27.9 C
Jakarta
Sunday, March 16, 2025

Lebih Baik Merangkul daripada Menampik AI

Oleh ERWAN WIDYARTO

Siti Murtiningsih mengajak kita untuk tidak menolak sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan manusia.

PARADIGMA lama pendidikan meyakini manusia terbentuk sikap dan karakternya oleh lingkungan. Yakni, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, termasuk kondisi geografis alam maupun iklim.

Dalam perkembangan sejarah manusia modern, kita memasuki era di mana ciptaan kita sendiri, yakni kecerdasan buatan, akan membentuk kita dalam berbagai cara yang tidak kasatmata. Tantangan itulah yang mendasari penerbitan buku ini.

Penulisnya, Siti Murtiningsih, mengajak kita untuk berdiskusi secara mendalam tentang tantangan filsafat kehadiran sistem kecerdasan buatan. Apakah artificial intelligence (akal imitasi/AI) benar-benar menjadi obat mujarab yang menyelesaikan banyak hal, termasuk di dunia pendidikan?

Ataukah AI justru ancaman karena menjadi pesaing manusia? Bagaimana pendidikan kita harus menyikapi persoalan ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang dielaborasi jawabannya secara filosofis dalam buku setebal 165 halaman ini.

Fiksi yang Telah Menjadi Fakta

Hubungan manusia dengan mesin pintar, pada mulanya, merupakan kisah fiksi dalam film. Misalnya, dalam film Her (2013) karya sutradara Spike Jonze. Diceritakan Theodore, seorang lelaki yang jatuh cinta dan cemburu pada mesin bernama Samantha. Padahal, Theodore hanya mengenal Samantha lewat suara.

Berbeda dengan fiksi lainnya, Black Mirror. Dalam episode Be Right Back (2013), diceritakan sebuah mesin kecerdasan buatan sebagai pengganti pasangan seseorang yang telah meninggal. Mesin cerdas ini hadir dalam sebuah bentuk tubuh berbahan silikon. Sehingga tidak hanya bisa diajak ngobrol, mesin ini bisa diajak bercinta.

Kisah fiksi tersebut kini telah mewujud, kian menjadi nyata. Dalam beberapa tahun ke depan, seseorang bisa berkencan dengan manusia silikon dengan akal imitasi. Dan pada saat bersamaan, bisa jadi, yang berdiri di depan kelas mengajar anak-anak kita bukan manusia dengan tubuh berbasis karbon, melainkan mesin kecerdasan buatan yang dimasukkan ke dalam tubuh berbasis silikon (hal 5).

Fakta yang nyata. Sejak 2018, China telah menugaskan robot kecil KeeKo untuk mengajar di 600 kelas taman kanak-kanak. KeeKo bercerita, mengajukan soal logika, dan bereaksi dengan ekspresi wajah saat siswa bisa menguasai pelajaran.

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas Guru agar Pengembangan dan Pendidikan Karakter Generasi Semakin Baik

Tahun 2024, India juga telah memperkenalkan Iris, guru-robot yang mengajar di Kerala School. Iris didesain sebagai guru perempuan. Ia mengenakan pakaian khas India. Dapat merespons pertanyaan dan memberikan penjelasan serta menyampaikan materi pelajaran.

Di Indonesia, bukan tidak mungkin, kecerdasan buatan sudah merasuki dunia pendidikan. Meski belum mewujud dalam tubuh berbentuk robot, kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) sudah banyak mewarnai dunia pendidikan. Berbagai aplikasi berbasis AI sering dipilih anak didik dalam mencari rujukan menyelesaikan soal pelajaran.

Sambut AI, Ambil Manfaatnya

Kita layak cemas ketika melihat anak-anak yang justru belajar tentang banyak hal dari YouTube, ChatGPT, atau perangkat AI lainnya. Namun, Siti Murtiningsih mengajak kita untuk tidak menolak sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan proses pendidikan.

Karena itu, daripada menolak atau membiarkan mesin mengambil alih proses pendidikan, kita sebaiknya mulai membayangkan bagaimana mendidik manusia bersama mesin.

Dalam buku ini, Siti mengajak memanfaatkan AI sebagai salah satu cara bagi manusia untuk membantu membentuk kecerdasan emosional dan mengembangkan cara berpikir kritis.

Integrasi kecerdasan artifisial dalam pendidikan menawarkan cara-cara transformatif untuk menyampaikan materi pendidikan selama periode perubahan sosial dan budaya yang cepat. AI sebagai sebuah mesin dapat dimanfaatkan sebagai kolaborator manusia dalam dunia pendidikan.

Teknologi memang memiliki peran sebagai alat bantu bagi para pendidik untuk meningkatkan kapasitas diri dan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks. AI dan otomatisasi teknologi telah mengubah secara dramatis dunia pendidikan saat ini.

Siti menggunakan kacamata pedagogi kritis ala Paulo Freire –seorang tokoh filsafat pendidikan– untuk melihat masalah disrupsi teknologi. Dikatakan, satu tawaran dalam pedagogi kritis ini adalah menekankan kembali proyeksi pembelajaran kolektif. Pembelajaran kolektif yang ia maksud adalah merancangkan keterlibatan AI agar mendorong interaksi yang lebih bermakna antara guru dan murid.

Baca Juga :  Mau Makan Apa? Terserah!

Interaksi inilah yang menjadi penting apabila melihat proses belajar-mengajar. Guru dapat menanamkan harapan atau pengalaman dan perasaan yang nyata. Manusia tetap perlu hadir sebagai pendidik karena pendidikan tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga harus menumbuhkan empati, solidaritas, dan komitmen kolektif terhadap keadilan sosial dan ekologis.

Mesin, dalam konteks pedagogi kritis, berperan sebagai kolaborator manusia dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang interaktif dan dialogis.

Siti menekankan dua hal apabila membicarakan upaya-upaya mendidik manusia bersama mesin. Pertama, subjek utama pendidikan itu adalah manusia. Kedua, entitas nonmanusia seperti mesin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Dua hal inilah yang membuka ruang-ruang eksplorasi baru tentang relasi manusia-nonmanusia.

Di balik semua kemajuan yang dihadirkan AI di bidang pendidikan, ada beberapa tantangan yang tidak dapat dihindari dan perlu diperhatikan. Tantangan-tantangan tersebut mencakup kebutuhan pelatihan guru, etika penggunaan teknologi kecerdasan buatan, privasi data, hingga masalah kesenjangan akses digital yang setara bagi semua siswa.

Siti lantas mendefinisikan pendidikan dan peran guru. Menurutnya, pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan nilai-nilai. Dalam kajian filsafat pendidikan, pendidikan selalu terkait dengan pengetahuan dan nilai yang ditransmisikan guru kepada murid.

Dalam filsafat, pengetahuan didefinisikan sebagai keyakinan yang benar dan terjustifikasi. Namun, AI tidak memiliki keyakinan, melainkan hanya mampu memproses data untuk menghasilkan output yang tampak bermakna.

AI bisa saja bernilai benar atau salah, tapi tidak akan memiliki nilai yang bisa ditransmisikan. Sebab, AI tetap terbatas dalam memahami dan menginternalisasi nilai-nilai secara moral dan sosial, yang merupakan aspek penting dalam pendidikan.

So, ketika kita menyadari keberadaan AI dan meyakini proses pendidikan tidak sekadar mentransfer pengetahuan, AI bukanlah sebuah ancaman bagi dunia pendidikan. Berarti juga bukan pesaing bagi guru. (*)

Judul: Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat dan Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Penulis: Siti Murtiningsih

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan: Pertama, Februari 2025

Tebal: xiii + 165 halaman

ISBN: 978-623-134-343-7

ISBN Digital: 978-623-134-342-0

*) ERWAN WIDYARTO, Penggemar buku, tinggal di Jogja

Oleh ERWAN WIDYARTO

Siti Murtiningsih mengajak kita untuk tidak menolak sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan manusia.

PARADIGMA lama pendidikan meyakini manusia terbentuk sikap dan karakternya oleh lingkungan. Yakni, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, termasuk kondisi geografis alam maupun iklim.

Dalam perkembangan sejarah manusia modern, kita memasuki era di mana ciptaan kita sendiri, yakni kecerdasan buatan, akan membentuk kita dalam berbagai cara yang tidak kasatmata. Tantangan itulah yang mendasari penerbitan buku ini.

Penulisnya, Siti Murtiningsih, mengajak kita untuk berdiskusi secara mendalam tentang tantangan filsafat kehadiran sistem kecerdasan buatan. Apakah artificial intelligence (akal imitasi/AI) benar-benar menjadi obat mujarab yang menyelesaikan banyak hal, termasuk di dunia pendidikan?

Ataukah AI justru ancaman karena menjadi pesaing manusia? Bagaimana pendidikan kita harus menyikapi persoalan ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang dielaborasi jawabannya secara filosofis dalam buku setebal 165 halaman ini.

Fiksi yang Telah Menjadi Fakta

Hubungan manusia dengan mesin pintar, pada mulanya, merupakan kisah fiksi dalam film. Misalnya, dalam film Her (2013) karya sutradara Spike Jonze. Diceritakan Theodore, seorang lelaki yang jatuh cinta dan cemburu pada mesin bernama Samantha. Padahal, Theodore hanya mengenal Samantha lewat suara.

Berbeda dengan fiksi lainnya, Black Mirror. Dalam episode Be Right Back (2013), diceritakan sebuah mesin kecerdasan buatan sebagai pengganti pasangan seseorang yang telah meninggal. Mesin cerdas ini hadir dalam sebuah bentuk tubuh berbahan silikon. Sehingga tidak hanya bisa diajak ngobrol, mesin ini bisa diajak bercinta.

Kisah fiksi tersebut kini telah mewujud, kian menjadi nyata. Dalam beberapa tahun ke depan, seseorang bisa berkencan dengan manusia silikon dengan akal imitasi. Dan pada saat bersamaan, bisa jadi, yang berdiri di depan kelas mengajar anak-anak kita bukan manusia dengan tubuh berbasis karbon, melainkan mesin kecerdasan buatan yang dimasukkan ke dalam tubuh berbasis silikon (hal 5).

Fakta yang nyata. Sejak 2018, China telah menugaskan robot kecil KeeKo untuk mengajar di 600 kelas taman kanak-kanak. KeeKo bercerita, mengajukan soal logika, dan bereaksi dengan ekspresi wajah saat siswa bisa menguasai pelajaran.

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas Guru agar Pengembangan dan Pendidikan Karakter Generasi Semakin Baik

Tahun 2024, India juga telah memperkenalkan Iris, guru-robot yang mengajar di Kerala School. Iris didesain sebagai guru perempuan. Ia mengenakan pakaian khas India. Dapat merespons pertanyaan dan memberikan penjelasan serta menyampaikan materi pelajaran.

Di Indonesia, bukan tidak mungkin, kecerdasan buatan sudah merasuki dunia pendidikan. Meski belum mewujud dalam tubuh berbentuk robot, kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) sudah banyak mewarnai dunia pendidikan. Berbagai aplikasi berbasis AI sering dipilih anak didik dalam mencari rujukan menyelesaikan soal pelajaran.

Sambut AI, Ambil Manfaatnya

Kita layak cemas ketika melihat anak-anak yang justru belajar tentang banyak hal dari YouTube, ChatGPT, atau perangkat AI lainnya. Namun, Siti Murtiningsih mengajak kita untuk tidak menolak sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan proses pendidikan.

Karena itu, daripada menolak atau membiarkan mesin mengambil alih proses pendidikan, kita sebaiknya mulai membayangkan bagaimana mendidik manusia bersama mesin.

Dalam buku ini, Siti mengajak memanfaatkan AI sebagai salah satu cara bagi manusia untuk membantu membentuk kecerdasan emosional dan mengembangkan cara berpikir kritis.

Integrasi kecerdasan artifisial dalam pendidikan menawarkan cara-cara transformatif untuk menyampaikan materi pendidikan selama periode perubahan sosial dan budaya yang cepat. AI sebagai sebuah mesin dapat dimanfaatkan sebagai kolaborator manusia dalam dunia pendidikan.

Teknologi memang memiliki peran sebagai alat bantu bagi para pendidik untuk meningkatkan kapasitas diri dan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks. AI dan otomatisasi teknologi telah mengubah secara dramatis dunia pendidikan saat ini.

Siti menggunakan kacamata pedagogi kritis ala Paulo Freire –seorang tokoh filsafat pendidikan– untuk melihat masalah disrupsi teknologi. Dikatakan, satu tawaran dalam pedagogi kritis ini adalah menekankan kembali proyeksi pembelajaran kolektif. Pembelajaran kolektif yang ia maksud adalah merancangkan keterlibatan AI agar mendorong interaksi yang lebih bermakna antara guru dan murid.

Baca Juga :  Mau Makan Apa? Terserah!

Interaksi inilah yang menjadi penting apabila melihat proses belajar-mengajar. Guru dapat menanamkan harapan atau pengalaman dan perasaan yang nyata. Manusia tetap perlu hadir sebagai pendidik karena pendidikan tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga harus menumbuhkan empati, solidaritas, dan komitmen kolektif terhadap keadilan sosial dan ekologis.

Mesin, dalam konteks pedagogi kritis, berperan sebagai kolaborator manusia dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang interaktif dan dialogis.

Siti menekankan dua hal apabila membicarakan upaya-upaya mendidik manusia bersama mesin. Pertama, subjek utama pendidikan itu adalah manusia. Kedua, entitas nonmanusia seperti mesin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Dua hal inilah yang membuka ruang-ruang eksplorasi baru tentang relasi manusia-nonmanusia.

Di balik semua kemajuan yang dihadirkan AI di bidang pendidikan, ada beberapa tantangan yang tidak dapat dihindari dan perlu diperhatikan. Tantangan-tantangan tersebut mencakup kebutuhan pelatihan guru, etika penggunaan teknologi kecerdasan buatan, privasi data, hingga masalah kesenjangan akses digital yang setara bagi semua siswa.

Siti lantas mendefinisikan pendidikan dan peran guru. Menurutnya, pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan nilai-nilai. Dalam kajian filsafat pendidikan, pendidikan selalu terkait dengan pengetahuan dan nilai yang ditransmisikan guru kepada murid.

Dalam filsafat, pengetahuan didefinisikan sebagai keyakinan yang benar dan terjustifikasi. Namun, AI tidak memiliki keyakinan, melainkan hanya mampu memproses data untuk menghasilkan output yang tampak bermakna.

AI bisa saja bernilai benar atau salah, tapi tidak akan memiliki nilai yang bisa ditransmisikan. Sebab, AI tetap terbatas dalam memahami dan menginternalisasi nilai-nilai secara moral dan sosial, yang merupakan aspek penting dalam pendidikan.

So, ketika kita menyadari keberadaan AI dan meyakini proses pendidikan tidak sekadar mentransfer pengetahuan, AI bukanlah sebuah ancaman bagi dunia pendidikan. Berarti juga bukan pesaing bagi guru. (*)

Judul: Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat dan Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Penulis: Siti Murtiningsih

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan: Pertama, Februari 2025

Tebal: xiii + 165 halaman

ISBN: 978-623-134-343-7

ISBN Digital: 978-623-134-342-0

*) ERWAN WIDYARTO, Penggemar buku, tinggal di Jogja

Terpopuler

Artikel Terbaru

/