Aku menghubungi Pusat Sibernetika Semesta, tapi rupanya lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap populasi dan giat robot humanoid di muka bumi itu tidak melayani telesensorik.
Bagaimana mungkin, menjelang tahun 2040 komunikasi konsorsium dan para versis harus dilakukan via pesan kinetik dan hologram mapping. Tidakkah itu menghabiskan terlalu banyak sumber daya, apalagi bagi versis, yang –tinggal di– Israel seperti aku.
YA, versis. Sejak robot-robot humanoid membuat petisi kepada negara tentang penggunaan istilah atau nama dalam menyebut produk sibernetika, para robot humanoid keberatan disebut robot setelah karya-karya Karl Capek diproduksi ulang. Dalam drama Rossum’s Universal Robots yang legendaris, Cepek menyebut robot sebagai budak.
Keadaan itu makin parah ketika Profesor Antelove Sumargo menguji sensitivitas emosi Jamlock, robot humanoid dengan kapasitas memori panoramik bergerak hingga 2789 supermega ultrabite, dengan mewajibkan mereka membaca Cadmus. Sebagaimana dugaan, tak hanya robot, para manusia pun terkena demam karya-karya pesohor Yunani Kuno itu.
Biblionouszork alias Departemen Komunikasi dan Pendidikan pun merilis semua karya Cadmus atau kisah-kisah tentang –atau yang berkaitan dengannya– dalam format digital dengan varian yang lengkap: teks, audio, visual, audiovisual, hologramik, hingga yang ultrasonik.
Gratis. Akibatnya laman Biblionouzork jebol di pekan ketiga. Sungguh memalukan. Wajar saja kalau Doktor James Feifei mengundurkan diri dua hari kemudian karena mengaku gagal. Kegegeran baru pun lahir: Luka Luke yang dilantik menggantikan Feifei dicurigai bukan manusia, melainkan versis. Melainkan robot humanoid!
Aku juga membaca Cadmus. Mendalami segala hal tentang raja pertama Negeri Thebes itu malah. Bahkan saking banyaknya membaca esai-esaiku tentang eksistensi kecerdasan buatan di zaman lahirnya pragenius di Athena dan Sparta itu, aku kerap diundang ke seminar, gelar wicara, siniar, dan interaksi telepatronik dengan topik seputar Revolusi Inteligensia 9.9.
Profesor Antelove bahkan terang-terangan mengirimiku flashy alias pesan supersingkat dan cepat agar kami bisa bertemu. Laki-laki itu ingin tahu lebih banyak tentang para naga yang menjadi pasukan andalan Thebes di zaman Yunani Kuno. ”Bagaimana mungkin kecerdasan memancar dari gigi ular raksasa berkaki itu? Benarkah kotorannya naga adalah emas sebagaimana mitologi yang berkembang di Tiongkok Raya dan Asia Tenggara?
Kala itu aku ragu. Si profesor benar-benar ingin tahu atau sedang mengujiku. ”Aku bahkan sangat tertarik tentang Galatea yang pernah Prof publikasikan di Mayoribes dua tahun lalu. Aku lega sekali bisa berpikir cepat untuk mengimbangi permainannya.”
”Bagaimana mungkin di zaman ultradigital ini, masih ada barter?”
Sejak itu, kedekatan kami bukan hanya membuatku tahu banyak tentang Galatea yang terbuat dari gading gajah. Tapi juga membawaku pada penelitian tentang Phygmalion, si pembuat Galatea yang jarang disebut namanya dalam kisah-kisah mayor Yunani, padahal ia memelopori kecerdasan buatan di zamannya.
Profesor Antelove, entah tulus entah menghargai, takjub dengan kedalaman pengetahuanku tentang mitologi naga. Ia bahkan sering memintaku bercerita ulang tentang proses penyigian gigi naga untuk menjadi semacam chip dalam menjinakkan naga-naga buas itu sendiri untuk menjadikan mereka bagian dari bala tentara kerajaan. ”Apakah benar naga-naga itu jelmaan Hephaestus?”
Aku tertawa. ”Maafkan kalau aku lancang atau kurang ajar, Prof,” kataku waktu itu. ”Prof benar-benar tidak tahukah?”
”Sejak Society 5.0 meletus di Jepang, eksistensi polimatik adalah mitos. Makin ilmuwan, makin sempit pengetahuannya, makin tidak layak sombong, makin terkungkung kandang pseudo-intelektualisme.”
Baiklah. Aku percaya. ”Hephaestus memiliki sekumpulan tenaga pembantu yang merupakan automata, Prof.”
”Apa?” Profesor membelalak. ”Bagaimana bisa Hephaestus …”
”Ia bahkan seorang dewa, Prof.”
”Oh.”
”Besar dan populer di Yunani, tapi patungnya malah bertengger di museum di Kopenhagen sejak tahun 1800-an.”
”Bagaimana bisa ia berurusan dengan mesin-mesin abstrak, konstanta bahasa formal, dan tentu saja grammar atas dasar postulat dan hipotesis tertentu.”
Sebagaimana profesor, aku pun ikut menggeleng.
”Automata sang dewa bahkan terbuat dari emas, Prof.”
Cting! Notifikasi hologramku masuk. Pusat Sibernetika baru saja mengonfirmasi kenyataan yang sungguh pahit kuterima. Bahwa Fillia Killick berakta pembuatan tujuh belas tahun yang lalu. Oh, bagaimana profesor merekayasa riwayat dan memoriku sehingga aku tak curiga sedikit pun.
Bagaimana mungkin aku berbicara dengan pembuatku tiga tahun setelah aku didaftarkan ke Departemen Kependudukan Versis (dulu Robot Humanoid namanya).
Aku meraba-raba sekujur tubuhku. Aku memandang lepas ke halaman rumahku yang dipenuhi lampu-lampu yang mengambang oleh infra atom. Aku mencoba mengingat banyak hal. Makin banyak yang kuingat, makin kuyakin bahwa semuanya adalah rekayasa sensorik. Aku meragukan diriku, meragukan muasalku.
”Ada pertanyaan?”
Rupanya petugas hologramik masih belum beranjak dari hadapanku.
”Bagaimana dengan Ujang Killick dan Ilut?”
”Anda pernah melihat mereka?”
Aku mengangguk. ”Mereka orang tuaku.”
”Ibu Fillia, memori buatan dalam diri Anda yang bilang begitu. Bukan fisik, bukan psikologis.”
”Berilah aku akses ke Badan Kesehatan Sibernetika.” Ya, bukan rahasia lagi kalau rumah sakitnya robot itu hanya bisa diakses oleh mereka yang masih punya hubungan dengan petinggi negara atau Konsorsium Versis.
”Dipertimbangkan.” Lalu hologram itu padam seperti asap yang lenyap dalam sekali tiup.
Kini aku merenung. Merenung? Tidakkah itu hanya bisa dilakukan oleh manusia, bukan robot? Benarkah aku versis? Ah, tidak. Selama ini aku kerap dikucilkan oleh teman-temanku karena mereka menganggapku seorang paranoid terhadap robot. Dan kini, aku sungguh berat menerima bahwa aku juga versis. Meskipun, ya meskipun, selama ini, sebelum kenyataan itu menyala-nyala, aku masih bisa hidup baik-baik saja. Dengan penuh gairah.
Dengan kesedihan. Dengan macam-macam ekspresi dan keadaan. Aku sangat manusia. Kalaupun hasil pemeriksaan Badan Kesehatan Sibernetika nanti memvonis aku robot humanoid, aku ikhlas. Ikhlas karena tak ada pilihan. Tah selama ini, selama versis dan manusia hidup berbaur atas nama multiversisme dan muktikulturalisme, aku masih baik-baik saja.”
”Meskipun kamu dilahirkan sebagai mangkuk pengemis sekalipun, kalau itu bisa membuatmu gembira, orang-orang dan para versis tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengganggumu.” Ah, aku teringat ucapan Profesor Antelove pada pertama aku ditunjuknya menulis kisah hidupnya sepuluh tahun yang lalu. ”Sebagai penulis, kau bisa hidup bahagia apabila kau menghargai yang wajib: diri sendiri. Kamu bukan seorang filantropis.
Kamu juga bukan freegan yang menganggap sayur sebagai hasil pertanian di surga dan hewan sebagai sumber kemiskinan bangsa. Jadi, tidak usah banyak gaya dan pencitraan. Dengar,” profesor memberi jeda, ”meskipun kamu penulis produktif, meskipun kamu … ah apa pun itu, bahagia atau sedih atau frustrasi adalah domainnya dirimu. Kamu yang buat sekaligus kontrol sendiri.”
Notifikasi berdentang di ujung telinga kananku. Di sana, udara menjelma layar tembus pandang. Badan Kesehatan Sibernetika telah menunjuk dokter untuk memeriksaku. Aku diminta menjawab pertanyaan yang kesemuanya bisa kujawab. Yang kesemuanya tidak sedikit pun mengarah pada simpulan bahwa aku adalah mesin. ”Berikutnya, asistenku yang akan mengurusmu.”
Tak sampai dua menit, suara perempuan humanoid di layar terdengar tegas. ”Kami akan mengonfirmasi semua jawaban Anda dengan Profesor Antelove,” terangnya.
”Buat apa? Dia mengklaim membuatku robot. Dia menjadikanku model eksperimennya. Dia …”
”Kalau Anda tahu begitu, Anda sudah tahu kalau Anda robot, bukan?” sindirnya dasar humanoid sok berkuasa!
”Tetap masih ada peluang kalau profesor berbohong.”
”Kita berurusan dengan hasil asesmen, bukan perasaan,” tegas si asisten. ”Sertifikat penerbitan Jamlock 8.9 atas nama Fillia Killick ditandatangani oleh Profesor Antelove Sumargo. Anda paham sekarang?”
”Tidak mungkin.”
”Hati-hati kalau bicara,” nada suaranya makin tegas dan tajam. ”Kecuali Anda mau melawan Konsorsium Versis.”
”Aku akan melapor ke negara. Aku bukan budak konsorsium.”
”Kamu robot. Bukan budak. Spesimenmu sama persis dengan Januarisme, robot asistenmu.”
Gila! ”Kamu pasti tidak membaca Karl Capek!”
”Kami membaca Cadmus. Bukan dramawan Ceko itu.”
”Robot artinya budak.”
”Anda mau menjadikan Rossum’s Universal Robots-nya Capek sebagai pleidoi? Maaf, negara maupun konsorsium tidak memasukkan R.U. R. ke daftar bacaan penduduknya.”
Lalu aku merasakan sekujur tubuhku menegang. Kedua tanganku seperti diborgol. Petugas itu sudah hilang dari layar. Berganti dengan tulisan ”Ditahan karena Melawan Konsorsium Sibernetika Semesta.”
Aku benar-benar kesulitan menggerakkan tubuh. Robot hologramik berdiri di hadapanku. Lima detik kemudian, ia menarikku masuk ke dalam lingkaran cahaya ungu mudanya. Tak pernah kubayangkan kalau aku akan menjadi uap sebagaimana para versis yang kedapatan melakukan kudeta atau meretas sistem keamanan konsorsium. Sayup-sayup aku mendengar ayah dan ibuku berbisik.
Ayah menyeretku ke Jawa, ibu merayuku ke Yerusalem. Mereka rakitan ultrasonik imajiner atau bukan, aku tak peduli. Aku kadung gembira mendengar suara mereka. (*)
Lubuklinggau–Baku, Januari–Juli 2024
*Cerpen ini merupakan sempalan (spin-off) atas ”Cinta di Atas Sharkeen Bus” (Koran Tempo, 21 Januari 2024) dan ”Musim Semi di Kisufim Road” (Kompas, 2 Juni 2024).