemuda, Samsul, sahabatku merentangkan kedua tangannya ke langit.

’’Ros! Besok kita merdeka!”

’’Merdeka?”

’’Benar. Kita akan melucuti tentara Jepang lewat tengah malam nanti. Bung Karno dan Bung Hatta sudah diamankan ke luar kota biar tidak terpengaruh orang-orang Jepang sialan itu. Hari ini kita tidak boleh jauh-jauh dari markas. Bersiaplah dengan sepedamu! Kabar ini harus didengar seluruh pemuda di setiap sudut Kota Jakarta.”

Siang itu, sambil menahan lapar dan dahaga, aku mengayuh sepeda menyambangi kantong-kantong pemuda agar bersiap menyambut kemerdekaan Indonesia.

Selepas membatalkan puasa, menjelang salat Isya, wajah seorang pemuda dengan lencana berbentuk kepala banteng dalam lingkaran yang melekat di atas dada sebelah kiri masuk ke ruangan.

”Besok Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di lapangan Ikada! Kawan-kawan harap datang ke sana sebelum jam sepuluh pagi!”

Wajah-wajah di dalam ruangan yang mendengar kabar tersebut menjadi tegang dan heran.

Baca Juga :  Tanpa Nuklir

’’Bukankah Bung Karno dan Bung Hatta berada di luar kota?” tanya Samsul.

’’Tidak! Bung Karno dan Bung Hatta dalam perjalanan ke Jakarta. Tadi siang Mr Achmad Soebardjo menjemputnya,” jawab kurir penuh semangat.

Kami saling pandang. Ketegangan sedikit pudar. Semua tersenyum bahagia.

’’Kita merdeka!”

’’Merdeka!”

’’Merdeka!”

Ruangan sontak bergemuruh mengalahkan suara-suara binatang malam yang bersahutan di luar. Kami berangkulan. Ada tetes air mata yang membanjiri belahan pipi para pemuda yang berkumpul di ruangan.

’’Kawan-kawan! Tenang dulu. Kita belum merdeka. Lebih baik informasi ini kita sebarkan lewat poster yang ditempel di pohon-pohon dan dinding-dinding tembok. Biar seluruh rakyat mengetahui apabila besok Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di lapangan Ikada. Satu hal lagi, rencana kita melucuti tentara Jepang belum dibatalkan. Kita harus menunggu kabar berikutnya.”

Semua mulut yang berada di ruangan serempak mengucapkan kata setuju. Kemudian kami bekerja menyiapkan poster-poster yang akan ditempelkan malam ini juga.

Sebelum jam berdentang dua belas kali, seorang kurir mengabarkan jika Bung Karno dan Bung Hatta sudah ada di rumah Laksamana Maeda. Rencana kami melucuti tentara Jepang setelah lewat tengah malam digugurkan.

Aku, Samsul, dan beberapa kawan pemuda bergegas mengayuh sepeda ke rumah Laksamana Maeda. Berkali-kali ban sepeda kami terantuk lubang jalanan. Angin dingin perlahan-lahan menguasai tubuh kami. Dedaunan berguguran ke tanah melawan musim kemarau yang masih berkuasa. Namun, semangat kami yang menyala-nyala tidak menghiraukannya.

Beberapa orang pemuda menyambut di halaman rumah. Tidak jauh dari pintu masuk, seorang tokoh pemuda yang mengenakan seragam opsir PETA bersenjata revolver dan pedang samurai tengah berbincang dengan seorang Jepang.

Tak lama terdengar deru mobil sedan memasuki halaman. Bung Karno, Bung Hatta, dan seorang perwira Jepang yang wajahnya aku kenal sebagai Laksamana Maeda keluar satu per satu. Mereka melangkah setengah berlari memasuki rumah, kemudian disambut tokoh pemuda dan orang Jepang yang sedari tadi berbincang dengannya.

Ketika kami berdiri di ruang tengah, Bung Karno, Bung Hatta, Mr Achmad Soebardjo, Laksamana Maeda, serta dua orang Jepang memasuki ruang makan. Aku melihat sekilas saat mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar.

Tengah malam telah lewat. Gurat wajah orang-orang yang berdiri di ruang utama tampak tegang. Semua mulut terkunci. Tidak ada yang bicara. Hanya embusan angin malam yang bergerak merasuki jiwa-jiwa yang hendak merdeka. Semua menunggu hasil rapat orang-orang yang berada di ruang makan.

Keheningan pecah saat dari luar terdengar deru mobil memasuki halaman. Tak lama sesosok tubuh lelaki berkulit kuning memasuki ruang tengah. Matanya yang sipit berkeliling menatap wajah-wajah yang berdiri di ruangan. Dia tampak terperanjat. Beberapa pemuda bergerak cepat mengepungnya.

Terdengar riuh suara para pemuda.

Sebelum kericuhan menjadi keramaian, salah satu dari orang Jepang yang duduk di ruang makan melangkah keluar. Dia segera bicara meyakinkan para pemuda yang berusaha menangkap lelaki yang baru datang. Kemudian lelaki itu membawa masuk orang Jepang yang baru datang ke ruang makan.

Baca Juga :  Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Bayar Uang Pengganti Rp210 Miliar

Sial. Sebelum sempat melarikan diri dari kejaran tentara NICA, kaki kiri terantuk batu. Tubuhku berdebum menyentuh tanah, debu berhamburan. Senjata di tangan kananku terlempar.

’’Berhenti ekstremis! Atau kutembak!”

Dua orang tentara NICA inlander cepat-cepat menghampiri tubuhku.

’’Bangun! Bangun!”

Sambil meringis menahan sakit, pelan-pelan aku berdiri. Namun sebelum kakiku tegak lurus, tiba-tiba sebuah tendangan kaki kanan menghajar ulu hati. Aku terjengkang. Tubuhku kembali menyentuh tanah.

’’Bangun! Bangun anjing! Dasar antek Soekarno!”

Aku berusaha duduk sambil memegang perut yang terasa nyeri. Salah seorang dari mereka jongkok sambil menodongkan pistol ke keningku.

’’Ekstremis gila. Mau merdeka he?”

Kawannya yang masih berdiri menghantam wajahku dengan popor senjata. Dari hidungku keluar darah segar. Belum sempat menghirup udara, sebuah pukulan tepat mengenai mata kiriku. Aku kembali terjengkang.

”Hari ini saatnya kau mati anjing!”

Pelatuk pistol akan segera ditarik. Aku menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Sebelum pistol menyalak, samar-samar terdengar teriakan dalam bahasa Inggris.

Ketika aku bangun. Tubuh terasa linu dan pegal-pegal. Mata kiri tidak bisa melihat dengan sempurna. Sakit rasanya sekujur tubuh. Aku dikelilingi wajah-wajah sebangsaku.

’’Syukurlah sudah siuman. Sejak tadi sore kamu tidak sadarkan diri. Minumlah dahulu.”

Aku menatap lelaki muda yang tangan kanannya menyodorkan cangkir minum ke mulutku. Kemudian kepala memutar, menjelajahi jeruji besi yang kini mengurungku.

’’Kamu dalam tawanan sekutu! Namaku Diro!”

Sejak itu aku menghuni tahanan bersama kawan-kawan seperjuangan yang lain.

Benakku dengan cepat menarik semua data tentang lelaki kulit kuning yang barusan melintas di depan sel. Wajah Samsul berkelebat di atas kepalaku. Aku ingat sekarang. Tebakanku pasti tidak meleset. Lelaki kulit kuning itu adalah salah seorang dari orang-orang Jepang yang malam itu duduk di depan meja bundar di Nassau Boulevard No 1.

Dia adalah lelaki Jepang yang menjelang perumusan naskah proklamasi berbincang dengan tokoh pemuda yang berseragam PETA. Lelaki itu pula yang meyakinkan para pemuda jika lelaki Jepang yang datang belakangan bukan mata-mata.

Lelaki itu tampak lusuh. Wajahnya kuyu seperti menanggung beban yang sangat berat. Aku ingat. Malam itu, setelah mereka keluar dari ruang makan, lelaki itu masuk ke ruangan lain. Di ruangan utama, di mana kami berdiri menunggu, Bung Karno membacakan teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Walau sempat mendapat sanggahan dari beberapa pemuda, akhirnya teks itu disepakati.

Aku menatap ke lorong sel di mana lelaki Jepang itu menghilang. Tidak ada cahaya. Ingin sekali aku menolongnya. Namun, keadaanku sekarang tidak jauh beda dengannya. Apakah lelaki berkulit kuning itu kelak akan tercatat dalam buku sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang baru merdeka ini? Entahlah. (*)

ELI RUSLI, Menulis cerpen yang dimuat di beberapa surat kabar dan media online. Buku terbarunya Cerita Pendek yang Tidak Pernah Selesai (Kumpulan Cerpen), penerbit Langgam Pustaka (Juni 2024).

Terpopuler

Artikel Terbaru

/