Sepanjang Garis Tugu
/1/
Setiap perjalanan membawa hati
Kembali pada kalah
Waktu seakan badai yang tak usai
Di antara rapal tapal
Dan derau lokomotif.
Kau tanya apa yang berbeda
Dari kayuh yang menghafal peta
Mencari alamat rindu
Pintu hati buntu?
Waktu tersungkur dalam kabung
Dalam gerbong luncur jauh dari
arah timur
Tampangmu kecut, kau ingat padang
Kuruksetra
Sewaktu bheda dan danda menjadi
isyarat
Bagi lakon pandawa-korawa dikutuk
waktu
â€Tapi ini Mataram, tak kenal
kutukan,â€
Ucapmu bimbang. Berjalan ke utara
Meninggalkan gerbang yang kekal
Di simpang seorang melepas diri
Memanjat tugu
Mencongkel golong-gilik
â€Barangkali ia dikirim waktu,â€
tebakmu lugu.
Di antara gardu kaki lima,
barang-barang tua
Patung-patung gerabah juga
prasasti-pusaka.
â€Tampaknya, dia masa lalu yang
dihardik waktu,â€
Saat itu wajahmu tegak
Tapi langit tinggal corak.
/2/
Di antara hiruk dan hari-hari
pugar
Ada yang tak usai bagi kehilangan
Bangku-bangku kosong, rembulan
mati
Dan sepi pada lampu-lampu hati
Maka setiap memetik kembang
Di Malioboro suatu era.
Ada hati patah di pangkuannya.
Mengenang kekasih
Menghafal nama gang, nama
persimpangan
Dengan lidah hanacaraka mencari
alamat
Menjejali toko, pasar, terminal
Meraba-raba etalase,
gambar-gambar grafiti
Mencari yang tak diketahui, yang
lama mati.
â€Waktu adalah serangkai babak
pada arloji
Dan sesekali seorang kehilangan
sepi,†gumammu abadi
Ketika stasiun risau melepasmu
Ketika Laut, Keraton, dan Merapi
terbelah
Oleh gerbong-gerbong waktu.
Jejak Imaji, 2020
—
Ngobaran
Ingin kudengar suaramu lewat
gelombang. Ingin kudengar suaramu
Ketika angin berembus menggiring
tongkang waktu ke tepian.
Sepertimu, Ngobaran menyeret
siapa pun pada kefanaan
Ketika waktu bagaikan jarak
merentangkan gaduh
dan kehampaan pada hidup yang
kalah
Mungkin seseorang pernah tergerus
di sini. Sepanjang hamparan pasir
Yang tak lagi menyimpan apa-apa.
Mungkin bertahun silam
Ada yang dipatahkan kelam, raga
yang menjelma bayang
dan lenyap dalam arus
Maka ingin kudengar arus itu,
sebab kutahu gairah takkan tenggelam
Ingin kudengar arah angin dan kebajikan.
Ingin kudengar namamu
Yang berkali-kali dilabuhkan
sunyi. Ketika seseorang mematikkan
Nyala kobar dan membakar jiwa
dengan api
Pantai Ngobaran, 2015–2020
—
Ongkowijoyo
Sunyi menderu dalam kerasnya
rindu
Menjejaki tanah batu meniti
kesementaraan waktu
Sepanjang pendakian mengusung
hati yang gelisah dilecut musim
Keletihan inikah yang menggiring
duka pada kesepian purba
Memaknai langkah-langkah gunung,
lembah-lembah agung
Di sini deru berlalu ke arah
telaga wungu
Di mana ribuan wahyu bersemedi,
di mana tangan-tangan sunyi
Menjelma bidadari, mengusap jiwa
dan panas ubun-ubun bumi
Di sinikah namamu bersembunyi,
menjelma kubur prasasti
Perlahan kusibak kabut, kulucuti
dendam dan benci
Dari lengkung dadaku yang kelam
dan kemarau
Kurenangi sendang, kuilhami makna
comberan
Berteguk-teguk mimpi mengalir ke
ceruk sanubari
O, betapa luas padangmu
Ongkowijoyo
Berhektare-hektare riwayat
tenggelam dalam bokor kencono
Menarik diri, menyapa biru
semesta
Bila namamu kusebut di sini,
langit sebentar luruh
Laut mendadak tumpah, bumi jiwamu
tiba bergetar dan patah
Dengan jiwa tengadah dan hati
tunduk pasrah
Kugenggam erat tanganmu yang
menjulur dari lorong waktu
Kurasakan kebekuan, kurasakan
dinginnya pertemuan
Betapa musim memisahkan bumi dan
anak-anak zaman.
Nglanggeran, 2015–2020
—
(ANGGA TRIO SANJAYA. Lahir di
Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni 1991. Bergiat di komunitas â€Jejak Imajiâ€
Jogjakarta. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping)