Maliiing!!! Maliiing!!!
Celaka. Mereka tahu aku yang ambil ponsel di toko itu. Hendak lari ke
mana ini. Aku tak tahu karena baru dua kali ini aku ke sini. Yang penting
sembunyi saja dulu.
—————-
DUH, di depan ada dua satpam lari
ke arahku dengan membawa pentungan. Dua-duanya lebih gemuk dariku. Yang satu
lebih jangkung dan berotot. Terlihat dari bisep yang memenuhi lengan bajunya.
Mereka tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin cukup dengan merunduk, bergerak
maju, berbalik, dan menendang lutut mereka, akan efektif melumpuhkan.
Ah, tidak, tampaknya lebih
efektif jika aku setengah melompat di antara keduanya dan memberi kejutan
dengan menampar kuping mereka. Pukulan mendadak ke organ sensorik, seperti
telinga, akan membuat mereka kehilangan keseimbangan. Mungkin salah satu dari
mereka akan sempoyongan karena didorong oleh tenaganya sendiri saat berlari.
Saat begini, aku harus berterima
kasih kepada Kakek Supriatna yang dulu memaksaku belajar silat. Meskipun cuma
silat dasar untuk membela diri. Katanya, aku memang berbakat menjadi pesilat.
Sayangnya, aku lebih senang main layang-layang dan berenang di sungai. Tapi,
cukuplah punya ilmu silat tipis-tipis untuk melumpuhkan dua satpam ini.
Perhitunganku kurang tepat.
Lincah juga satpam jangkung ini. Meski sempat terjongkok setelah aku tampar
kuping kanannya, langsung bangkit. Sementara temannya mengerang terguling di
lantai setelah menabrak tiang listrik, si jangkung langsung berlari kencang
menyerang balik. Amarahnya mendominasi. Biasanya orang seperti ini hanya
mengandalkan tenaga untuk membalas sehingga gerakannya kurang terkontrol.
Ini paling pas kalau aku
menghindari ayunan pukulannya dengan merunduk ke sisi kanannya sembari memutar
badan, lalu menyapu kedua kakinya dengan kaki kiriku. Meskipun refleksku tak
sebagus masa remaja dulu ketika rajin berlatih silat, ini masih lumayan.
Mungkin karena aku rajin mencangkul di sawah sehingga otot-ototku terjaga.
Benar, kan, dia langsung
terjengkang dan ambruk. Mumpung dia belum sadar sepenuhnya, aku harus segera
menusukkan siku kanan ke dadanya. Jangan sampai kena ulu hati karena itu bisa
membunuhnya. Lalu menguncinya dengan menekan lehernya menggunakan tangan kiri.
Sementara itu, tangan kananku terkepal dan terangkat untuk mengantisipasi siapa
tahu dia melawan balik. Namun, dalam kondisi seperti ini, kemungkinan itu hanya
seperempat dibandingkan dia menyerah.
Napasnya tersengal-sengal.
Lenganku bisa merasakan nadi dan detak jantungnya yang memburu. Jika batang
lehernya aku tekan sedikit lebih keras, dia bisa tamat.
Ingat! Aku hanya tak ingin
tertangkap, bukan untuk menghabisi satpam ini. Dia merintih kesakitan. Juga
susah bernapas. Wajahnya pias seperti diselimuti tanya, kira-kira apa yang akan
aku lakukan selanjutnya. Perlahan dia mengendurkan otot-ototnya. Saat
bersitatap, sorot matanya mengirimkan pesan mohon ampun. Aku kendurkan juga
ototku untuk memberi isyarat dia akan baik-baik saja.
Tapi, ya Tuhan, begitu mendongak
ke arah jalan, gerombolan warga datang menyerbu. Dua belas, sembilan belas,
waduh, mungkin puluhan. Mereka membawa senjata seadanya. Palu, kayu, sapu,
bahkan sendok-garpu. Mungkin dia sedang asyik makan mi, lalu diajak mengejar
maling, mengejar aku. Aku paling tak tega memukul orang-orang awam begini. Lagi
pula, Kakek Supriatna tak pernah mengajarkan jurus untuk menghadapi orang
sebanyak ini. Lebih baik aku lari.
Ketika balik badan hendak lari,
dari arah berlawanan berlarian juga puluhan orang ke arahku dengan senjata
lebih kurang sama. Aku terimpit. Jangan panik. Fokus. Aku menoleh ke kiri, ke
kanan. Tak ada jalan keluar. Aku menoleh ke atas. Itu ada pagar rumah setinggi
kepala yang bisa menghubungkan ke lantai dua, mungkin cukup untuk kabur dengan
melompatinya, menggapai plafon untuk ke lantai dua, lalu lari lewat genting
rumah-rumah warga.
Aku mengambil beberapa langkah
mundur sebagai ancang-ancang melompat. Ketika kaki sudah dua jengkal
meninggalkan bumi, sepasang tangan kekar menarik kerah bajuku dari belakang dan
mengempasku ke tanah. Aduh! Punggungku rasanya dihantam truk. Aku melihat
satpam jangkung tadi menyeringai penuh kemenangan. Selanjutnya, aku jadi
bulan-bulanan warga.
â€Kamu pasti sudah sering mencuri
di sini?â€
â€Tidak tahu malu!!!â€
â€Kembalikan HP-ku!!!â€
â€Matiin aja. Tak berguna!!!â€
â€Kalau mau HP, kerja!!!â€
***
Kami sekeluarga sudah lama tidak
mempunyai HP. Terakhir sekitar setahun lalu, HP bekas, beli di pasar ular dekat
stasiun seharga seratus lima puluh ribu. Makin lama bentuknya makin kembung
seperti ular sehabis makan kambing, lalu panas, dan tak bisa menyala lagi.
Bangkainya kami pakai ganjal salah satu kaki tempat tidur yang memendek karena
rayap. Teman kami ya mereka ini, rayap, nyamuk, lalat, kadang cacing yang
tiba-tiba muncul dari dalam lantai tanah rumah.
Tak punya HP tidak pernah menjadi
masalah hingga pandemi korona melanda. Apalagi sejak tahun ajaran baru ketika
anak-anak sekolah diharuskan belajar di rumah. Katanya, guru-guru akan
bergantian datang mengajar lewat laptop atau HP. Itu aku dengar dari anak
tunggalku, Soleha, yang mendengar kabar dari teman-temannya di kampung. Kami
tak punya HP, jadi selalu ketinggalan info dari sekolah.
â€Pak, minta tolong belikan HP
biar Soleha bisa sekolah. Sudah sebulan lebih ga ikut pelajaran,†kata Soleha
di suatu pagi yang semestinya sejuk karena saat itu hawa sisa hujan semalam
masih enggan pergi. Ini musim yang aneh, bulan Agustus tapi turun hujan. Seaneh
kondisi saat ini. Dulu masuk sekolah dilarang bawa HP, sekarang sekolah harus
lewat HP.
Pernah Soleha mengikuti pelajaran
dengan menebeng lewat HP temannya. Tak sering, mungkin cuma dua kali.
â€Sungkan, Pak.â€
â€Bukannya dia mengizinkan?â€
â€Di rumahnya ramai dan berisik.
Tidak bisa mendengar penjelasan Pak Guru dengan baik.â€
Kata Soleha lagi, temannya itu
lebih sering pakai headphone, sejenis alat bantu dengar, agar suara dari luar
tidak mengganggu. Kalau sudah begitu, Soleha hanya bisa melihat gambar tanpa
memahami kalimat gurunya, seperti melihat ikan emas di akuarium, mangap-mangap
tanpa suara. Soleha sulit menangkap pelajaran hari itu.
Itu yang mendorong Soleha
memutuskan tidak menebeng lagi dan memilih bolos sekolah. Aku juga paham kalau
akhirnya dia memberanikan diri meminta dibelikan HP, itu pasti lantaran dia
tidak menemukan jalan keluar lain. Seingatku, sejak lahir, Soleha tak pernah
meminta apa pun. Meskipun itu sekadar permen. Aku bersyukur dianugerahi anak
yang begitu paham kondisi dan derita orang tuanya.
Soleha lahir pada subuh yang
tenang. Beberapa saat setelah dia lahir, matahari bersinar lembut, seperti ikut
memberi selamat. Konon, anak yang lahir pagi hari menyukai kebersihan, lembut,
ramah, dan memiliki sopan santun yang mengagumkan. Dia juga rendah hati dan
mudah jatuh iba. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya dengan penilaian yang
cenderung berbaur dengan mitos itu. Tapi sungguh, semua itu ada pada anakku.
Dia juga pandai. Kepadanya aku
menaruh harap kelak menjadi pemutus rantai kemiskinan dalam keluarga. Kakekku,
ayahku, bahkan paman-pamanku, semuanya bekerja sebagai buruh tani. Tanah kami
habis dibeli murah oleh pengembang yang mengubah sawah menjadi perumahan. Harga
rumah-rumah itu tinggi sekali, lebih tinggi dari langit ketujuh, sampai-sampai
kami tak berani bermimpi mampu membeli.
Tapi siapa tahu, kelak Soleha
menjadi sarjana yang mendapat pekerjaan dengan upah berlimpah sehingga kami tak
perlu lagi makan dengan lauk sebutir telur dibagi tiga. Siapa tahu, Tuhan
mengabulkan doa sederhana ini dan kelak Soleha mampu memperbaiki nasib keluarga
yang selalu terlunta-lunta. Kuncinya adalah lulus sekolah. Nah, untuk bisa
lulus sekolah dia harus rajin sekolah, yang sialnya sekarang harus punya HP
kalau ingin mendengar pelajaran dari bapak dan ibu gurunya.
Iya, HP menjadi kunci untuk
mengakhiri kemiskinan keluarga.
Oleh karena itu, permintaan
Soleha untuk dibelikan HP ini sulit untuk tidak dipenuhi. Tapi, ini juga sulit
untuk dipenuhi. Kondisinya seperti terkunci di dalam toilet umum. Hendak keluar
tak ada jalan, hendak bertahan tapi aromanya bikin tak tahan. Jalan
satu-satunya mengembuskan napas, lalu mencoba sekuat tenaga untuk tidak
menghirup udara. Tapi bisa kuat berapa lama.
Sebagai buruh tani, upahku tak
pernah bisa menggapai harga HP. Pernah aku tanya harga HP ke sebuah toko di
kota. Yang paling murah, harganya setara dengan upahku satu bulan setengah
bekerja. Itu baru terbeli jika kami sekeluarga berpuasa. Kemungkinan bisa beli
HP makin kecil karena sejak empat bulan lalu sudah jarang pemilik lahan menyewa
tenagaku untuk menanam atau memanen. Musim sedang tak bagus dan mereka juga
mengurangi pengeluaran akibat pandemi. Selama bisa dikerjakan sendiri, mereka
tidak bakal menyewa kami, para buruh tani.
Akan tetapi, Soleha harus punya
HP. Maka, pagi itu aku katakan bahwa dalam beberapa hari lagi, aku akan pulang
membawa HP baru.
â€Tunggu, ya?â€
â€Gimana caranya?†tanya istriku
yang sedari tadi hanya mengamati.
â€Doakan saja. Selama ada
keinginan, semoga ada jalan.â€
***
Semua umpatan itu bersahutan
bersama tendangan, pukulan, gebukan, dan ludahan mereka. Aku bahkan merasa
badanku melayang sebelum menghunjam ke tanah. Berkali-kali. Entah apakah
bagian-bagian badan ini nanti masih berfungsi lagi. Ada yang terasa patah di
bawah ketiak kanan, mungkin tulang rusuk. Aku hanya bisa bersedekap melindungi
organ dalam dada, sementara kepalaku bebas mereka hantam.
Aku tidak peduli lagi dengan
seluruh sakit yang sudah tak terhitung ini. Aku hanya membayangkan wajah Soleha
yang baru masuk sekolah menengah pertama. Dia pasti cemas jika sampai sesore
ini ayahnya belum pulang. Dia pasti cemas karena malam ini bakal gagal lagi
mengerjakan tugas-tugas sekolahnya karena tidak punya HP. Aku mencemaskan
Soleha. Aku mencemaskan doaku. Aku mencemaskan mimpiku.(***)
(Green Village Bintaro, 7 Agustus
2020, HILMI FAIQ, Jurnalis asal Lamongan)