27.1 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Paspor

Sudah hampir sebulan aku di perantauan. Lima hari lagi aku harus pulang ke kampung halaman.

PERASAANKU berkecamuk. Di satu sisi aku kangen pada tanah air tercinta yang alamnya konon kaya raya dan indah permai. Aku rindu makanan kesukaanku yang tak ada di sini: nasi pecel, rujak cingur, tongseng kambing. Namun, di sisi lain menyelusup sebersit perasaan enggan pulang. Dan perasaan itu kian lama kian kuat.

Orang bilang lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang. Tetapi, bagiku itu hanya omong kosong orang yang tak pernah merasakan kesulitan hidup. Tentu saja lebih baik mendapat hujan emas di luar negeri daripada menjadi cacing melata di tanah air sendiri.

Nasib mujur membawaku terbang ke sini. Aku ditugaskan sebagai asisten Pak Lurah untuk melakukan studi banding pembangunan berkelanjutan di pinggiran kota di negeri asing ini selama sebulan atas biaya sebuah yayasan sosial yang memiliki cita-cita mulia untuk kemakmuran dunia. Desa kami dipilih sebab dianggap berhasil menggali potensi swadaya desa dan bangkit dari kemiskinan.

Kubilang mujur sebab tadinya bukan aku yang mendapatkan rezeki ini. Semula yang akan berangkat adalah Srimulat, staf khusus Pak Lurah yang genit dan suka menjilat. Namun, Bu Lurah murka dan memprotes rencana itu karena cemburu. Akibatnya, Srimulat batal berangkat.

Posisinya lalu digantikan Mas Gibran, kemenakan Bu Lurah yang menjadi staf di kantor desa. Tetapi, enam minggu sebelum berangkat, dia terkena penyakit lumpuh sebelah. Ada yang bilang itu karena guna-guna.

Orang-orang bergujirat bahwa itu penyakit kiriman Srimulat. Aku tak tahu pasti. Yang kutahu, aku ketiban pulung menggantikan Mas Gibran berangkat ke Jerman.

Aku dipilih karena aku bisa sedikit bahasa Inggris meskipun prestasiku biasa-biasa saja sebagai pegawai kecil di kantor desa. Dengan begitu, aku bisa membantu Pak Lurah yang pandai berbicara dan meyakinkan orang, tetapi tidak menguasai bahasa asing.

Aku bersyukur pernah kuliah sastra Inggris meski hanya sampai semester lima lalu terpaksa berhenti karena tak sanggup lagi membayar uang kuliah yang mahal. Untunglah, nasib masih mengasihaniku sehingga aku bisa bekerja di kantor desa.

Di Jerman aku bisa hidup tenang biarpun apa-apa serbamahal. Kebutuhanku tercukupi. Bahkan, aku bisa menabung sedikit-sedikit dengan menyisihkan uang saku. Kerjaku ringan, hanya menemani dan menjadi penerjemah Pak Lurah saat menghadiri seminar atau mengunjungi kantor-kantor pemerintah, LSM, dan desa-desa percontohan yang berhasil mengembangkan ekonomi dan teknologi berwawasan ekologis. Jauh dari kehidupanku di kampung yang serbasulit dan dikejar-kejar penagih utang pinjol yang sadis.

Gara-gara setan pinjol keparat itu aku ditinggalkan istriku yang tak tahan dengan teror para penagih utang dan gunjingan tetangga. Dia membawa anak perempuan kami satu-satunya yang baru berumur sembilan tahun. Tiga bulan lalu mereka pindah ke rumah mertuaku di kampung sebelah.

Sejak awal mereka tak menyetujui anaknya mengawiniku yang dianggap bermasa depan suram karena berasal dari keluarga miskin dan bergaji pas-pasan.

Ya, harus kuakui sejujurnya aku memang bersalah. Aku kecanduan judi dan akhirnya terseret lingkaran setan pinjol. Awalnya judi online itu mengasyikkan. Semacam kesenangan kecil rakyat jelata di tengah kebosanan dan kesulitan hidup. Serupa permainan pengisi waktu senggang yang menjanjikan harapan dan keuntungan.

Setelah pada awalnya kerap mendapat kemenangan kecil, aku lalu mengalami kekalahan demi kekalahan yang justru bikin makin penasaran. Aku terpaksa mulai berutang kiri-kanan untuk mendapatkan uang depo buat taruhan judol.

Lama-kelamaan aku terjerat pinjol yang bunganya makin membengkak dan tak terkejar. Gajiku yang tak seberapa tersedot untuk membayar utang yang tak kunjung lunas. Ujungnya, kacaulah rumah tanggaku yang sebelumnya memang sudah goyah.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Aku enggan meninggalkan kehidupan yang nyaman di rantau untuk kembali pada kenyataan hidup di kampung yang rungkad. Meski jika aku melarikan diri hidupku belum tentu bahagia selamanya, setidak-tidaknya aku tak akan lagi dikejar-kejar oleh setan pinjol dan para bedebah debt collector yang bengis.

Namun, bagaimana caranya agar aku bisa tetap tinggal di sini? Apakah tidak berbahaya jika aku melarikan diri? Bagaimana jika aku tak bisa pulang ke tanah air seumur hidup? Bagaimana jika aku berakhir menjadi gelandangan kotor dan bau badan seperti orang-orang menyedihkan yang kerap kulihat kelayapan di sekitar taman dan halte bus di Bismarckplatz? Bagaimana jika aku sampai hidup keleleran sebagai pelarian dan mati kedinginan di musim salju?

Ah, tapi terkadang kupikir mati masih lebih baik ketimbang hidup susah seumur-umur dikejar utang!

Dalam kekalutan, aku berupaya mencari jalan keluar.

Syukurlah, akhirnya jalan itu kutemukan lewat Dulhumut saat kami bertemu di taman dekat halte trem Seegarten tiga hari sebelum jadwal kepulanganku.

Aku berkenalan dengan lelaki ganjil yang lima tahun lebih tua dariku itu secara tak sengaja. Saat itu aku disuruh Pak Lurah membeli persediaan mi instan di toko bahan makanan Asia dekat Hauptbanhof.

Saat aku hendak membayar di kasir, kulihat sosok lelaki berkulit gelap dan berambut keriting di depanku seperti kebingungan. Tampaknya dia juga hendak membeli mi instan buatan Indonesia sepertiku. Kutanya dia dengan bahasa Inggris asal bunyi, ”What’s up, bro?”

Dia menatap kaget wajah kampunganku lalu kemeja batik lusuh yang kukenakan. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah balik bertanya dalam bahasa Indonesia logat Lamongan, ”Sampean orang Indonesia, ya, Mas?”

Kami bersalaman dan berkenalan. Dia rupanya tidak dapat menemukan dompetnya. Entah ketinggalan atau kecopetan. Aku jatuh iba. Sesama perantau harus saling menolong. Kubayari belanjaannya yang tak lebih dari 5 euro; sekitar 80 ribu rupiah. Sejak itu kami pun berkawan baik.

Setelah kami akrab, kuketahui Dulhumut seorang imigran gelap. Kini dia bekerja dan tinggal di sebuah restoran milik orang Iran di Bergheimer Strasse. Dia memintaku merahasiakan soal itu.

Kadang-kadang kami bertemu di taman atau aku mendatangi restoran tempat dia bekerja setelah jam tutup. Dulhumut menjadi salah satu alasan aku betah berada di Jerman. Aku merasa menemukan kawan senasib tempat aku bisa mencurahkan isi hati tanpa takut atau malu.

Dulhumut orang susah sepertiku. Tapi pengalamannya banyak. Dia pernah bekerja di kapal dan mengembara keliling dunia sebelum akhirnya terdampar di Jerman. Sudah setahun dia tinggal di sini dan selamat dari razia polizei yang sering begitu garang terhadap para imigran berkulit gelap.

Orangnya jenaka, suka bercanda, dan cengengesan. Dalam segala keterbatasan hidup, dia selalu bisa menemukan sisi terang dan kelucuan. Meskipun tampak bodoh, sebetulnya dia banyak akal.

Dari Dulhumut aku mendapatkan cara untuk melarikan diri. Menurutnya, aku harus melenyapkan pasporku agar identitasku tidak diketahui. Jika tak ada paspor, identitas kita akan kabur dan susah dideportasi. Lalu, aku harus bersembunyi dari pantauan polisi. Kalau mujur, mungkin nanti akan datang peluang untuk mendapatkan suaka dan diakui sebagai warga.

Dulhumut bilang dulu ada kawannya pengungsi dari Syria yang akhirnya berhasil mendapat suaka di Jerman dengan cara seperti itu. Dia juga berjanji membantuku mendapat pekerjaan di restoran Iran tempat dia bekerja atau di kedai buah punya orang Palestina.

”Sesama manusia harus saling membantu. Apalagi kita ini sama-sama orang susah di negeri asing,” kata Dulhumut. ”Pokoknya kamu jangan khawatir. Pasrah saja dan berdoa,” sambung dia lagi setelah mengisap rokok lintingnya dalam-dalam.

Baca Juga :  Sajak Ilhamdi Putra

Harga rokok di Jerman mahal sekali. Jadi Dulhumut lebih suka merokok tembakau lintingan. Aku sendiri sudah lama berhenti merokok.

”Lalu pasporku harus kuapakan?” tanyaku seraya menatap nanar air mancur di taman.

Bunga-bunga aneka warna yang tak kuketahui namanya di taman ini sesungguhnya begitu indah pada akhir musim semi seperti ini. Namun, kegundahan hatiku menghalangi pandanganku atas semua keindahan itu. Kata guru bahasa Inggrisku di SMA dulu, keindahan itu terletak pada mata orang yang memandang. Jika suatu keindahan yang hakiki tidak dapat dinikmati, yang salah orangnya, bukan bendanya.

”Bakar saja atau sobek-sobek, terus buang ke WC. Pokoknya jangan sampai tersisa!” sahut Dulhumut.

Sebetulnya berat bagiku jika harus menghancurkan pasporku. Meski paspor Indonesia termasuk paling lemah di Asia Tenggara sehingga aku terpaksa harus mengurus visa Schengen ke Jerman yang persyaratannya berat dan rumit, bagiku paspor adalah pengakuan resmi tertinggi atas identitas jati diriku sebagai manusia terhormat di muka bumi. Lagi pula, paspor itu kudapatkan dengan susah payah lewat proses merepotkan yang berbelit-belit.

Seumur hidupku yang hampir genap 40 tahun, baru sekali inilah aku punya paspor sehingga bisa pergi ke luar negeri. Paspor jauh lebih istimewa daripada KTP. Tidak semua orang bisa memiliki paspor.

Sejak pertemuan terakhir dengan Dulhumut, aku selalu terngiang kata-katanya. Menurutku, menyobek paspor dan membuangnya ke WC lebih aman ketimbang membakarnya. Di negeri ini tidak mudah membakar sesuatu. Harus ada izin resmi. Tidak seperti di kampungku yang bisa bebas membakar sampah di belakang rumah kapan saja aku mau.

Setelah bergulat dengan segala pertimbangan dan harapan, pada pagi terakhir di Jerman aku membulatkan tekad membuang pasporku.

Di dalam toilet apartemen sederhana kami di Dilsberg, dengan menguatkan hati kusobek pasporku menjadi serpihan-serpihan kecil. Lalu kubuang semua serpihan itu ke dalam WC. Mengambang seperti kotoran.

Kurapatkan penutup WC. Jariku memijit tombol pembilas. Terdengar suara gemuruh air.

Namun, ternyata masih ada beberapa serpihan kertas tersisa di dalam air. Kupijit lagi tombol pembilas. Eh, rupanya masih ada juga yang mengambang.

Sekali lagi kutekan tombol pembilas. Kali ini lebih keras. Air berpusar dengan suara kencang. Lalu senyap. Tetapi, saat kutengok, masih ada seserpih kertas di sana. Kulihat sebelah mataku yang kuyu pada sobekan foto paspor. Mata itu seakan-akan menatapku penuh dakwaan.

Saat hendak memencet lagi tombol pembilas, kudengar suara bergema di kepalaku, ”Mau lari ke mana, Pengecut?”

Aku terpana dan ngeri. Suara apakah itu? Tampaknya itu berasal dari mata yang mengambang di dalam air.

Kuambil sikat gigi. Dengan ujung gagangnya kubalikkan serpihan foto itu. Kini mata itu tak terlihat lagi olehku. Untunglah. Lega rasanya. Mata itu tak lagi menerorku. Aku bersyukur di dalam hati. Tuhan sungguh Maha Pengasih.

Namun, lamat-lamat kudengar suara rintihan di dalam kepala. Ah, bukan. Itu makian! Tapi aku tak peduli.

Kupijit lagi tombol pembilas. Lalu, kulongokkan kepala ke lubang WC. Meneliti. Kali ini tiada lagi yang tersisa. Kubuka pintu toilet. Aku melangkah keluar dengan penuh kemenangan. (*)

Heidelberg–Dilsberg–Jakarta, Juli–September 2024

ANTON KURNIA , Menulis cerpen, novel, dan esai serta menerjemahkan karya sastra asing ke bahasa Indonesia. Kini dia bertugas sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan direktur Jakarta International Literary Festival (JILF).

Sudah hampir sebulan aku di perantauan. Lima hari lagi aku harus pulang ke kampung halaman.

PERASAANKU berkecamuk. Di satu sisi aku kangen pada tanah air tercinta yang alamnya konon kaya raya dan indah permai. Aku rindu makanan kesukaanku yang tak ada di sini: nasi pecel, rujak cingur, tongseng kambing. Namun, di sisi lain menyelusup sebersit perasaan enggan pulang. Dan perasaan itu kian lama kian kuat.

Orang bilang lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang. Tetapi, bagiku itu hanya omong kosong orang yang tak pernah merasakan kesulitan hidup. Tentu saja lebih baik mendapat hujan emas di luar negeri daripada menjadi cacing melata di tanah air sendiri.

Nasib mujur membawaku terbang ke sini. Aku ditugaskan sebagai asisten Pak Lurah untuk melakukan studi banding pembangunan berkelanjutan di pinggiran kota di negeri asing ini selama sebulan atas biaya sebuah yayasan sosial yang memiliki cita-cita mulia untuk kemakmuran dunia. Desa kami dipilih sebab dianggap berhasil menggali potensi swadaya desa dan bangkit dari kemiskinan.

Kubilang mujur sebab tadinya bukan aku yang mendapatkan rezeki ini. Semula yang akan berangkat adalah Srimulat, staf khusus Pak Lurah yang genit dan suka menjilat. Namun, Bu Lurah murka dan memprotes rencana itu karena cemburu. Akibatnya, Srimulat batal berangkat.

Posisinya lalu digantikan Mas Gibran, kemenakan Bu Lurah yang menjadi staf di kantor desa. Tetapi, enam minggu sebelum berangkat, dia terkena penyakit lumpuh sebelah. Ada yang bilang itu karena guna-guna.

Orang-orang bergujirat bahwa itu penyakit kiriman Srimulat. Aku tak tahu pasti. Yang kutahu, aku ketiban pulung menggantikan Mas Gibran berangkat ke Jerman.

Aku dipilih karena aku bisa sedikit bahasa Inggris meskipun prestasiku biasa-biasa saja sebagai pegawai kecil di kantor desa. Dengan begitu, aku bisa membantu Pak Lurah yang pandai berbicara dan meyakinkan orang, tetapi tidak menguasai bahasa asing.

Aku bersyukur pernah kuliah sastra Inggris meski hanya sampai semester lima lalu terpaksa berhenti karena tak sanggup lagi membayar uang kuliah yang mahal. Untunglah, nasib masih mengasihaniku sehingga aku bisa bekerja di kantor desa.

Di Jerman aku bisa hidup tenang biarpun apa-apa serbamahal. Kebutuhanku tercukupi. Bahkan, aku bisa menabung sedikit-sedikit dengan menyisihkan uang saku. Kerjaku ringan, hanya menemani dan menjadi penerjemah Pak Lurah saat menghadiri seminar atau mengunjungi kantor-kantor pemerintah, LSM, dan desa-desa percontohan yang berhasil mengembangkan ekonomi dan teknologi berwawasan ekologis. Jauh dari kehidupanku di kampung yang serbasulit dan dikejar-kejar penagih utang pinjol yang sadis.

Gara-gara setan pinjol keparat itu aku ditinggalkan istriku yang tak tahan dengan teror para penagih utang dan gunjingan tetangga. Dia membawa anak perempuan kami satu-satunya yang baru berumur sembilan tahun. Tiga bulan lalu mereka pindah ke rumah mertuaku di kampung sebelah.

Sejak awal mereka tak menyetujui anaknya mengawiniku yang dianggap bermasa depan suram karena berasal dari keluarga miskin dan bergaji pas-pasan.

Ya, harus kuakui sejujurnya aku memang bersalah. Aku kecanduan judi dan akhirnya terseret lingkaran setan pinjol. Awalnya judi online itu mengasyikkan. Semacam kesenangan kecil rakyat jelata di tengah kebosanan dan kesulitan hidup. Serupa permainan pengisi waktu senggang yang menjanjikan harapan dan keuntungan.

Setelah pada awalnya kerap mendapat kemenangan kecil, aku lalu mengalami kekalahan demi kekalahan yang justru bikin makin penasaran. Aku terpaksa mulai berutang kiri-kanan untuk mendapatkan uang depo buat taruhan judol.

Lama-kelamaan aku terjerat pinjol yang bunganya makin membengkak dan tak terkejar. Gajiku yang tak seberapa tersedot untuk membayar utang yang tak kunjung lunas. Ujungnya, kacaulah rumah tanggaku yang sebelumnya memang sudah goyah.

Baca Juga :  Sajak Dadang Ari Murtono

Aku enggan meninggalkan kehidupan yang nyaman di rantau untuk kembali pada kenyataan hidup di kampung yang rungkad. Meski jika aku melarikan diri hidupku belum tentu bahagia selamanya, setidak-tidaknya aku tak akan lagi dikejar-kejar oleh setan pinjol dan para bedebah debt collector yang bengis.

Namun, bagaimana caranya agar aku bisa tetap tinggal di sini? Apakah tidak berbahaya jika aku melarikan diri? Bagaimana jika aku tak bisa pulang ke tanah air seumur hidup? Bagaimana jika aku berakhir menjadi gelandangan kotor dan bau badan seperti orang-orang menyedihkan yang kerap kulihat kelayapan di sekitar taman dan halte bus di Bismarckplatz? Bagaimana jika aku sampai hidup keleleran sebagai pelarian dan mati kedinginan di musim salju?

Ah, tapi terkadang kupikir mati masih lebih baik ketimbang hidup susah seumur-umur dikejar utang!

Dalam kekalutan, aku berupaya mencari jalan keluar.

Syukurlah, akhirnya jalan itu kutemukan lewat Dulhumut saat kami bertemu di taman dekat halte trem Seegarten tiga hari sebelum jadwal kepulanganku.

Aku berkenalan dengan lelaki ganjil yang lima tahun lebih tua dariku itu secara tak sengaja. Saat itu aku disuruh Pak Lurah membeli persediaan mi instan di toko bahan makanan Asia dekat Hauptbanhof.

Saat aku hendak membayar di kasir, kulihat sosok lelaki berkulit gelap dan berambut keriting di depanku seperti kebingungan. Tampaknya dia juga hendak membeli mi instan buatan Indonesia sepertiku. Kutanya dia dengan bahasa Inggris asal bunyi, ”What’s up, bro?”

Dia menatap kaget wajah kampunganku lalu kemeja batik lusuh yang kukenakan. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah balik bertanya dalam bahasa Indonesia logat Lamongan, ”Sampean orang Indonesia, ya, Mas?”

Kami bersalaman dan berkenalan. Dia rupanya tidak dapat menemukan dompetnya. Entah ketinggalan atau kecopetan. Aku jatuh iba. Sesama perantau harus saling menolong. Kubayari belanjaannya yang tak lebih dari 5 euro; sekitar 80 ribu rupiah. Sejak itu kami pun berkawan baik.

Setelah kami akrab, kuketahui Dulhumut seorang imigran gelap. Kini dia bekerja dan tinggal di sebuah restoran milik orang Iran di Bergheimer Strasse. Dia memintaku merahasiakan soal itu.

Kadang-kadang kami bertemu di taman atau aku mendatangi restoran tempat dia bekerja setelah jam tutup. Dulhumut menjadi salah satu alasan aku betah berada di Jerman. Aku merasa menemukan kawan senasib tempat aku bisa mencurahkan isi hati tanpa takut atau malu.

Dulhumut orang susah sepertiku. Tapi pengalamannya banyak. Dia pernah bekerja di kapal dan mengembara keliling dunia sebelum akhirnya terdampar di Jerman. Sudah setahun dia tinggal di sini dan selamat dari razia polizei yang sering begitu garang terhadap para imigran berkulit gelap.

Orangnya jenaka, suka bercanda, dan cengengesan. Dalam segala keterbatasan hidup, dia selalu bisa menemukan sisi terang dan kelucuan. Meskipun tampak bodoh, sebetulnya dia banyak akal.

Dari Dulhumut aku mendapatkan cara untuk melarikan diri. Menurutnya, aku harus melenyapkan pasporku agar identitasku tidak diketahui. Jika tak ada paspor, identitas kita akan kabur dan susah dideportasi. Lalu, aku harus bersembunyi dari pantauan polisi. Kalau mujur, mungkin nanti akan datang peluang untuk mendapatkan suaka dan diakui sebagai warga.

Dulhumut bilang dulu ada kawannya pengungsi dari Syria yang akhirnya berhasil mendapat suaka di Jerman dengan cara seperti itu. Dia juga berjanji membantuku mendapat pekerjaan di restoran Iran tempat dia bekerja atau di kedai buah punya orang Palestina.

”Sesama manusia harus saling membantu. Apalagi kita ini sama-sama orang susah di negeri asing,” kata Dulhumut. ”Pokoknya kamu jangan khawatir. Pasrah saja dan berdoa,” sambung dia lagi setelah mengisap rokok lintingnya dalam-dalam.

Baca Juga :  Sajak Ilhamdi Putra

Harga rokok di Jerman mahal sekali. Jadi Dulhumut lebih suka merokok tembakau lintingan. Aku sendiri sudah lama berhenti merokok.

”Lalu pasporku harus kuapakan?” tanyaku seraya menatap nanar air mancur di taman.

Bunga-bunga aneka warna yang tak kuketahui namanya di taman ini sesungguhnya begitu indah pada akhir musim semi seperti ini. Namun, kegundahan hatiku menghalangi pandanganku atas semua keindahan itu. Kata guru bahasa Inggrisku di SMA dulu, keindahan itu terletak pada mata orang yang memandang. Jika suatu keindahan yang hakiki tidak dapat dinikmati, yang salah orangnya, bukan bendanya.

”Bakar saja atau sobek-sobek, terus buang ke WC. Pokoknya jangan sampai tersisa!” sahut Dulhumut.

Sebetulnya berat bagiku jika harus menghancurkan pasporku. Meski paspor Indonesia termasuk paling lemah di Asia Tenggara sehingga aku terpaksa harus mengurus visa Schengen ke Jerman yang persyaratannya berat dan rumit, bagiku paspor adalah pengakuan resmi tertinggi atas identitas jati diriku sebagai manusia terhormat di muka bumi. Lagi pula, paspor itu kudapatkan dengan susah payah lewat proses merepotkan yang berbelit-belit.

Seumur hidupku yang hampir genap 40 tahun, baru sekali inilah aku punya paspor sehingga bisa pergi ke luar negeri. Paspor jauh lebih istimewa daripada KTP. Tidak semua orang bisa memiliki paspor.

Sejak pertemuan terakhir dengan Dulhumut, aku selalu terngiang kata-katanya. Menurutku, menyobek paspor dan membuangnya ke WC lebih aman ketimbang membakarnya. Di negeri ini tidak mudah membakar sesuatu. Harus ada izin resmi. Tidak seperti di kampungku yang bisa bebas membakar sampah di belakang rumah kapan saja aku mau.

Setelah bergulat dengan segala pertimbangan dan harapan, pada pagi terakhir di Jerman aku membulatkan tekad membuang pasporku.

Di dalam toilet apartemen sederhana kami di Dilsberg, dengan menguatkan hati kusobek pasporku menjadi serpihan-serpihan kecil. Lalu kubuang semua serpihan itu ke dalam WC. Mengambang seperti kotoran.

Kurapatkan penutup WC. Jariku memijit tombol pembilas. Terdengar suara gemuruh air.

Namun, ternyata masih ada beberapa serpihan kertas tersisa di dalam air. Kupijit lagi tombol pembilas. Eh, rupanya masih ada juga yang mengambang.

Sekali lagi kutekan tombol pembilas. Kali ini lebih keras. Air berpusar dengan suara kencang. Lalu senyap. Tetapi, saat kutengok, masih ada seserpih kertas di sana. Kulihat sebelah mataku yang kuyu pada sobekan foto paspor. Mata itu seakan-akan menatapku penuh dakwaan.

Saat hendak memencet lagi tombol pembilas, kudengar suara bergema di kepalaku, ”Mau lari ke mana, Pengecut?”

Aku terpana dan ngeri. Suara apakah itu? Tampaknya itu berasal dari mata yang mengambang di dalam air.

Kuambil sikat gigi. Dengan ujung gagangnya kubalikkan serpihan foto itu. Kini mata itu tak terlihat lagi olehku. Untunglah. Lega rasanya. Mata itu tak lagi menerorku. Aku bersyukur di dalam hati. Tuhan sungguh Maha Pengasih.

Namun, lamat-lamat kudengar suara rintihan di dalam kepala. Ah, bukan. Itu makian! Tapi aku tak peduli.

Kupijit lagi tombol pembilas. Lalu, kulongokkan kepala ke lubang WC. Meneliti. Kali ini tiada lagi yang tersisa. Kubuka pintu toilet. Aku melangkah keluar dengan penuh kemenangan. (*)

Heidelberg–Dilsberg–Jakarta, Juli–September 2024

ANTON KURNIA , Menulis cerpen, novel, dan esai serta menerjemahkan karya sastra asing ke bahasa Indonesia. Kini dia bertugas sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan direktur Jakarta International Literary Festival (JILF).

Terpopuler

Artikel Terbaru