25.4 C
Jakarta
Wednesday, December 11, 2024

Cahaya Akan Mengambang di Hunza

Dengan keelokan pekerti, kekayaan melimpah, kegemaran berbuat baik, dan cekatan membereskan potensi kekacauan, sungguh Dammahum adalah mercusuar yang sempurna. Ya, mercusuar, begitu negeri itu menyebut pemimpin.

BELAKANGAN, beredar kabar kalau pada dua pekan sebelum Idul Adha cahaya mahaindah jatuh di atas istananya. Beberapa imam masjid yang tinggal di sekitar istana mengatakan cahaya itu pecah menjadi kembang api tepat di atap kamar laki-laki paro baya itu.

Dammahum menyangkalnya. Kepada para penghuni istana, ia meminta mereka mengabaikan kabar-kabari itu. Kepada para imam dan orang-orang bijaksana, ia meminta mereka tidak perlu membesar-besarkannya. ”Saya ini,” katanya seraya mengelus rambutnya yang disisir klimis ke belakang, ”sebagaimana yang kalian tahu, hanya mantan koruptor yang tobat setelah nyantri beberapa tahun,” tempo kata-katanya begitu tertata, ”dan menjadi mercusuar karena kehendak Allah,” lanjutnya dengan wajah yang tegang. ”Jadi, kalaupun karamah turun ke negeri ini, rasanya Ia tidak akan memilih manusia dengan masa lalu yang kelam ini.”

Para imam dan orang-orang bijaksana menyimak. Mereka tahu kalau ayah tiga putra –yang menjadi wali kota di kota-kota di negeri itu– belum selesai.

”Menjadi mercusuar itu tidak mudah. Rawan tergelincir. Atau jangan-jangan saya sudah berkubang lumpur tanpa sadar. Lagi pula, kalaupun saya memang baik, saya kaya dan punya jabatan. Kalian tahu, bukan, beratnya pertanggungjawaban di akhirat nanti untuk orang yang hidupnya berlimpah? Kalian tahu, bukan, kalau masih banyak orang miskin atau tanpa kedudukan yang lebih baik dari saya, tak terkecuali kalian?”

Tapi, entah Dammahum sadari atau tidak, makin ia merendah, pesonanya sebagai mercusuar makin memancar. Orang-orang alim dan pemuka masyarakat makin bangga kepadanya, makin merasa negeri mereka diberkati-Nya, makin merasa kalau mereka tak salah memilih. Tindakan Dammahum memenjarakan rakyat jelata dan para ustad beberapa waktu yang lalu kini mereka sadari sebagai sesuatu yang benar. Dammahum, dengan semua kerendahhatian dan keilmuannya, tentu memiliki alasan kuat melakukan itu, pikir mereka.

”Stabilitas negeri tak bisa dianaktirikan,” kata Dammahum waktu itu. ”Sebagai manusia biasa tempatnya alpa dan keliru, sungguh mustahil saya bisa memuaskan hampir 300 juta rakyat negeri ini. Kalau saya melakukan tindakan represif kepada beberapa pihak, artinya saya sedang melindungi kepentingan dan hajat hidup lebih banyak orang.”

Dulu kata-kata si mercusuar didebat atas nama hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan hak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Orang-orang memintanya melepaskan pemimpin pesantren yang juga guru spiritualnya karena penangkapannya tanpa dokumen kepolisian. Tapi, si guru malah dibuang ke Pakistan tanpa persidangan. Hal yang sama juga berlaku ketika Dammahum menangkap dua orang garin atas tuduhan otak terorisme yang tak pernah terbukti. Tuntutan itu makin sayup seiring waktu dan kebaikan-kebaikan yang Dammahum tumpuk setiap hari hingga akhirnya… retorikanya tentang keutamaan rakyat itu menjelma hujan di tengah kehidupan yang kering kerontang.

Sungguh, tidak ada satu hal meragukan pun terkait kapasitasnya sebagai hamba yang layak dapat karamah. Adakah negeri yang lebih teberkati selain negeri yang dipimpin seseorang yang saleh, bijaksana, adil, dan karamah jelang Hari Raya Kurban?

Dammahum pun mulai menggelar majelis ilmu di pelataran istana tiap bakda Jumat. Dari Jumat ke Jumat majelis itu makin ramai. Salah satu yang membetot penasaran orang-orang –bahkan dari luar negeri sekalipun– itu adalah cerita dan pengalaman Dammahum sebagai mercusuar. ”Kalian tentu bosan mendengar ceramah tentang itu dan itu lagi,” begitu ia kerap membuka majelisnya. ”Oleh karena itu, saya akan berbagi tentang kemuliaan yang memeluk saya begitu erat hingga hari ini. Saya berharap hal itu menulari kalian semua.”

Tentu saja bunyi ”amin” bergemuruh meskipun, sejatinya, Dammahum belum mengatakan kemuliaan yang dimaksud.

”Oleh karena itu,” matanya menyapu jamaah yang menyimaknya dengan takjub, ”dengarkan dengan khidmat. Dan cari tahu, apa yang menyebabkan saya akhirnya mendapatkan banyak karamah.”

Baca Juga :  Perlunya Katup Pengaman jika Presiden Berhalangan

Kata-kata itu, di telinga jamaahnya, tidak terdengar pongah sedikit pun. ”Kemuliaan itu adalah…”

Tentu saja orang-orang menunggu. ”Diberi kemudahan bertemu dengan Jibril.”

Majelis gaduh. ”Saya tidak akan berani mengatakan ini kalau saya tidak melewati ratusan pemeriksaan ulang atas siapa orang yang kerap datang dalam bentuk cahaya yang menembus langit-langit kamar saya.”

Kini majelis hening kembali. Wajah-wajah mereka menunggu dengan harap.

”Jibril meminta saya tetap memerintah negeri ini sampai waktu yang tidak ditentukan.”

Bagai dikomando, takbir bergemuruh.

”Jangan salah paham atau lekas berpikir yang tidak-tidak,” kata Dammahum seperti mengantisipasi. ”Saya tentu saja menolak permintaan itu. Mana ada rajadiraja. Tak akan ada yang mengalahkan Tuhan. Sejarah mencatat, pemimpin-pemimpin serakah selalu menjadi contoh buruk kehidupan. Hammurabi di Babilonia, Heraklius di Kekaisaran Romawi, Ramses di Mesir…”

Orang-orang saling pandang. Mata mereka memancarkan keterpukauan.

”Dan tahukah kalian bahwa Jibril kecewa. Tapi, saya rela dihukum asalkan amanah atas 300 juta rakyat ini bisa berakhir segera. Kalian tahu, bukan, kalau tujuh bulan lagi kita akan mengadakan pemilihan mercusuar baru?”

”Wahai mercusuar kami,” kata salah seorang bijaksana dengan membungkuk. ”Demi Allah yang Mahabijaksana, tidak ada yang tidak mungkin kalau Ia berkehendak. Apalagi didukung rakyat yang merasakan betapa kepemimpinanmu memberikan banyak kemaslahatan.”

”Terima kasih atas sanjungannya, wahai rakyatku,” kata Dammahum. ”Saya tak ingin lagi membicarakan itu. Sampai jumpa Jumat depan.”

*

Sepekan jelang Idul Adha, cerita tentang Dammahum yang kerap bertemu Jibril makin santer. Entah siapa yang menyebarnya. Tidak ada yang mengaku atau berkoar-koar paling lantang sebab mereka tahu betapa si mercusuar tak menyukai sanjungan berlebihan.

Maka, majelis pekanan hari itu dihadiri dua kali lipat jamaah dari biasa sehingga daya pengeras suara harus ditambah karena rakyat meluber hingga ke luar gerbang istana. Orang-orang dari luar negeri juga banyak yang ingin mendapatkan ilmu dan pencerahan dan juga cerita dahsyat yang selama ini kerap mereka dengar dari yang lebih dahulu menghadiri majelis itu.

”Apakah benar Yang Mulia bisa bertemu dengan Jibril?” tanya salah seorang dari pedalaman dengan wajah penuh keingintahuan. ”Bagaimana rupanya? Apakah kami juga bisa mendapatkan karamah sebagaimana engkau, Yang Mulia? Ajari kami? Aku sungguh tidak bisa membayangkan kalau memang bisa bertemu malaikat di Lebaran ini.”

Itu baru pertanyaan dari satu orang. Dammahum memberi kesempatan bertanya kepada 10 orang, lalu jadi 20, lalu… pada penanya ke-25, wajahnya pucat pasi. Di samping si penanya, dengan jelas ia menyaksikan cahaya yang, entah bagaimana, ia rasakan menatapnya dengan penuh kekejaman.

Meskipun begitu, Dammahum tetap menyelesaikan sesi tanya jawab itu dengan baik. Menjelang asar, acara itu diakhiri dengan salat berjamaah yang diimaminya. Ketika mengucapkan salam di akhir rakaat keempat, bulir keringat sebesar buah kopi berebutan tumbuh dari keningnya begitu mendapati makhluk cahaya berada di antara di saf kedua sebelah kanannya, meskipun segera ia merasa lega karena melihat Jibril berada di saf pertama sebelah kiri.

”Wahai Jibril, engkau tentu tahu, bukan, apa yang menyebabkanku dalam ketakutan seperti ini?” kata Dammahum begitu ia hanya berdua saja dengan Jibril di kamarnya yang megah.

”Aku memang heran dengan wajahmu yang beberapa kali menunjukkan ekspresi ketakutan, Dammahum,” Jibril menggeleng. ”Tapi aku juga ingin tahu penyebabnya.”

Dammahum menelan ludah. ”Ada makhluk cahaya sebagaimana engkau di majelis dan ikut kita salat berjamaah tadi, wahai Jibril.”

”Masya Allah,” suara Jibril melengking gembira. ”Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya, Dammahum?”

”Aku tidak tahu,” kata Dammahum cepat. Kali ini suaranya bergetar. Ia melongok ke luar jendela seakan-akan makhluk cahaya itu sedang menunggunya di sana. ”Aku belum pernah merasa secemas ini. Aku benar-benar takut. Padahal, kau tahu sendiri, Jibril, kalau aku juga heran bagaimana mungkin aku tidak menggigil dan ketakutan sebagaimana Muhammad Yang Mulia dulu, ketika pertama kali kita bertemu. Nah, kini makhluk cahaya itu benar-benar membuatku takut?”

Baca Juga :  Jama’ Taksir

”Bolehkah aku memberi saran, Dammahum?”

”Tentu itu yang aku tunggu, Jibril.”

”Ini saran yang sangat umum.”

”Tidak apa. Katakanlah.”

”Bagaimana kalau engkau berlibur.”

”Berlibur?”

”Aku ubah sedikit kata-katanya menjadi: Bagaimana kalau kau pergi ke suatu tempat?”

Dammahum berpikir. ”Entah untuk alasan menyegarkan pikiran, liburan, atau sekadar mendapatkan suasana baru, mercusuar yang dicintai rakyat sepertimu sangat berhak dan layak mendapatkannya. Apalagi negeri dalam keadaan baik-baik saja. Orang-orang kepercayaanmu sangat amanah. Kau juga bebas memilih, mau melakukannya sendirian atau bersama keluarga.”

”Baiklah, Jibril,” Dammahum melega-legakan nada bicaranya. ”Aku akan meminta orang kepercayaanku menyewa jet pribadi sekarang juga…”

”Kau tidak perlu melakukannya, Dammahum,” potong Jibril cepat tapi tenang. ”Aku bisa mengirimkanmu ke tempat yang kauinginkan dalam satu kedipan.”

”Oh, Jibril?” Dammahum membelalak, antara bahagia dan tak percaya.

”Aku adalah Jibril, bukan yang lain. Jibril, Dammahum,” suaranya meninggi.

”I—i—iya, Jibril,” Dammahum terbata-bata. Bagaimanapun ia belum pernah mendengar suara malaikat berseru seperti barusan.

”Katakan sekarang,” desak Jibril. ”Kau ingin bepergian bersama keluarga atau sendirian? Aku bahkan bisa mengembalikanmu ke istana secepat aku memberangkatkanmu. Bahkan, kalau kau menginginkan kepergian tanpa sepengetahuan orang-orang, termasuk keluargamu, aku juga bisa melakukannya.”

”Alhamdulillah.”

”Kau adalah hamba pilihan, Dammahum. Raja yang adil yang hampir tak mungkin dicari penggantinya di akhir zaman ini. Mari buat ini lebih cepat: ke mana kau ingin kukirim?”

Dammahum menimbang beberapa tempat. ”Kalau perlu, kau bisa menyebutkan hotel paling mewah di muka bumi.”

Dammahum membayangkan Kulm di Swis, La Residence di Cape Town, Anantara al Jabar al Akhdar di Oman, Marina Bay Sands di Singapura, atau The Brando di Polinesia Prancis.

”Dammahum?”

”Kirim aku ke Hunza, Jibril,” bibirnya justru tidak menyebut hotel-hotel mewah itu. ”Aku ingin berdiam di penginapan sederhana yang terletak di kaki Karaposhi, Lady Finger, dan Everest. Apakah kau bisa menemukan tempat itu?”

Jibril mengangguk. ”Sebuah penginapan yang terbuat dari kayu, daging yak bakar sebagai menu makan malam, cai dan roti cane kuah kari untuk sarapan, dan pekarangannya yang rimbun dengan aprikot, apel hijau, dan buah ceri, akan menghadiahimu ketenangan.”

Wajah Dammahum semringah raya. Begitu ia berkedip, saat itu pula ia hilang dari kamar itu. Jendela berderit. Sesosok cahaya mengambang di luar. Jibril tercekat. ”Kau tentu mengenalku?” kata cahaya mengambang itu. ”Kau tak perlu menjawab apa-apa sebab wajah pucatmu telah memberi tahuku.”

”Kau tidak perlu mencabut nyawaku, Izrail,” kata Jibril dengan suara bergetar. Kita sudah punya kavlingan tugas masing-masing.”

”Kita?” tanya cahaya mengambang itu dengan suara menggelegar dan mengerikan. ”Kau adalah jin yang terlena dengan pujian manusia. Kau boleh mengaku Jibril di hadapan siapa pun, tapi aku tidak diciptakan Allah untuk berdebat.”

Jin yang mengaku Jibril itu terdiam sebelum kemudian melayangkan pertanyaan. ”Kalau boleh tahu, mengapa engkau berada di sini, wahai Izrail?”

”Aku heran,” kata Izrail ragu, ”kenapa tadi Dammahum masih berada di istananya, sedangkan Allah menugaskanku untuk mencabut nyawanya di utara Pakistan sebelum Lebaran.”

Jin itu mau berkata, tapi kerongkongannya bagai terbakar.

”Aku harus pergi ke lereng Hunza sekarang,” kata Izrail seraya berbalik. ”Jangan-jangan ada Dammahum lain di lereng Rakaposhi. Oh, bagaimana mungkin aku bisa keliru seperti ini!” rutuknya sebelum lenyap dalam sepersekian kedipan. (*)

Lubuklinggau, Mei–Juni 2021

CATATAN:

Cerpen ini adalah bagian dari proyek Dammahum Series. Tiga seri yang sudah terbit: ”Dammahum Jadi Mercusuar” (Jawa Pos, 1 Januari 2021), ”Mungkin Raqib Tak Henti Tertawa” (basabasi.co, 23 April 2021), dan ”Ganja Putih dan Peri Ungu untuk Kiai” (Koran Tempo, 27 Juni 2021).

(BENNY ARNAS, Lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua buku mutakhirnya: Ethile! Ethile! (novel, 2021) dan Lubuk-lubuk d(ar)i Lubuklinggau (naskah drama, 2021)).

Dengan keelokan pekerti, kekayaan melimpah, kegemaran berbuat baik, dan cekatan membereskan potensi kekacauan, sungguh Dammahum adalah mercusuar yang sempurna. Ya, mercusuar, begitu negeri itu menyebut pemimpin.

BELAKANGAN, beredar kabar kalau pada dua pekan sebelum Idul Adha cahaya mahaindah jatuh di atas istananya. Beberapa imam masjid yang tinggal di sekitar istana mengatakan cahaya itu pecah menjadi kembang api tepat di atap kamar laki-laki paro baya itu.

Dammahum menyangkalnya. Kepada para penghuni istana, ia meminta mereka mengabaikan kabar-kabari itu. Kepada para imam dan orang-orang bijaksana, ia meminta mereka tidak perlu membesar-besarkannya. ”Saya ini,” katanya seraya mengelus rambutnya yang disisir klimis ke belakang, ”sebagaimana yang kalian tahu, hanya mantan koruptor yang tobat setelah nyantri beberapa tahun,” tempo kata-katanya begitu tertata, ”dan menjadi mercusuar karena kehendak Allah,” lanjutnya dengan wajah yang tegang. ”Jadi, kalaupun karamah turun ke negeri ini, rasanya Ia tidak akan memilih manusia dengan masa lalu yang kelam ini.”

Para imam dan orang-orang bijaksana menyimak. Mereka tahu kalau ayah tiga putra –yang menjadi wali kota di kota-kota di negeri itu– belum selesai.

”Menjadi mercusuar itu tidak mudah. Rawan tergelincir. Atau jangan-jangan saya sudah berkubang lumpur tanpa sadar. Lagi pula, kalaupun saya memang baik, saya kaya dan punya jabatan. Kalian tahu, bukan, beratnya pertanggungjawaban di akhirat nanti untuk orang yang hidupnya berlimpah? Kalian tahu, bukan, kalau masih banyak orang miskin atau tanpa kedudukan yang lebih baik dari saya, tak terkecuali kalian?”

Tapi, entah Dammahum sadari atau tidak, makin ia merendah, pesonanya sebagai mercusuar makin memancar. Orang-orang alim dan pemuka masyarakat makin bangga kepadanya, makin merasa negeri mereka diberkati-Nya, makin merasa kalau mereka tak salah memilih. Tindakan Dammahum memenjarakan rakyat jelata dan para ustad beberapa waktu yang lalu kini mereka sadari sebagai sesuatu yang benar. Dammahum, dengan semua kerendahhatian dan keilmuannya, tentu memiliki alasan kuat melakukan itu, pikir mereka.

”Stabilitas negeri tak bisa dianaktirikan,” kata Dammahum waktu itu. ”Sebagai manusia biasa tempatnya alpa dan keliru, sungguh mustahil saya bisa memuaskan hampir 300 juta rakyat negeri ini. Kalau saya melakukan tindakan represif kepada beberapa pihak, artinya saya sedang melindungi kepentingan dan hajat hidup lebih banyak orang.”

Dulu kata-kata si mercusuar didebat atas nama hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan hak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Orang-orang memintanya melepaskan pemimpin pesantren yang juga guru spiritualnya karena penangkapannya tanpa dokumen kepolisian. Tapi, si guru malah dibuang ke Pakistan tanpa persidangan. Hal yang sama juga berlaku ketika Dammahum menangkap dua orang garin atas tuduhan otak terorisme yang tak pernah terbukti. Tuntutan itu makin sayup seiring waktu dan kebaikan-kebaikan yang Dammahum tumpuk setiap hari hingga akhirnya… retorikanya tentang keutamaan rakyat itu menjelma hujan di tengah kehidupan yang kering kerontang.

Sungguh, tidak ada satu hal meragukan pun terkait kapasitasnya sebagai hamba yang layak dapat karamah. Adakah negeri yang lebih teberkati selain negeri yang dipimpin seseorang yang saleh, bijaksana, adil, dan karamah jelang Hari Raya Kurban?

Dammahum pun mulai menggelar majelis ilmu di pelataran istana tiap bakda Jumat. Dari Jumat ke Jumat majelis itu makin ramai. Salah satu yang membetot penasaran orang-orang –bahkan dari luar negeri sekalipun– itu adalah cerita dan pengalaman Dammahum sebagai mercusuar. ”Kalian tentu bosan mendengar ceramah tentang itu dan itu lagi,” begitu ia kerap membuka majelisnya. ”Oleh karena itu, saya akan berbagi tentang kemuliaan yang memeluk saya begitu erat hingga hari ini. Saya berharap hal itu menulari kalian semua.”

Tentu saja bunyi ”amin” bergemuruh meskipun, sejatinya, Dammahum belum mengatakan kemuliaan yang dimaksud.

”Oleh karena itu,” matanya menyapu jamaah yang menyimaknya dengan takjub, ”dengarkan dengan khidmat. Dan cari tahu, apa yang menyebabkan saya akhirnya mendapatkan banyak karamah.”

Baca Juga :  Perlunya Katup Pengaman jika Presiden Berhalangan

Kata-kata itu, di telinga jamaahnya, tidak terdengar pongah sedikit pun. ”Kemuliaan itu adalah…”

Tentu saja orang-orang menunggu. ”Diberi kemudahan bertemu dengan Jibril.”

Majelis gaduh. ”Saya tidak akan berani mengatakan ini kalau saya tidak melewati ratusan pemeriksaan ulang atas siapa orang yang kerap datang dalam bentuk cahaya yang menembus langit-langit kamar saya.”

Kini majelis hening kembali. Wajah-wajah mereka menunggu dengan harap.

”Jibril meminta saya tetap memerintah negeri ini sampai waktu yang tidak ditentukan.”

Bagai dikomando, takbir bergemuruh.

”Jangan salah paham atau lekas berpikir yang tidak-tidak,” kata Dammahum seperti mengantisipasi. ”Saya tentu saja menolak permintaan itu. Mana ada rajadiraja. Tak akan ada yang mengalahkan Tuhan. Sejarah mencatat, pemimpin-pemimpin serakah selalu menjadi contoh buruk kehidupan. Hammurabi di Babilonia, Heraklius di Kekaisaran Romawi, Ramses di Mesir…”

Orang-orang saling pandang. Mata mereka memancarkan keterpukauan.

”Dan tahukah kalian bahwa Jibril kecewa. Tapi, saya rela dihukum asalkan amanah atas 300 juta rakyat ini bisa berakhir segera. Kalian tahu, bukan, kalau tujuh bulan lagi kita akan mengadakan pemilihan mercusuar baru?”

”Wahai mercusuar kami,” kata salah seorang bijaksana dengan membungkuk. ”Demi Allah yang Mahabijaksana, tidak ada yang tidak mungkin kalau Ia berkehendak. Apalagi didukung rakyat yang merasakan betapa kepemimpinanmu memberikan banyak kemaslahatan.”

”Terima kasih atas sanjungannya, wahai rakyatku,” kata Dammahum. ”Saya tak ingin lagi membicarakan itu. Sampai jumpa Jumat depan.”

*

Sepekan jelang Idul Adha, cerita tentang Dammahum yang kerap bertemu Jibril makin santer. Entah siapa yang menyebarnya. Tidak ada yang mengaku atau berkoar-koar paling lantang sebab mereka tahu betapa si mercusuar tak menyukai sanjungan berlebihan.

Maka, majelis pekanan hari itu dihadiri dua kali lipat jamaah dari biasa sehingga daya pengeras suara harus ditambah karena rakyat meluber hingga ke luar gerbang istana. Orang-orang dari luar negeri juga banyak yang ingin mendapatkan ilmu dan pencerahan dan juga cerita dahsyat yang selama ini kerap mereka dengar dari yang lebih dahulu menghadiri majelis itu.

”Apakah benar Yang Mulia bisa bertemu dengan Jibril?” tanya salah seorang dari pedalaman dengan wajah penuh keingintahuan. ”Bagaimana rupanya? Apakah kami juga bisa mendapatkan karamah sebagaimana engkau, Yang Mulia? Ajari kami? Aku sungguh tidak bisa membayangkan kalau memang bisa bertemu malaikat di Lebaran ini.”

Itu baru pertanyaan dari satu orang. Dammahum memberi kesempatan bertanya kepada 10 orang, lalu jadi 20, lalu… pada penanya ke-25, wajahnya pucat pasi. Di samping si penanya, dengan jelas ia menyaksikan cahaya yang, entah bagaimana, ia rasakan menatapnya dengan penuh kekejaman.

Meskipun begitu, Dammahum tetap menyelesaikan sesi tanya jawab itu dengan baik. Menjelang asar, acara itu diakhiri dengan salat berjamaah yang diimaminya. Ketika mengucapkan salam di akhir rakaat keempat, bulir keringat sebesar buah kopi berebutan tumbuh dari keningnya begitu mendapati makhluk cahaya berada di antara di saf kedua sebelah kanannya, meskipun segera ia merasa lega karena melihat Jibril berada di saf pertama sebelah kiri.

”Wahai Jibril, engkau tentu tahu, bukan, apa yang menyebabkanku dalam ketakutan seperti ini?” kata Dammahum begitu ia hanya berdua saja dengan Jibril di kamarnya yang megah.

”Aku memang heran dengan wajahmu yang beberapa kali menunjukkan ekspresi ketakutan, Dammahum,” Jibril menggeleng. ”Tapi aku juga ingin tahu penyebabnya.”

Dammahum menelan ludah. ”Ada makhluk cahaya sebagaimana engkau di majelis dan ikut kita salat berjamaah tadi, wahai Jibril.”

”Masya Allah,” suara Jibril melengking gembira. ”Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya, Dammahum?”

”Aku tidak tahu,” kata Dammahum cepat. Kali ini suaranya bergetar. Ia melongok ke luar jendela seakan-akan makhluk cahaya itu sedang menunggunya di sana. ”Aku belum pernah merasa secemas ini. Aku benar-benar takut. Padahal, kau tahu sendiri, Jibril, kalau aku juga heran bagaimana mungkin aku tidak menggigil dan ketakutan sebagaimana Muhammad Yang Mulia dulu, ketika pertama kali kita bertemu. Nah, kini makhluk cahaya itu benar-benar membuatku takut?”

Baca Juga :  Jama’ Taksir

”Bolehkah aku memberi saran, Dammahum?”

”Tentu itu yang aku tunggu, Jibril.”

”Ini saran yang sangat umum.”

”Tidak apa. Katakanlah.”

”Bagaimana kalau engkau berlibur.”

”Berlibur?”

”Aku ubah sedikit kata-katanya menjadi: Bagaimana kalau kau pergi ke suatu tempat?”

Dammahum berpikir. ”Entah untuk alasan menyegarkan pikiran, liburan, atau sekadar mendapatkan suasana baru, mercusuar yang dicintai rakyat sepertimu sangat berhak dan layak mendapatkannya. Apalagi negeri dalam keadaan baik-baik saja. Orang-orang kepercayaanmu sangat amanah. Kau juga bebas memilih, mau melakukannya sendirian atau bersama keluarga.”

”Baiklah, Jibril,” Dammahum melega-legakan nada bicaranya. ”Aku akan meminta orang kepercayaanku menyewa jet pribadi sekarang juga…”

”Kau tidak perlu melakukannya, Dammahum,” potong Jibril cepat tapi tenang. ”Aku bisa mengirimkanmu ke tempat yang kauinginkan dalam satu kedipan.”

”Oh, Jibril?” Dammahum membelalak, antara bahagia dan tak percaya.

”Aku adalah Jibril, bukan yang lain. Jibril, Dammahum,” suaranya meninggi.

”I—i—iya, Jibril,” Dammahum terbata-bata. Bagaimanapun ia belum pernah mendengar suara malaikat berseru seperti barusan.

”Katakan sekarang,” desak Jibril. ”Kau ingin bepergian bersama keluarga atau sendirian? Aku bahkan bisa mengembalikanmu ke istana secepat aku memberangkatkanmu. Bahkan, kalau kau menginginkan kepergian tanpa sepengetahuan orang-orang, termasuk keluargamu, aku juga bisa melakukannya.”

”Alhamdulillah.”

”Kau adalah hamba pilihan, Dammahum. Raja yang adil yang hampir tak mungkin dicari penggantinya di akhir zaman ini. Mari buat ini lebih cepat: ke mana kau ingin kukirim?”

Dammahum menimbang beberapa tempat. ”Kalau perlu, kau bisa menyebutkan hotel paling mewah di muka bumi.”

Dammahum membayangkan Kulm di Swis, La Residence di Cape Town, Anantara al Jabar al Akhdar di Oman, Marina Bay Sands di Singapura, atau The Brando di Polinesia Prancis.

”Dammahum?”

”Kirim aku ke Hunza, Jibril,” bibirnya justru tidak menyebut hotel-hotel mewah itu. ”Aku ingin berdiam di penginapan sederhana yang terletak di kaki Karaposhi, Lady Finger, dan Everest. Apakah kau bisa menemukan tempat itu?”

Jibril mengangguk. ”Sebuah penginapan yang terbuat dari kayu, daging yak bakar sebagai menu makan malam, cai dan roti cane kuah kari untuk sarapan, dan pekarangannya yang rimbun dengan aprikot, apel hijau, dan buah ceri, akan menghadiahimu ketenangan.”

Wajah Dammahum semringah raya. Begitu ia berkedip, saat itu pula ia hilang dari kamar itu. Jendela berderit. Sesosok cahaya mengambang di luar. Jibril tercekat. ”Kau tentu mengenalku?” kata cahaya mengambang itu. ”Kau tak perlu menjawab apa-apa sebab wajah pucatmu telah memberi tahuku.”

”Kau tidak perlu mencabut nyawaku, Izrail,” kata Jibril dengan suara bergetar. Kita sudah punya kavlingan tugas masing-masing.”

”Kita?” tanya cahaya mengambang itu dengan suara menggelegar dan mengerikan. ”Kau adalah jin yang terlena dengan pujian manusia. Kau boleh mengaku Jibril di hadapan siapa pun, tapi aku tidak diciptakan Allah untuk berdebat.”

Jin yang mengaku Jibril itu terdiam sebelum kemudian melayangkan pertanyaan. ”Kalau boleh tahu, mengapa engkau berada di sini, wahai Izrail?”

”Aku heran,” kata Izrail ragu, ”kenapa tadi Dammahum masih berada di istananya, sedangkan Allah menugaskanku untuk mencabut nyawanya di utara Pakistan sebelum Lebaran.”

Jin itu mau berkata, tapi kerongkongannya bagai terbakar.

”Aku harus pergi ke lereng Hunza sekarang,” kata Izrail seraya berbalik. ”Jangan-jangan ada Dammahum lain di lereng Rakaposhi. Oh, bagaimana mungkin aku bisa keliru seperti ini!” rutuknya sebelum lenyap dalam sepersekian kedipan. (*)

Lubuklinggau, Mei–Juni 2021

CATATAN:

Cerpen ini adalah bagian dari proyek Dammahum Series. Tiga seri yang sudah terbit: ”Dammahum Jadi Mercusuar” (Jawa Pos, 1 Januari 2021), ”Mungkin Raqib Tak Henti Tertawa” (basabasi.co, 23 April 2021), dan ”Ganja Putih dan Peri Ungu untuk Kiai” (Koran Tempo, 27 Juni 2021).

(BENNY ARNAS, Lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua buku mutakhirnya: Ethile! Ethile! (novel, 2021) dan Lubuk-lubuk d(ar)i Lubuklinggau (naskah drama, 2021)).

Terpopuler

Artikel Terbaru