28.8 C
Jakarta
Monday, September 16, 2024

Mau Makan Apa? Terserah!

Sore hari karena lapar, saya pergi ke warung burjo. Kepada si akang
penjual, saya bilang, “Mi tante satu”. Ia tidak memanggil tantenya, tentu saja.
Tanpa banyak bertanya, ia langsung membuatkan saya semangkuk mi “tante” alias
tanpa telur.

—

SORE hari karena lapar, saya pergi ke warung burjo. Kepada si akang
penjual, saya bilang, ’’Mi tante satu’’. Ia tidak memanggil tantenya, tentu
saja. Tanpa banyak bertanya, ia langsung membuatkan saya semangkuk mi ’’tante’’
alias tanpa telur.

Sebetulnya saya bisa saja protes
dan bilang saya ingin mi buatan tantenya. Atau, mi dengan merek ’’tante’’.
Kalau itu terjadi, saya dan si akang penjual akan ngotot-ngototan siapa yang
paling berhak menentukan makna ’’tante’’. Si akang mungkin akan bertanya ke
pembeli lain, mencari dukungan. Saya mungkin akan balik ke rumah, ambil Kamus
Bahasa Indonesia, dan memperlihatkan makna kata tersebut.

Lagi pula, saya bisa memesan mi
tanpa menyebut ’’tante’’. Menyebut mi saja sudah pasti ’’tanpa telur’’. Tapi,
sialnya, kalau saya mengikuti logika tersebut, saya bisa diberi mi bukan hanya
tanpa telur, tapi juga tanpa bawang goreng, tanpa kuah, dan bisa jadi tanpa mangkuk!

Kita sering percaya bahwa bahasa
yang kita pergunakan merupakan bayangan dunia atau realitas. Itu terjadi karena
kita mengekspresikan perihal dunia melalui bahasa. Kita berpikir mempergunakan
bahasa. Kita juga mengetahui apa yang ditangkap orang lain mengenai realitas
melalui bahasa yang mereka pergunakan.

Pada saat yang sama, juga sadar
bahasa yang kita pergunakan banyak mendistorsi kenyataan. Pertama, bisa karena
keterbatasan bahasa itu sendiri. Kedua, karena keterbatasan penguasaan bahasa
si pemakainya. Ketiga, apa yang masuk akal secara tata bahasa sering kali tak
masuk akal di kenyataan.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Coba mampir kembali ke warung
burjo dan memesan ’’soda gembira’’. Susunan frasa itu tentu saja sah secara
tata bahasa. Itu kan semacam kata benda bersanding dengan kata sifat, macam
’’kucing galak’’ atau ’’tas merah’’. Masalahnya, di kenyataan kita bisa
membuktikan kucing galak memang kucing yang perangainya galak. Soda gembira?
Setelah memesan minuman itu, saya tahu itu memang mengandung soda, tapi di
bagian mana ’’gembira’’-nya?

’’Soda gembira’’ tak
menggambarkan soda yang gembira, setidaknya menurut saya. Meskipun begitu, tak
segala hal memang harus masuk akal. Itu pertama. Yang kedua, berdasar
kesepakatan, soda gembira merujuk ke jenis minuman yang secara umum dikenali
sebagai campuran soda, susu, sirup, dan es batu.

Permainan-permainan berbahasa ini
sebetulnya lucu, dan kalau sudah diterima dengan baik sebagai kesepakatan
bersama, tak ada yang akan mempermasalahkannya. Lihat menu-menu makanan yang
semakin hari semakin lucu, seperti sengaja mempermainkan cara berpikir
kebanyakan manusia.

Ada menu coto bernama ’’janda’’
alias ’’jantung dan daging’’. Yang lebih ajaib adalah ketoprak ’’rahasia’’,
yang ternyata ’’tidak diberi tahu’’. Itu tentu permainan antara ’’tahu’’
sebagai makanan dan ’’tahu’’ dalam makna mengerti/paham.

Bagaimana kalau saya pergi ke
suatu restoran dan tiba-tiba saya bilang ke pelayannya, ’’Saya ingin
masturbasi?’’ (padahal itu tak ada di menunya). Si pelayan mungkin pucat pasi
dan menganggap saya gila atau menganggap saya telah melecehkannya. Pemilik
restoran akan memanggil satpam. Padahal, yang saya maksud tak lain dari ’’mi,
nasi, telur, bercampur dalam satu porsi’’.

Saya pernah melihat foto menu
semacam itu dibagikan orang di internet. Tapi jelas, istilah itu belum tentu
dipahami di restoran lain atau oleh pembeli lain.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

Sudah lama para pemikir dibikin
gelisah oleh kenyataan betapa logika bahasa sering kali tak nyambung dengan
logika sehari-hari. Urusan menu makanan mungkin tak akan terlalu gawat, tapi
bagaimana jika distorsi makna tersebut terdapat di undang-undang? Di berita
yang dibaca jutaan orang? Di ucapan seorang tokoh?

Pernah ada pembahasan di antara
para filsuf, misalnya, tentang kalimat ’’kotak bulat itu tidak ada’’. Secara
tata bahasa betul, tapi pada kenyataan membingungkan. Kalau ’’kotak bulat’’
memang tak ada, kenapa disebut? Kalau sudah disebut, berarti ada, setidaknya
secara konsep? Tapi, secara konsep pun, memang seperti apa ’’kotak bulat’’?

Salah satu jalan keluar untuk
kebingungan macam begitu, beberapa pemikir mengusulkan agar kita menciptakan
atau mempergunakan bahasa dengan lebih tepat. Artinya, tak ada distorsi. Kalau
kalimat tadi bermasalah, ubah saja kalimatnya menjadi, ’’Tak ada hal yang kotak
sekaligus bulat’’. Benar secara tata bahasa, betul juga dalam kenyataan.
Ngomong-ngomong, jalan keluar semacam itu dikatakan oleh Bertrand Russell.

Masalahnya, memangnya kita mau
tiap masuk ke warung burjo terus bilang, ’’Saya pesan mi, bungkusnya dibuang,
direbus pakai air mendidih, tambahin bawang goreng, dan disajikan di mangkuk’’?
Bisa saja. Banyak restoran menulis menu dengan bahasa positif, dijelaskan demikian
benderang macam: ’’Daging sapi panggang dan saus lada hitam’’.

Bahasa memberi ruang untuk
beragam salah paham. Membuat dunia penyok ke sana kemari. Tapi, bahasa juga
memberi ruang untuk saling mengerti.

Tanpa kehendak saling mengerti,
saya yakin kita akan bertengkar terus dengan pasangan setiap kali kita
bertanya, “Mau apa?” dan jawabnya, “Terserah”, yang ternyata tak benar-benar
terserah. (*)

(EKA KURNIAWAN, Penulis dan
novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016)

Sore hari karena lapar, saya pergi ke warung burjo. Kepada si akang
penjual, saya bilang, “Mi tante satu”. Ia tidak memanggil tantenya, tentu saja.
Tanpa banyak bertanya, ia langsung membuatkan saya semangkuk mi “tante” alias
tanpa telur.

—

SORE hari karena lapar, saya pergi ke warung burjo. Kepada si akang
penjual, saya bilang, ’’Mi tante satu’’. Ia tidak memanggil tantenya, tentu
saja. Tanpa banyak bertanya, ia langsung membuatkan saya semangkuk mi ’’tante’’
alias tanpa telur.

Sebetulnya saya bisa saja protes
dan bilang saya ingin mi buatan tantenya. Atau, mi dengan merek ’’tante’’.
Kalau itu terjadi, saya dan si akang penjual akan ngotot-ngototan siapa yang
paling berhak menentukan makna ’’tante’’. Si akang mungkin akan bertanya ke
pembeli lain, mencari dukungan. Saya mungkin akan balik ke rumah, ambil Kamus
Bahasa Indonesia, dan memperlihatkan makna kata tersebut.

Lagi pula, saya bisa memesan mi
tanpa menyebut ’’tante’’. Menyebut mi saja sudah pasti ’’tanpa telur’’. Tapi,
sialnya, kalau saya mengikuti logika tersebut, saya bisa diberi mi bukan hanya
tanpa telur, tapi juga tanpa bawang goreng, tanpa kuah, dan bisa jadi tanpa mangkuk!

Kita sering percaya bahwa bahasa
yang kita pergunakan merupakan bayangan dunia atau realitas. Itu terjadi karena
kita mengekspresikan perihal dunia melalui bahasa. Kita berpikir mempergunakan
bahasa. Kita juga mengetahui apa yang ditangkap orang lain mengenai realitas
melalui bahasa yang mereka pergunakan.

Pada saat yang sama, juga sadar
bahasa yang kita pergunakan banyak mendistorsi kenyataan. Pertama, bisa karena
keterbatasan bahasa itu sendiri. Kedua, karena keterbatasan penguasaan bahasa
si pemakainya. Ketiga, apa yang masuk akal secara tata bahasa sering kali tak
masuk akal di kenyataan.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Coba mampir kembali ke warung
burjo dan memesan ’’soda gembira’’. Susunan frasa itu tentu saja sah secara
tata bahasa. Itu kan semacam kata benda bersanding dengan kata sifat, macam
’’kucing galak’’ atau ’’tas merah’’. Masalahnya, di kenyataan kita bisa
membuktikan kucing galak memang kucing yang perangainya galak. Soda gembira?
Setelah memesan minuman itu, saya tahu itu memang mengandung soda, tapi di
bagian mana ’’gembira’’-nya?

’’Soda gembira’’ tak
menggambarkan soda yang gembira, setidaknya menurut saya. Meskipun begitu, tak
segala hal memang harus masuk akal. Itu pertama. Yang kedua, berdasar
kesepakatan, soda gembira merujuk ke jenis minuman yang secara umum dikenali
sebagai campuran soda, susu, sirup, dan es batu.

Permainan-permainan berbahasa ini
sebetulnya lucu, dan kalau sudah diterima dengan baik sebagai kesepakatan
bersama, tak ada yang akan mempermasalahkannya. Lihat menu-menu makanan yang
semakin hari semakin lucu, seperti sengaja mempermainkan cara berpikir
kebanyakan manusia.

Ada menu coto bernama ’’janda’’
alias ’’jantung dan daging’’. Yang lebih ajaib adalah ketoprak ’’rahasia’’,
yang ternyata ’’tidak diberi tahu’’. Itu tentu permainan antara ’’tahu’’
sebagai makanan dan ’’tahu’’ dalam makna mengerti/paham.

Bagaimana kalau saya pergi ke
suatu restoran dan tiba-tiba saya bilang ke pelayannya, ’’Saya ingin
masturbasi?’’ (padahal itu tak ada di menunya). Si pelayan mungkin pucat pasi
dan menganggap saya gila atau menganggap saya telah melecehkannya. Pemilik
restoran akan memanggil satpam. Padahal, yang saya maksud tak lain dari ’’mi,
nasi, telur, bercampur dalam satu porsi’’.

Saya pernah melihat foto menu
semacam itu dibagikan orang di internet. Tapi jelas, istilah itu belum tentu
dipahami di restoran lain atau oleh pembeli lain.

Baca Juga :  Periodisasi Jabatan dan Ki Ageng Suryomentaram

Sudah lama para pemikir dibikin
gelisah oleh kenyataan betapa logika bahasa sering kali tak nyambung dengan
logika sehari-hari. Urusan menu makanan mungkin tak akan terlalu gawat, tapi
bagaimana jika distorsi makna tersebut terdapat di undang-undang? Di berita
yang dibaca jutaan orang? Di ucapan seorang tokoh?

Pernah ada pembahasan di antara
para filsuf, misalnya, tentang kalimat ’’kotak bulat itu tidak ada’’. Secara
tata bahasa betul, tapi pada kenyataan membingungkan. Kalau ’’kotak bulat’’
memang tak ada, kenapa disebut? Kalau sudah disebut, berarti ada, setidaknya
secara konsep? Tapi, secara konsep pun, memang seperti apa ’’kotak bulat’’?

Salah satu jalan keluar untuk
kebingungan macam begitu, beberapa pemikir mengusulkan agar kita menciptakan
atau mempergunakan bahasa dengan lebih tepat. Artinya, tak ada distorsi. Kalau
kalimat tadi bermasalah, ubah saja kalimatnya menjadi, ’’Tak ada hal yang kotak
sekaligus bulat’’. Benar secara tata bahasa, betul juga dalam kenyataan.
Ngomong-ngomong, jalan keluar semacam itu dikatakan oleh Bertrand Russell.

Masalahnya, memangnya kita mau
tiap masuk ke warung burjo terus bilang, ’’Saya pesan mi, bungkusnya dibuang,
direbus pakai air mendidih, tambahin bawang goreng, dan disajikan di mangkuk’’?
Bisa saja. Banyak restoran menulis menu dengan bahasa positif, dijelaskan demikian
benderang macam: ’’Daging sapi panggang dan saus lada hitam’’.

Bahasa memberi ruang untuk
beragam salah paham. Membuat dunia penyok ke sana kemari. Tapi, bahasa juga
memberi ruang untuk saling mengerti.

Tanpa kehendak saling mengerti,
saya yakin kita akan bertengkar terus dengan pasangan setiap kali kita
bertanya, “Mau apa?” dan jawabnya, “Terserah”, yang ternyata tak benar-benar
terserah. (*)

(EKA KURNIAWAN, Penulis dan
novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016)

Terpopuler

Artikel Terbaru