31.8 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Kulihat Bulan seperti Es Krim Vanila

Ketika bom meremukkan Gaza menjelang pembukaan Piala Dunia U-17 di Surabaya, aku justru dikirim ke Pulau Kyushu untuk liputan. Rasanya tak perlu aku ceritakan mengenai hari-hari liputanku di Kota Kitakyushu. Sebab, itu tidak penting dan tidak menarik. Yang penting dan menarik justru pertemuanku dengan perempuan di penginapan.

MALAM hari, kira-kira selepas isya, aku diantar sopir dan penerjemah menggunakan sedan ke penginapan di Kokura. Di lobi penginapan, aku disambut petugas penginapan yang sedang duduk di sebuah kursi, di depannya ada secangkir kopi yang teronggok di atas meja. Laki-laki berhidung runcing itu menyapaku.

Tentu saja aku tak paham dengan kalimat sapaannya yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. Yang kutahu hanya kata ’’konbanwa’’ darinya.

”Saya lelah, ingin segera masuk kamar,” kataku kepadanya menggunakan bahasa Indonesia. Dia paham dengan kalimatku atau tidak, itu bukan urusanku.

Selepas mandi, aku membuka buku kecil, membaca coretan hasil liputanku sebelum mengetiknya di laptop. Coretan itu adalah hasil wawancara dengan sejumlah narasumber yang kutemui hari ini, di antaranya adalah wali kota Kitakyushu. Tapi, rasanya aku masih malas untuk mengetiknya menjadi naskah berita. Nanti sajalah, toh naskah ini untuk terbitan lusa.

Roti daging sapi, yang selalu tersedia di atas meja kamar penginapan, aku sikat habis. Padahal, perutku tidak lapar-lapar amat. Tadi sebelum ke penginapan, sopir dan penerjemah membawaku mampir makan mi di dekat kastil. Lantaran bingung mau berbuat apa, akhirnya aku keluar kamar.

Mengelilingi sepertiga luas penginapan, lalu sampailah aku pada tepian kolam. Aku kaget, ada perempuan putih-cerah menatapku tajam dengan matanya yang indah.

”Hei, Yasunari Kawabata! Sudah lama menginap di sini?” Sapanya sok akrab menggunakan bahasa Inggris. Lalu, dia mendekat ke arahku. Sepersekian detik barulah aku paham mengapa dia memanggilku dengan sebutan ”Yasunari Kawabata’’. Itu karena aku memakai kaus hitam bergambar Yasunari Kawabata.

”Akhirnya ada orang yang mengajakku bicara dengan bahasa Inggris,” balasku.

”Sudah lama menginap di sini?” ulangnya.

”Bukan. Aku dari Surabaya.”

”Oh, Indonesia! Aku dari Tokyo. Di sini magang. Kamu di sini dalam hal apa?”

”Liputan.”

”Wartawan? Liputan apa?”

”Iya,” jawabku. Lalu, aku menceritakan liputan-liputan yang sudah dan akan aku lakukan selama di Jepang dalam beberapa hari ke depan.

”Aneh juga sih,” katanya sambil tertawa. Aku mengerutkan jidat. Sementara dia kembali tertawa hingga buah dadanya menari-nari di balik kemejanya. Aku nilai dia tidak memakai bra.

”Aneh mengapa?”

”Di negaramu akan ada Piala Dunia U-17. Tapi, kamu malah liputan ke sini.”

”Namanya juga tugas kantor. Semua sudah ada bagiannya sendiri-sendiri.”

”Berarti juga ada yang kebagian liputan di Gaza?”

”Tidak! Kantorku tidak mengirim wartawan ke Gaza.”

”Mengapa?”

Aku menebarkan pandang ke permukaan kolam. Ikan-ikan kecil terlihat samar di dasar kolam yang tidak terlalu dalam. Lalu, aku mendongak ke atas, kulihat bulan sedikit terhalang ranting dan dahan pohon.

”Aku tidak tahu,” jawabku.

”Seingatku baru dua atau tiga hari.”

”Hah? Seingatku?” Tanyanya sembari mendekat ke sebelah kananku.

”Iya!”

Kemudian, dia meledakkan tawa. Sangat nyaring dan lumayan lama. Tawa itu membuat tubuhnya berguncang. Bahkan, lengannya sedikit menyentuh lenganku. Kurasakan kulitnya sangat halus. Aku meliriknya untuk memastikan kadar kehalusan kulitnya. Dan, tanpa menyentuh, benar saja; betis, dengkul, lengan, leher, dan wajah, semuanya halus.

Baca Juga :  Wakil PM Belgia Ingin Sanksi Israel Karena Serang RS dan Kamp Pengungsi di Gaza

”Kamu dari Kuala Lumpur?”

”Tapi, kamu pasti tahu mana yang kamu dukung. Orang Indonesia pasti mendukung kemerdekaan Palestina, bukan?”

”Kalau aku, tentu saja mendukung Palestina!”

”Kamu tinggal di kamar nomor berapa?”

”Nomor 107.”

”Enak roti daging sapinya? Penginapan ini punya ciri khas itu. Selalu menyuguhkan roti daging sapi yang masih segar. Meletakkannya di atas meja kamar ketika tamu sedang pergi.”

”Enak! Tiap malam, sekembalinya aku ke kamar, selalu aku makan habis.”

”Ngomong-ngomong, namamu siapa?”

Lalu, aku menyebutkan namaku dan aku balik menanyakan namanya. Dia juga menyebutkan namanya. Tapi, aku tak bisa mengingat namanya. Terlalu susah dihafal. Selepas menyebutkan nama masing-masing, aku dan dia berjabat tangan.

”Kamu mengidolakan Yasunari Kawabata? Sampai repot-repot memakai kaus bergambar wajahnya. Atau jangan-jangan itu cuma formalitasmu karena mengunjungi Jepang.”

”Bukan formalitas. Aku memang menyukai Yasunari Kawabata.”

”Selain Yasunari Kawabata, kamu menyukai penulis Jepang siapa?”

”Haruki Murakami.”

”Sungguh?”

”Sungguh!”

”Paling-paling hanya membaca Norwegian Wood saja?” Dia memancingku.

 

”Tentu tidak. Aku sudah membaca beberapa bukunya.”

 

”Yang terakhir kamu baca dari Murakami, apa?”

 

”Sebelum terbang ke Jepang, aku membaca kumpulan cerpennya. Ada satu cerpen yang aku sukai.”

”Cerpen yang mana?”

”Cerpen tentang monyet Shinagawa.”

”Hmm… selera kita sama. Aku juga menyukai cerpen itu.”

Sedari tadi berbincang sambil berdiri, aku merasa lelah. Kemudian, aku melangkah menuju sebuah bangku taman, terbuat dari kayu, yang ada di tepi kolam. Dia mengikutiku dan duduk di sebelahku. Dipikir-pikir, dari tadi dia yang selalu menginterogasiku. Kini, giliranku menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tapi, otakku buntu. Aku tak bisa menemukan pertanyaan yang cocok buatnya. Dan, munculnya pertanyaan klise.

”Kamu sekolah atau kuliah? Sudah berapa lama magang di sini?”

”Seingatku, aku kuliah. Masih di tahun pertama. Dan, seingatku juga, baru dua atau tiga hari aku magang di sini.”

Sontak saja, kini giliranku yang tertawa ugal-ugalan. Dia meninju lenganku, ringan, sambil menerbitkan senyum mungil.

”Hei, apanya yang lucu?” Tanyanya manja.

”Harus aku jawab?”

”Iya!”

”Tapi, tadi aku tidak bertanya tentang alasanmu tertawa saat aku memberi jawaban dengan awalan ’seingatku’, bukan?”

 

Kemudian, dia kembali tertawa selepas-lepasnya. Buah dadanya menari-nari lagi. Kulihat, dia membetulkan roknya yang sedikit terangkat karena gerakan tubuhnya saat tertawa. Sempat kulirik sebentar, pahanya lebih mulus dan halus ketimbang betisnya.

’’Kamu juga mengikuti perkembangan sastra Indonesia?” Tanyaku ngawur demi menghilangkan kegelisahan karena sudah melihat pahanya

”Hanya sebatas H.B. Jassin, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Asrul Sani.”

”Nah, itu! Aku membaca novel Yasunari Kawabata hasil terjemahan Asrul Sani.”

”Judulnya?”

”Rumah Perawan.”

”Tapi, aku sudah tidak perawan.”

Tiba-tiba, serasa bulan jatuh menimpa kepalaku. Lalu, aku tenggelam dalam gurun pasir mahatandus. Mengapa dia membuat pengakuan seperti itu, tanyaku dalam hati. Aku menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri sejenak.

”Kalau boleh tahu…” aku membuka obrolan yang sempat terhenti. Tapi, aku susah untuk melanjutkannya, diriku belum tenang seutuhnya.

”Guruku yang sudah merenggut keperawananku.”

”Hei, bukan itu yang ingin aku tanyakan.” Aku mengucapkannya sambil sedikit berteriak.

”Lantas apa? Tadi kalimat pertanyaanmu terhenti.”

”Kalau boleh tahu, akhir-akhir ini apa yang kamu baca yang berkaitan dengan sastra Indonesia?” Tanyaku dalam satu tarikan napas.

Baca Juga :  Kembang Krisanku yang Tangguh

”Oh itu,” dia terlihat berpikir sambil menggigit bibir bawahnya. ”Beberapa hari yang lalu aku membaca cerpen karya penulis Indonesia.”

”Judulnya? Karya siapa?”

”Sebentar!” Dia berpikir lagi, kira-kira 15 detik. ”Aku lupa judulnya. Tapi, cerpen itu karya Eko Darmoko. Aku membaca versi terjemahan bahasa Inggris.”

”Sepertinya kita membaca cerpen yang sama. Selera sastra kita sama. Masih ingat tentang apa cerpen itu?”

”Tentang pendakian di Gunung Raung. Selepas membaca cerpennya, aku jadi punya keinginan untuk mendaki gunung itu.”

”Oh, cerpen yang itu. Sesuai prediksiku. Aku juga sudah membacanya. Membaca dari bahasa aslinya, bahasa Indonesia.”

”Kamu juga ada keinginan untuk mendaki gunung itu?”

”Aku sudah pensiun sebagai pendaki gunung. Sekarang tubuhku mudah lelah.”

”Oh! Dua bulan yang lalu, aku rampung mendaki Gunung Fuji. Tahun depan aku rencana mendaki Gunung Kinabalu. Mungkin selanjutnya ke Gunung Raung. Mau ikut?”

”Tidak, kan sudah kubilang, aku mudah lelah.”

”Kalau bercinta, apakah kamu mudah lelah juga?”

Tiba-tiba dia sudah ada di pangkuanku. Menjamah tubuhku habis-habisan. Jarum jam terus berputar sebagaimana mestinya. Malam menjadi hangat. Kami disergap puncak kelezatan.

”Lelah?” Tanyanya setelah kami bercinta di tepi kolam, di bawah bentang cahaya bulan yang menyerupai lumeran es krim vanila.

”Tidak. Aku hanya mengantuk. Oyasuminasai,” jawabku. Lalu, aku pergi ke kamar. Tidur.

Keesokan paginya, usai sarapan, aku dijemput sopir dan penerjemah. ”Bagaimana tidurnya semalam, Mas?” Tanya si penerjemah –dia mahasiswa asal Lamongan yang kuliah di Tokyo.

”Sangat nyenyak!” jawabku. Sementara si sopir, orang Jepang tulen, hanya senyum-senyum mendengar obrolan kami.

Di dalam sedan, aku membolak-balik halaman surat kabar Nishinippon Shimbun. Namun, aku hanya melihat gambar-gambarnya saja. Sebab, seluruh isi surat kabar itu menggunakan bahasa dan aksara Jepang. Dan, aku dibuat kaget oleh gambar perempuan yang bercinta denganku semalam terpampang di sebuah halaman surat kabar.

”Tolong artikan berita yang memuat foto perempuan ini!” pintaku kepada si penerjemah.

”Yang ini, Mas?” tanyanya sambil menunjuk foto perempuan dalam surat kabar.

”Ya!”

”Berita kematian, Mas.”

”Hah?” Aku mendadak sesak napas, tubuhku terasa sangat lelah. ”Detailnya bagaimana?”

”Di paragraf pertama disebutkan, Hasumi Akiho mahasiswi Universitas Tokyo, waduh satu kampus denganku, dia ditemukan tewas gantung diri di Kashiwa.”

”Kapan dia bunuh diri?”

”Sebentar, Mas, saya baca dulu,” sejenak si penerjemah larut dalam halaman surat kabar. ”Hasumi Akiho gantung diri dua pekan yang lalu. Padahal, pekan ini, dia disebutkan akan melakukan magang di Kitakyushu.”

’’Stop!”

’’Mengapa, Mas?”

’’Aku ingin tidur sebentar. Bangunkan aku jika sudah sampai lokasi liputan.”

’’Baik, Mas! Oh ya, sepulangnya Mas di Surabaya nanti, apakah Mas akan meliput Piala Dunia U-17?”

’’Tidak. Aku hanya menonton saja.”

’’Kalau Gaza. Apakah Mas ditugaskan ke sana untuk liputan?”

Aku malas menjawab pertanyaannya. Aku hanya mematung.

Roda sedan terus menggelinding. Tapi, aku tak bisa tidur. Otakku diteror Hasumi Akiho. Tiba-tiba di depanku ada penampakan bulan. Seperti semalam, cahaya bulan itu seperti lumeran es krim vanila. (*)

Kitakyushu– Surabaya, 2024

EKO DARMOKO, Bergiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Karyanya antara lain novel Anak Gunung dan kumpulan cerpen Ladang Pembantaian

Ketika bom meremukkan Gaza menjelang pembukaan Piala Dunia U-17 di Surabaya, aku justru dikirim ke Pulau Kyushu untuk liputan. Rasanya tak perlu aku ceritakan mengenai hari-hari liputanku di Kota Kitakyushu. Sebab, itu tidak penting dan tidak menarik. Yang penting dan menarik justru pertemuanku dengan perempuan di penginapan.

MALAM hari, kira-kira selepas isya, aku diantar sopir dan penerjemah menggunakan sedan ke penginapan di Kokura. Di lobi penginapan, aku disambut petugas penginapan yang sedang duduk di sebuah kursi, di depannya ada secangkir kopi yang teronggok di atas meja. Laki-laki berhidung runcing itu menyapaku.

Tentu saja aku tak paham dengan kalimat sapaannya yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. Yang kutahu hanya kata ’’konbanwa’’ darinya.

”Saya lelah, ingin segera masuk kamar,” kataku kepadanya menggunakan bahasa Indonesia. Dia paham dengan kalimatku atau tidak, itu bukan urusanku.

Selepas mandi, aku membuka buku kecil, membaca coretan hasil liputanku sebelum mengetiknya di laptop. Coretan itu adalah hasil wawancara dengan sejumlah narasumber yang kutemui hari ini, di antaranya adalah wali kota Kitakyushu. Tapi, rasanya aku masih malas untuk mengetiknya menjadi naskah berita. Nanti sajalah, toh naskah ini untuk terbitan lusa.

Roti daging sapi, yang selalu tersedia di atas meja kamar penginapan, aku sikat habis. Padahal, perutku tidak lapar-lapar amat. Tadi sebelum ke penginapan, sopir dan penerjemah membawaku mampir makan mi di dekat kastil. Lantaran bingung mau berbuat apa, akhirnya aku keluar kamar.

Mengelilingi sepertiga luas penginapan, lalu sampailah aku pada tepian kolam. Aku kaget, ada perempuan putih-cerah menatapku tajam dengan matanya yang indah.

”Hei, Yasunari Kawabata! Sudah lama menginap di sini?” Sapanya sok akrab menggunakan bahasa Inggris. Lalu, dia mendekat ke arahku. Sepersekian detik barulah aku paham mengapa dia memanggilku dengan sebutan ”Yasunari Kawabata’’. Itu karena aku memakai kaus hitam bergambar Yasunari Kawabata.

”Akhirnya ada orang yang mengajakku bicara dengan bahasa Inggris,” balasku.

”Sudah lama menginap di sini?” ulangnya.

”Bukan. Aku dari Surabaya.”

”Oh, Indonesia! Aku dari Tokyo. Di sini magang. Kamu di sini dalam hal apa?”

”Liputan.”

”Wartawan? Liputan apa?”

”Iya,” jawabku. Lalu, aku menceritakan liputan-liputan yang sudah dan akan aku lakukan selama di Jepang dalam beberapa hari ke depan.

”Aneh juga sih,” katanya sambil tertawa. Aku mengerutkan jidat. Sementara dia kembali tertawa hingga buah dadanya menari-nari di balik kemejanya. Aku nilai dia tidak memakai bra.

”Aneh mengapa?”

”Di negaramu akan ada Piala Dunia U-17. Tapi, kamu malah liputan ke sini.”

”Namanya juga tugas kantor. Semua sudah ada bagiannya sendiri-sendiri.”

”Berarti juga ada yang kebagian liputan di Gaza?”

”Tidak! Kantorku tidak mengirim wartawan ke Gaza.”

”Mengapa?”

Aku menebarkan pandang ke permukaan kolam. Ikan-ikan kecil terlihat samar di dasar kolam yang tidak terlalu dalam. Lalu, aku mendongak ke atas, kulihat bulan sedikit terhalang ranting dan dahan pohon.

”Aku tidak tahu,” jawabku.

”Seingatku baru dua atau tiga hari.”

”Hah? Seingatku?” Tanyanya sembari mendekat ke sebelah kananku.

”Iya!”

Kemudian, dia meledakkan tawa. Sangat nyaring dan lumayan lama. Tawa itu membuat tubuhnya berguncang. Bahkan, lengannya sedikit menyentuh lenganku. Kurasakan kulitnya sangat halus. Aku meliriknya untuk memastikan kadar kehalusan kulitnya. Dan, tanpa menyentuh, benar saja; betis, dengkul, lengan, leher, dan wajah, semuanya halus.

Baca Juga :  Wakil PM Belgia Ingin Sanksi Israel Karena Serang RS dan Kamp Pengungsi di Gaza

”Kamu dari Kuala Lumpur?”

”Tapi, kamu pasti tahu mana yang kamu dukung. Orang Indonesia pasti mendukung kemerdekaan Palestina, bukan?”

”Kalau aku, tentu saja mendukung Palestina!”

”Kamu tinggal di kamar nomor berapa?”

”Nomor 107.”

”Enak roti daging sapinya? Penginapan ini punya ciri khas itu. Selalu menyuguhkan roti daging sapi yang masih segar. Meletakkannya di atas meja kamar ketika tamu sedang pergi.”

”Enak! Tiap malam, sekembalinya aku ke kamar, selalu aku makan habis.”

”Ngomong-ngomong, namamu siapa?”

Lalu, aku menyebutkan namaku dan aku balik menanyakan namanya. Dia juga menyebutkan namanya. Tapi, aku tak bisa mengingat namanya. Terlalu susah dihafal. Selepas menyebutkan nama masing-masing, aku dan dia berjabat tangan.

”Kamu mengidolakan Yasunari Kawabata? Sampai repot-repot memakai kaus bergambar wajahnya. Atau jangan-jangan itu cuma formalitasmu karena mengunjungi Jepang.”

”Bukan formalitas. Aku memang menyukai Yasunari Kawabata.”

”Selain Yasunari Kawabata, kamu menyukai penulis Jepang siapa?”

”Haruki Murakami.”

”Sungguh?”

”Sungguh!”

”Paling-paling hanya membaca Norwegian Wood saja?” Dia memancingku.

 

”Tentu tidak. Aku sudah membaca beberapa bukunya.”

 

”Yang terakhir kamu baca dari Murakami, apa?”

 

”Sebelum terbang ke Jepang, aku membaca kumpulan cerpennya. Ada satu cerpen yang aku sukai.”

”Cerpen yang mana?”

”Cerpen tentang monyet Shinagawa.”

”Hmm… selera kita sama. Aku juga menyukai cerpen itu.”

Sedari tadi berbincang sambil berdiri, aku merasa lelah. Kemudian, aku melangkah menuju sebuah bangku taman, terbuat dari kayu, yang ada di tepi kolam. Dia mengikutiku dan duduk di sebelahku. Dipikir-pikir, dari tadi dia yang selalu menginterogasiku. Kini, giliranku menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tapi, otakku buntu. Aku tak bisa menemukan pertanyaan yang cocok buatnya. Dan, munculnya pertanyaan klise.

”Kamu sekolah atau kuliah? Sudah berapa lama magang di sini?”

”Seingatku, aku kuliah. Masih di tahun pertama. Dan, seingatku juga, baru dua atau tiga hari aku magang di sini.”

Sontak saja, kini giliranku yang tertawa ugal-ugalan. Dia meninju lenganku, ringan, sambil menerbitkan senyum mungil.

”Hei, apanya yang lucu?” Tanyanya manja.

”Harus aku jawab?”

”Iya!”

”Tapi, tadi aku tidak bertanya tentang alasanmu tertawa saat aku memberi jawaban dengan awalan ’seingatku’, bukan?”

 

Kemudian, dia kembali tertawa selepas-lepasnya. Buah dadanya menari-nari lagi. Kulihat, dia membetulkan roknya yang sedikit terangkat karena gerakan tubuhnya saat tertawa. Sempat kulirik sebentar, pahanya lebih mulus dan halus ketimbang betisnya.

’’Kamu juga mengikuti perkembangan sastra Indonesia?” Tanyaku ngawur demi menghilangkan kegelisahan karena sudah melihat pahanya

”Hanya sebatas H.B. Jassin, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Asrul Sani.”

”Nah, itu! Aku membaca novel Yasunari Kawabata hasil terjemahan Asrul Sani.”

”Judulnya?”

”Rumah Perawan.”

”Tapi, aku sudah tidak perawan.”

Tiba-tiba, serasa bulan jatuh menimpa kepalaku. Lalu, aku tenggelam dalam gurun pasir mahatandus. Mengapa dia membuat pengakuan seperti itu, tanyaku dalam hati. Aku menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri sejenak.

”Kalau boleh tahu…” aku membuka obrolan yang sempat terhenti. Tapi, aku susah untuk melanjutkannya, diriku belum tenang seutuhnya.

”Guruku yang sudah merenggut keperawananku.”

”Hei, bukan itu yang ingin aku tanyakan.” Aku mengucapkannya sambil sedikit berteriak.

”Lantas apa? Tadi kalimat pertanyaanmu terhenti.”

”Kalau boleh tahu, akhir-akhir ini apa yang kamu baca yang berkaitan dengan sastra Indonesia?” Tanyaku dalam satu tarikan napas.

Baca Juga :  Kembang Krisanku yang Tangguh

”Oh itu,” dia terlihat berpikir sambil menggigit bibir bawahnya. ”Beberapa hari yang lalu aku membaca cerpen karya penulis Indonesia.”

”Judulnya? Karya siapa?”

”Sebentar!” Dia berpikir lagi, kira-kira 15 detik. ”Aku lupa judulnya. Tapi, cerpen itu karya Eko Darmoko. Aku membaca versi terjemahan bahasa Inggris.”

”Sepertinya kita membaca cerpen yang sama. Selera sastra kita sama. Masih ingat tentang apa cerpen itu?”

”Tentang pendakian di Gunung Raung. Selepas membaca cerpennya, aku jadi punya keinginan untuk mendaki gunung itu.”

”Oh, cerpen yang itu. Sesuai prediksiku. Aku juga sudah membacanya. Membaca dari bahasa aslinya, bahasa Indonesia.”

”Kamu juga ada keinginan untuk mendaki gunung itu?”

”Aku sudah pensiun sebagai pendaki gunung. Sekarang tubuhku mudah lelah.”

”Oh! Dua bulan yang lalu, aku rampung mendaki Gunung Fuji. Tahun depan aku rencana mendaki Gunung Kinabalu. Mungkin selanjutnya ke Gunung Raung. Mau ikut?”

”Tidak, kan sudah kubilang, aku mudah lelah.”

”Kalau bercinta, apakah kamu mudah lelah juga?”

Tiba-tiba dia sudah ada di pangkuanku. Menjamah tubuhku habis-habisan. Jarum jam terus berputar sebagaimana mestinya. Malam menjadi hangat. Kami disergap puncak kelezatan.

”Lelah?” Tanyanya setelah kami bercinta di tepi kolam, di bawah bentang cahaya bulan yang menyerupai lumeran es krim vanila.

”Tidak. Aku hanya mengantuk. Oyasuminasai,” jawabku. Lalu, aku pergi ke kamar. Tidur.

Keesokan paginya, usai sarapan, aku dijemput sopir dan penerjemah. ”Bagaimana tidurnya semalam, Mas?” Tanya si penerjemah –dia mahasiswa asal Lamongan yang kuliah di Tokyo.

”Sangat nyenyak!” jawabku. Sementara si sopir, orang Jepang tulen, hanya senyum-senyum mendengar obrolan kami.

Di dalam sedan, aku membolak-balik halaman surat kabar Nishinippon Shimbun. Namun, aku hanya melihat gambar-gambarnya saja. Sebab, seluruh isi surat kabar itu menggunakan bahasa dan aksara Jepang. Dan, aku dibuat kaget oleh gambar perempuan yang bercinta denganku semalam terpampang di sebuah halaman surat kabar.

”Tolong artikan berita yang memuat foto perempuan ini!” pintaku kepada si penerjemah.

”Yang ini, Mas?” tanyanya sambil menunjuk foto perempuan dalam surat kabar.

”Ya!”

”Berita kematian, Mas.”

”Hah?” Aku mendadak sesak napas, tubuhku terasa sangat lelah. ”Detailnya bagaimana?”

”Di paragraf pertama disebutkan, Hasumi Akiho mahasiswi Universitas Tokyo, waduh satu kampus denganku, dia ditemukan tewas gantung diri di Kashiwa.”

”Kapan dia bunuh diri?”

”Sebentar, Mas, saya baca dulu,” sejenak si penerjemah larut dalam halaman surat kabar. ”Hasumi Akiho gantung diri dua pekan yang lalu. Padahal, pekan ini, dia disebutkan akan melakukan magang di Kitakyushu.”

’’Stop!”

’’Mengapa, Mas?”

’’Aku ingin tidur sebentar. Bangunkan aku jika sudah sampai lokasi liputan.”

’’Baik, Mas! Oh ya, sepulangnya Mas di Surabaya nanti, apakah Mas akan meliput Piala Dunia U-17?”

’’Tidak. Aku hanya menonton saja.”

’’Kalau Gaza. Apakah Mas ditugaskan ke sana untuk liputan?”

Aku malas menjawab pertanyaannya. Aku hanya mematung.

Roda sedan terus menggelinding. Tapi, aku tak bisa tidur. Otakku diteror Hasumi Akiho. Tiba-tiba di depanku ada penampakan bulan. Seperti semalam, cahaya bulan itu seperti lumeran es krim vanila. (*)

Kitakyushu– Surabaya, 2024

EKO DARMOKO, Bergiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Karyanya antara lain novel Anak Gunung dan kumpulan cerpen Ladang Pembantaian

Terpopuler

Artikel Terbaru