Aku bersumpah tak akan memelihara kucing lagi semenjak harus berpindah-pindah tempat demi mengikuti hasrat cinta ibuku. Pupu, kucing terakhir yang kupelihara, terpaksa kutinggal di sebelah bak sampah pasar, tempat tikus-tikus sebesar garangan memperebutkan kepala tuna yang digerayangi belatung lapar.
KARENA itu pula, aku menolak tahu nama-nama teman sekelasku, tak mau sapa-disapa mereka, sebagaimana aku tak peduli pada setiap kucing jelata dengan mata memelas meminta pindang di pinggir jalan. Kelak, jika aku harus berpisah dengan mereka –kucing atau manusia– aku takkan terluka.
Dulu, sebelum kami tinggal di Kota Labubu, ibuku seperti Hera, sang Dewi Agung, yang menahbiskan dirinya untuk bersetia kepada Zeus. Kubaca kisah itu di perpus sekolahku yang berdebu.
Seperti Hera, ibuku menaut-tangkupkan kebahagiaannya kepada seorang lelaki, yaitu ayahku. Ketika kami masih tinggal satu atap, ibuku kerap memasak kerang bercangkang dan bebek bumbu hitam, yang memang disukai ayahku.
Kata ibu, ia bahagia jika ayah senang, tak peduli aku muntah atau kulitku bentol-bentol jika makan masakan itu. Karena itu, aku lebih memilih makan roti tawar saja di sebelah Pupu yang melahap biskuit kucingnya.
Bencana menubruk kami ketika ayah menikah siri dengan anak magang di kantornya yang masih berusia sembilan belas. Seharusnya ibu tak perlu tahu, tetapi aku terlalu lugu, mengaku melihat mobil ayah di depan rumah petak dekat danau.
Padahal hari itu ayah izin dinas luar. Dengan masih berdaster merah dan rambut awut-awutan, ibuku menyambar kunci mobil. Ia memacu mobil kami secepat pegasus yang kesurupan arwah Medusa.
Sampai di sana, ibu menemukan ayah masih bersarung tenun di dalam kamar yang beraroma peluh dan sisa-sisa cairan persetubuhan, sementara si cewek baru saja keluar kamar mandi dengan selembar handuk ungu.
Bukannya murka kepada ayah, ibu menyeret si cewek keluar indekos. Ia campakkan handuk ungu si cewek ke jalanan, menjambak rambutnya yang ikal, lantas menghadiahi wajah si cewek dengan cakaran tajam.
Melihat itu, ayahku langsung memisahkan keduanya, memeluk si cewek, menyelimutinya dengan sarung tenunnya, menghiburnya agar tabah, lantas mendorong ibu hingga ia menghantam pohon kesemek di pekarangan.
Dengan tergesa –karena melihat orang-orang kampung mulai berdatangan– ayah melarikan si cewek dengan mobil, sementara ibu masih meraung-raung di halaman.
Esok pagi, baru ayah pulang ke rumah, dan ibu menyajikan kerang bercangkang dan bebek bumbu hitam. Ayah terlihat kacau: bajunya kusut dan rambutnya sesemakan liar, tetapi ibu menyambut ayah seolah ia hanya pulang dari kenduri di tetangga sebelah.
Ayah mengabaikan ibu, masuk kamar, dan mengepak baju-bajunya dalam tas. Ia bergegas keluar rumah, sementara ibu memohon-mohon agar ayah tetap tinggal. Sebulan kemudian, ibu menerima pesan di ponselnya kalau ayah telah menceraikan ibu secara agama.
Ibuku dihantam duka. Selama beberapa hari, ia enggan makan, dan aku hanya mengudap roti tawar. Di hari ketujuh, ibuku membuka pintu kamarku dan berkata, ia telah tahu siapa cewek sundal itu. Entah dengan cara apa, ibu berhasil mengorek-ngorek informasi tentang si cewek. Ibu bilang jika ia benar-benar perempuan rendahan.
Pendidikannya saja hanya sampai SMA, tidak seperti ibu yang sarjana. Ia dari keluarga miskin yang tinggal di pinggir sungai, dan karena itu pasti tingkahnya kampungan.
Dan saat ini, rupanya ia dan ayah pindah ke Kota Labubu dan tinggal di sebuah kontrakan. Karena itu, ibu mengajakku pindah ke Kota Labubu. Bersebab itu aku harus meninggalkan Pupu di bak sampah pasar beserta tikus dan belatung lapar.
Di rumah baru kami yang kecil dan berbau jamur, ibu tetap memasak kerang bercangkang dan bebek bumbu hitam. ”Jaga-jaga jika ayah datang,” kata ibu. Seandainya jadi ibu, aku akan masak penganan kesukaanku sendiri, peduli iblis kesukaan orang lain.
Tapi aku bukan ibu, dan karena itu aku mengunyah roti tawar tanpa isian sambil berangkat sekolah. Baru makan setengah, perutku sudah mual.
Ketika melintasi gang sempit bau amoniak dekat sekolah, seekor kucing putih bertampang kriminal –dahinya terlintangi codet dan tubuhnya kotor– menatapku tajam. Aku mengabaikannya, tetapi ia malah menerkam kaki kiriku yang tak tertutup kaus kaki.
Refleks, aku mengibaskan kaki sambil memakinya, ”Anjing!” Bukannya lari, ia menggeram di jalan sambil menatap rotiku. Aku tahu si kucing yang anjing itu lapar, tetapi pandangannya mengingatkanku pada pandangan ibu kepada ayah: lapar kasih sayangnya. Kulemparkan roti tawar itu ke comberan, mencibir kepada si kucing, dan lanjut melangkah ke sekolah.
Pulang dari sekolah dan hendak masuk rumah, aku melihat ibu juga baru sampai entah dari entah. Ia turun dari mobilnya dengan wajah semringah. Tanpa kutanya, ibu bercerita kalau ia baru saja dari ketua RT tempat ayahku tinggal.
Di sana ibu bercerita panjang lebar kalau si cewek yang tinggal dengan ayah adalah penganut aliran sesat pemuja setan. Perempuan iblis itu berencana mencari pengikut dari para tetangga, dan mungkin salah seorangnya akan dijadikan tumbal pesugihan.
Keesokan harinya, kulihat wajah ibu yang baru keluar kamar tampak seperti kembang sesaji yang baru disebar di latar: cerah merona. Ia mengabarkan bahwa keduanya –ayah dan si cewek jalang– telah diusir dari kontrakan, dan itu berarti, kata ibu, tak lama lagi ayah akan kembali kepada kami.
Tapi tentu saja ayah tak kembali. Malah kami yang akhirnya pindah lagi setelah ibu memungut informasi di mana ayah dan gundiknya tinggal. ”Mereka tinggal di Kota Saiba, dua jam dari sini.
Ibu sudah menyewa rumah dekat tempat tinggal mereka,” ujar ibu dengan mata berkilatan penuh amarah. Bukannya terpuruk dan lemah seperti Dementer atau Persephone, bisa kulihat ibu menjelma Hera yang tersulut dendam.
Setelah itu, kembali ibu memaki-maki si cewek dengan berbagai nama spesies binatang melata, tetapi tak sekali pun mencaci ayah. Ayah tetap sesuci Zeus, sang Dewa Agung. Padahal dosa itu seharusnya sepenuhnya melumuri kedua belah tangan ayah.
Tak lama kami pun pindah ke kontrakan baru di Kota Saiba. Lagi-lagi ibu sering masak bebek hitam dan kerang bercangkang seolah-olah nanti siang ayah akan datang.
Dan aku juga tak peduli selama ada roti tawar untuk menjejali lambungku. Anehnya, ketika aku berjalan ke sekolah baruku, di tepian parit berbau bacin, lagi-lagi kutemu si kucing yang anjing itu.
Pandangannya lagi-lagi menusuk punggungku. Aku menoleh, lantas kulempar roti itu ke parit. Bedanya, kali ini ia melompat ke udara, menyambar roti itu, tetapi malah tergelincir masuk parit.
Sambil menyumpahi betapa dungunya ia, kusambar si kucing yang basah kuyup itu dari dalam parit dan melemparnya ke atas rerumputan. Dan itu benar-benar sial, karena tanganku jadi bau anyir yang tak juga hilang walau kugosok dengan tanah dan air. Benar-benar anjing si kucing itu!
Siangnya, saat aku pulang, kulihat ibu sedang duduk di meja makan sambil menatap ponsel. Ia senyum-senyum sendiri. ”Aku ceritakan betapa bejatnya kelakuan cewek tolol itu di TikTok dan sekarang FYP,” kata ibu, dan bisa kulihat foto si cewek yang burik di layar, bersebelahan dengan foto kami sekeluarga.
Wajah ayah dihitam-hitamkan, sedangkan wajah si cewek tampak dengan jelas –tanpa riasan dan berjerawat– sama terang benderangnya dengan fotoku dan ibu –tentu saja tampak mulus diampelas filter.
Bisa kulihat ribuan komentar bertengger di sana. Melepeh berlian demi secirit tahi adalah komen teratas yang kubaca dengan mual.
”Kau lapar? Ibu masak kerang dan bebek.”
Aku tak menjawab, hanya menyambar selembar roti tawar.
Ponselku malam itu berdenting-denting. Pesan dari teman-teman sekolah lamaku masuk bertubi-tubi.
”Itu ayahmu kan yang lagi viral?” tanya Salima. ”Dasar pelacur busuk cewek itu,” kata Rubi. Dan masih ada ratusan sumpah serapah lain. Maka, kublokir semua nomor mereka dan menghapuskannya dari daftar nama.
Entah sudah berembus sampai mana berita itu, tetapi aku merasa setiap orang yang berpapasan denganku seakan memelototiku dari tepi kuncir sampai ujung sepatu. Karena itu, aku hanya berjalan dan menatap satu titik kabur di depan.
Sekonyong-konyong kulihat seorang lelaki di ujung gang pesing yang hendak kulintasi. Ketika semakin dekat dengannya, aku bisa mengenali itu ayah. Ia menatapku sedih.
”Abaikan berita viral itu, ya?”
Aku hendak bilang pergi saja ke tartarus, tetapi aku diam saja. Ayah mendekatiku, menepuk bahuku, dan menyelipkan lembaran uang di sakuku.
”Ibumu gila, tetapi ayah takkan menyalahkanmu,” katanya dan aku berharap Sisifus melindasnya dengan batu raksasa.
”Aku tahu kamu mungkin marah dengan ayah. Tetapi pernikahan adalah hal yang rumit. Kelak jika sudah dewasa kau akan mengerti.” Mendengar itu, aku bersumpah tak ingin menjadi dewasa.
Ketika aku sampai rumah, ibu sudah menungguku. Tak seperti hari kemarin, kali ini wajahnya badai.
”Ayah meminta hak asuh untukmu,” ujar ibu dengan bergetar.
”Dia tetap ingin bercerai. Tetapi meminta dirimu. Bukan aku,” ujar ibu lagi.
”Jadi nanti kau tinggal dengannya. Jadi nanti kalian bahagia. Tapi aku sendiri. Aku tak ingin dia bahagia. Seharusnya dia menderita sama denganku,” ujar ibu lagi dengan suara serak, tapi kali ini dengan menempelkan pisau buah di leherku.
Aku teringat cerita tentang Medeia yang membunuh anak-anaknya demi membalas dendam kepada suaminya, dan mungkin ibu sedang kesurupan dewi itu. Aku diam saja dan menunggu pisau itu memotong urat nadiku karena kupikir itu lebih baik sebab aku sudah bosan makan roti.
Namun, tiba-tiba kudengar suara ngeongan dari luar rumah. Suara itu semakin bingar dan bisa kurasakan tangan ibu menjadi goyah. Pisau itu jatuh berdenting di lantai dan ibu pun jatuh terduduk dan meraung.
Suara kucing itu semakin nyaring saja dan aku melangkah keluar. Di depan teras, kulihat si anjing menatapku dengan matanya yang bajingan. Ia lantas membungkuk dan meletakkan seekor kadal gemuk berwarna hijau di atas keset welcome. Setelah itu, ia berbalik dan meloncat ke sesemakan. Kali ini, aku benar-benar lapar. (*)
tartarus: neraka dalam legenda Yunani kuno
SASTI GOTAMA, Lahir di Malang dan baru saja menerima Anugerah Sabda Budaya 2024. Buku terbarunya yang terbit tahun ini adalah Gajah Terakhir di Bukit Kupu-Kupu dan Ingatan Ikan-Ikan.