Puisi-puisi Nanda Alifya Rahmah
tidak berpretensi sebagai perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya berbicara
tentang perempuan.
—————
AKAN lebih mudah membicarakan puisi dari penyair perempuan dalam
bingkai keperempuanan, bagaimana pengalaman penyair sebagai perempuan membentuk
puisi.
Menjadi semakin sulit untuk
menahan godaan tersebut apabila puisi juga menampakkan kecenderungan ke arah
tersebut, seperti tampak dalam petikan puisi ’’Laila Bekerja’’ berikut: //…tapi
kini bahasa dan laki-laki, bahasa laki-laki, wahai kegelapan, bertambah tebal
seperti tembok kota yang selalu kesepian: mencakar langit// (halaman 46).
Pembaca yang bebal membaca puisi
pun dapat menangkap dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang
opresif pada perempuan melalui bahasa sebagai simbol kuasa yang membungkam
perempuan, napas yang sama dengan tradisi ecriture feminine.
Begitu pula motif tubuh yang
merupakan bahan mentah dalam membentuk imaji dalam puisi: mengganti kulit
hitamku dengan gambar malaikat yang terluka (halaman 43). Kiasan tersebut
berasal dari puisi ’’Perempuan di Jari-Jari Tanganku’’. Sederhana, namun kuat.
Hitam dan terluka. Kita dapat mengorelasikannya dengan realitas aktual tentang
stereotipe kecantikan perempuan.
Tapi, benarkah antologi yang
terdiri atas 66 puisi ini merupakan perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya
berbicara tentang perempuan?
Saya kira bukan itu yang ingin
dituju. Dikotomi laki-laki dan perempuan dalam antologi ini bukan berbicara
pemisahan dan relasi kuasa, bukan pula gender empowerment. Pada puisi ’’Laila
Bekerja’’, Nanda menulis, ’’seorang laki-laki yang menolak tua meracik warna
kabut dalam puisiku’’.
Tidak kita dapati penjelasan
warna yang dimiliki kabut dalam puisi. Namun, dapat kita tangkap penerimaan
terhadap sebuah kondisi tentang relasi seksualitas.
Tradisi ecriture feminine
berbicara tentang perebutan phallus melalui bahasa, sebuah hal yang sebenarnya
tidak kita dapati dalam puisi Nanda. Akulirik dalam puisi berbicara tentang
subjek yang mengalami dan memaknai konstruksi identitas tanpa pretensi
menghadirkan wacana gender.
Dalam antologi Yang Tersisa dari
Amuk Api berserakan tema-tema keterasingan, luka, dan kehancuran subjek.
’’Biarkan diriku menenggelamkan diri dalam air, menjelma kertas larut- hancur’’
(’’Di Sebuah Kampung’’) atau ’’jiwaku tak berjalan, angkasa tak berlantai’’
(’’Menyelami Ruang Kosong’’) merupakan abstraksi atas tema utama puisi juga
berkaitan dengan subjek dalam tradisi romantik.
Kedua penggalan puisi merupakan
pola imaji berkaitan dengan kesadaran subjek dalam kumpulan puisi Yang Tersisa
dari Amuk Api. Kesadaran subjek dalam puisi dibentuk melalui kesejajaran
posisional dalam teks antara subjek dan benda.
Subjek dan benda dalam memiliki
kesadaran. Kesadaran kertas adalah untuk larut dalam air, subjek yang merujuk
pada benda mengambil alih kesadaran benda.
Strategi naratif tersebut
merupakan logika teks tentang penyatuan akulirik sebagai semesta puisi untuk
menghadirkan sensasi yang merujuk pada kondisi psikologis manusia, tepatnya ego
akulirik.
Di sisi lain, strategi naratif
macam itu membuat puisi dapat mengarah pada beberapa makna yang ingin
disematkan pembaca pada puisi. Lapis makna disebabkan tanda-tanda dalam puisi
eksis untuk kepentingan penanda, yakni abstraksi atas tema.
Oleh karena itu, pembacaan puisi
penyair perempuan dengan menempatkan keperempuanan sebagai konteks merupakan
kesia-siaan. Saya menikmati Yang Tersisa dari Amuk Api sebagai sebuah strategi
subjek, manusia dalam memahami eksistensinya, salah satunya relasi subjek
dengan kota sebagai sebuah ruang. Sebuah upaya ’’mengada’’ sekaligus pembebasan.
Dalam sebuah puisi berjudul
’’Dengarlah Kota, Impian Kita’’, Nanda menulis: //telingamu melingkar, bundaran
taman di perempatan, merekam kesibukan, menonton keputusasaanku, turut di tubuh
mesin yang terus bingung mencatat lintasan mahasuram di telapak tanganku//
(halaman 24).
Personifikasi kota sebagai subjek
merupakan pemaknaan tempat yang menghadirkan wacana ruang dalam puisi Nanda
sekaligus keterputusan atau isolasi yang dialami akulirik.
Kota dalam antologi ini merupakan
sebuah representasi kuasa atas subjek. Dalam puisi yang lain berjudul
’’Tanda-Tanda pada Kota’’, Nanda menuliskan ’’sejauh ingatanku menangkap igauan
hanya ada kutukan yang menandai kota sebagai kubur’’.
Diksi “kota†mengarahkan kita
pada sebuah lokasi dengan bangunan kukuh dan suasana yang ramai dengan
aktivitas yang padat, menjadikan manusia sebagai mesin penggerak. Merelasikan
kota dengan kubur merupakan sebuah upaya pembebasan atas reduksi subjek sebagai
sebuah benda.
Pembebasan macam itu dimungkinkan
sebab antologi ini pada dasarnya merupakan sebuah sensasi. Sensasi yang
dihadirkan melalui imaji dalam puisi.
Puisi Nanda tidak hadir untuk
menyatakan sesuatu, melainkan menampilkan sesuatu. Seperti sebuah monolog yang
tak interaktif, Yang Tersisa dari Amuk Api abai pada kehadiran pembaca.
Sebab, melalui pengabaian
terhadap pembaca, imaji-imaji dalam puisi juga subjek puisi menghadirkan
ketidakpastian pembacaan. Bagaimanapun, sebuah antologi yang dilahirkan penyair
perempuan rentan dikaji dalam bingkai feminis seperti yang saya nyatakan di
awal tulisan. (*)
Judul buku: Yang Tersisa dari Amuk Api
Penulis: Nanda Alifya Rahmah
Cetakan: I, Oktober 2020
Penerbit: Pelangi Sastra
Halaman: xii + 98 halaman
ISBN: 978-623-7283-90-4
=====================
AIK R. HAKIM. Alumnus Sastra
Indonesia Universitas Airlangga yang kini menempuh studi S-2 Ilmu Susastra
Universitas Indonesia