Oleh ADAM GOTTAR PARRA
—
Di bawah langit magrib yang coreng-moreng, ia membuat bulan dari tanah liat. Dicampurnya bingkah-bingkah tanah hitam itu dengan kotoran sapi yang masih muda agar bulannya berwarna kuning emas seperti warna anak sapinya yang hilang di malam keramat.
SUTO membayangkan, setelah bulannya itu jadi nanti, akan diletakkannya di bawah pohon jati di pundukan ladang yang paling tinggi untuk menerangi kampungnya yang gelap gulita. Diterangi suluh cahaya bulan, Suto akan duduk di atas batu di depan rumahnya untuk membaca buku cerita yang belum sempat dibacanya di siang hari karena matahari keburu surup di balik bukit.
Untuk meminjam buku-buku cerita itu, Suto akan menyisihkan uang hasil berjualan kue cucur. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, Mak Kayo akan menitipkan kue cucur bikinannya sendiri pada Suto untuk dijualkan di sekolah. Dari situ Suto akan memperoleh upah seribu rupiah bila kuenya habis terjual.
Oleh karena itu, begitu lonceng istirahat berdentang, Suto akan buru-buru memasukkan buku dan pensilnya ke dalam laci, lalu bergegas menjunjung nampan ke halaman sekolah untuk menawarkan kue cucur pada teman-temannya, sebelum bocah-bocah itu menyerbu tukang es cendol di pintu gerbang.
Entah karena memang suka pada kue cucur atau merasa tidak enak pada Suto, bocah-bocah itu pun akan merubungi nampan kayu berisi kue cucur berwarna cokelat tua itu, lalu mengunyah sambil bercanda dan mengusili temannya. Air liur Suto meleleh keluar melihat teman-temannya makan kue rasa gula aren itu.
Ingin memakannya sebuah, tapi ragu-ragu. Karena takut upahnya dipotong sehingga tak bisa menyewa buku cerita. Bahkan, jika bersisa pun, kue itu akan dibawanya pulang untuk ditunjukkan pada Mak Kayo. Setelah diberikan, sebagai upah tambahan, baru dimakannya.
Pernah suatu kali, Suto pulang sekolah sambil berlinang air mata karena kuenya tidak laku terjual. Rupanya dalam perjalanan ke sekolah, di jalan turun hujan deras. Payung daun pisang yang dipetiknya di sawah tidak mampu melindungi kuenya. Angin kencang mengoyak-ngoyak pelepah pisang yang menudungi baki di kepalanya, hingga kuenya terendam air dan melar. Suto pun pulang dengan hati masygul.
Dengan uang hasil berjualan kue itulah, Suto akan menyewa komik dan buku-buku cerita anak lainnya di taman bacaan di belakang sekolah. Tetapi, karena di rumahnya tidak ada lampu, Suto tidak bisa membaca cerita di malam hari. Rumah-rumah di kampungnya tidak memakai lampu.
Kehidupan mereka terlalu papa untuk menyalakan lampu, yang berarti harus membeli minyak tanah. Sementara untuk makan sehari-hari saja susah. Sinar lampu hanya akan bersinar di malam keramat, menjelang upacara korban penyembelihan anak sapi untuk roh leluhurnya.
Oleh karena itu, di tengah hasratnya yang begitu kuat untuk membaca buku-buku cerita, Suto membayangkan dirinya membuat sebidang bulan dari tanah liat campur tai sapi untuk menerangi kampungnya yang gelap gulita.
Lalu duduk membaca buku di atas batu di laman rumahnya: mengembara di lorong-lorong kota bersama si gila, Qais, yang mencari Layla, kekasihnya, atau menertawai si sinting Don Quixote yang bertempur heroik melawan domba dan kincir angin.
Cahaya bulan yang berpendar di tengah ladang malam itu membuat Suto disanjung setinggi langit oleh warga, sampai ke desa-desa sebelah. Dan, Suto benar-benar menikmati pujian itu, sampai mabuk. Warga yang tinggal di seberang sungai terheran-heran melihat purnama terbit di akhir pekan itu, padahal bulan sedang tilem.
Sisanya yang berbentuk goresan kapur di langit telah tertelan punuk bukit kemarin malam. Mereka berkumpul di padang terbuka untuk menyaksikan cahaya keemasan yang menebarkan bau rumput busuk kotoran sapi itu.
Seraya menabuh rebana dari kulit kambing, orang-orang mengusung Suto dengan kuda kayu dari tengah ladang ke gubuknya yang kini tampak seperti bongkahan emas di antara pohon-pohon meranggas di lereng bukit.
Mereka begitu mengagumi kepandaian Suto, tanpa menyadari bocah itu sedang menahan lapar, sehingga hanya bisa tertunduk lesu dengan dagu menyentuh surai kuda kayu bermata kaca yang memantulkan sinar zig-zag ke wajah semringah orang-orang.
Gidok buru-buru melubangi dinding dan atap rumahnya agar cahaya bulan lempung itu masuk ke dalam biliknya yang gelap. Tindakan Gidok itu segera diikuti oleh yang lain, termasuk mereka yang tinggal di seberang sungai, sehingga hampir seluruh rumah di desa itu memiliki atap dan dinding yang bolong, mirip rumah kosong, dan dari situ kelak tumbuh semak-semak.
Setelah diarak keliling kampung seperti pahlawan kesiangan, mereka membawa Suto mendaki bukit untuk diantar pulang. Setiba di gubuk tanpa pagar itu, mereka berteriak-teriak memanggil Wak Bokot.
Tetapi, ayah Suto tidak terlihat di depan rumah untuk menyambut warga yang kini mengantar anaknya. Kedua orang tua itu juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka pintu. Daun pintu dari gedek itu masih tertutup rapat, diikat sepotong tali rafia.
Sikap dingin tuan rumah itu mengundang rasa curiga karena tak lazim orang desa tidur di saat senja kala. Kendati mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di dalam. Kecuali Suto. Mengapa kedua orang tuanya tidak keluar menemui mereka. Saat Suto keluar rumah menuju pinggir sungai tadi sore, ayahnya tengah terbaring lemah menahan lapar di biliknya yang pengap.
Sementara ibunya sedang merebus daun singkong tua yang sebagian sudah menguning. Suto tahu, kedua orang tuanya tidak keluar rumah bukan karena tidur, tapi tak punya tenaga untuk melangkah di ambang pintu. Kelaparan telah membuat persendian mereka lemas seperti sulur kangkung.
Sehingga, saat orang-orang berteriak memanggil nama Wak Bokot sambil menceritakan kehebatan Suto dengan kata-kata berbusa, ayahnya cuma terdiam seperti bantal kumal. Hanya terdengar suara erangan parau ibunya yang sedang mengunyah daun singkong di depan tungku. Sementara warga terus memanggil-manggil dari halaman.
”Wak Bokot, buka pintu!” teriak Samun sambil menahan beban di pundaknya.
”Bokot, kamu kasih makan apa anakmu, kok pintar sekali!”
”Mimpi apa waktu melahirkan Suto, Mak Joli?”
Jauh di lubuk hati, Suto merasa tersinggung dengan segala puji sanjung itu.
”Mana ayahmu, To?” tanya Samun sambil menggerak-gerakkan kaki kuda kayu di bahunya. Ia merasa menyesal telah ikut memikul ”iblis” kecil yang suka mengajak teman-temannya membolos dari sekolah itu. Seandainya itu terjadi sebelum Suto membuat bulan dari tanah liat, tentu sudah dibantingnya bocah itu ke tanah.
”Mana ayahmu, Uto?” Samun menepuk-nepuk kaki Suto.
Tapi, Suto tidak menjawab. Bukan karena malu diketahui orang tuanya sedang kelaparan, melainkan karena tidak ada orang lain di pinggir kali itu, kecuali dirinya yang sedang mengepal-ngepalkan adonan lempung dan tai sapi seraya membayangkan rumahnya terang benderang oleh cahaya bulan dan dirinya yang sedang membaca komik.
Untuk membuat bulan, Suto memilih tanah liat yang paling baik di tepi bengawan yang membelah ladang dari selatan ke utara itu. Tanahnya masih bergetah seperti adonan tepung kanji. Kalau menemukan kerikil atau akar serabut serambut pun, akan langsung dibuangnya.
Bocah itu tak ingin bulan yang dibuatnya bercampur dengan kerikil atau remah-remah sampah, yang akan merusak keindahannya. Walau sesungguhnya bulan yang asli pun memiliki banyak sekali bercak-bercak hitam, yang terlihat seperti kodok purba dari bumi.
Tetapi, hal itu tidak mengurangi rasa kagum Suto pada cahaya malam yang kerap menuntunnya memilih jalan setapak bercecabang mirip jejak kaki bekisar di ladang, yang mengantarnya sampai ke Balara, untuk menonton tari-tarian pada malam penobatan pemangku adat. Walau pernah juga nyasar sampai ke Bakolo. Itu terjadi saat hujan deras dan mendung menghapus cahaya bulan di tanah.
Suto masih mengepal-ngepalkan lempung di pinggir bengawan yang mulai gelap dan ditingkahi ratapan burung pungguk di pohon anonim yang tak sempat diajarkan Tuhan kepada Adam sebelum diusir dari surga karena makan buah kepayang, ketika kerumunan orang-orang di halaman rumahnya mengingatkan Suto pada sebuah dongeng Israiliat yang pernah diceritakan guru agamanya di sekolah.
Konon, setelah Musa berhasil membawa orang-orang Israel keluar dari Mesir lewat Laut Merah yang terbelah, tatkala mereka tiba di sebuah gumuk, Samiri menyuruh mereka mengumpulkan perhiasannya untuk dilebur jadi patung sapi.
Setelah jadi, konon, patung sapi emas itu bisa berbunyi, seperti lenguh anak sapinya yang hilang di malam keramat, sehingga dianggap sebagai Tuhan dan disembah oleh orang-orang Israel yang sedang eksodus menuju Tanah yang Dijanjikan itu.
Menyaksikan umatnya menyembah berhala, Musa yang baru kembali dari Bukit Zion pun murka, lantas membanting papan batu di tangannya, hingga pecah berkeping-keping. Belakangan seorang ahli Semitik menyusun kembali puzzle-puzzle tulisan tangan Tuhan itu sehingga Sepuluh Perintah Tuhan kepada bangsa Israel itu mulai menerangi kegelapan dunia Timur, seperti cahaya bulan lempung yang menerangi tengah ladang.
”Jika Samiri bisa membuat patung sapi, aku lebih hebat lagi, bisa membuat bulan dari tai sapi,” kata Suto membanggakan diri di depan kawan-kawannya yang sedang makan kue cucur. Hampir saja ia mengumumkan dirinya sebagai nabi yang ke-26, tapi teman-temannya berusaha mencegah, karena Suto sering tidak naik kelas sehingga tidak pantas menjadi nabi.
Walau begitu, Suto tetap bocah yang berbakat. Aksi-aksi Suto sering membuat guru-gurunya tercengang. Suatu hari ia mengajak teman-temannya membolos untuk membuat patung kuda terbang dari tanah liat. Setelah jadi, patung-patung pegasus itu dijajarkannya di jalan setapak menuju ke rumahnya di atas bukit.
Pagi-pagi saat Suto kembali ke sekolah, seharusnya ia dihukum karena mengajak teman-temannya membolos. Tapi, guru kesenian membelanya sehingga Suto batal dihukum.
Samun yang memikul kuda kayu membanting binatang palsu itu ke tanah, hingga Suto tergeragap dan tersadar sejenak dari khayal.
Begitu cepatnya kekaguman orang-orang pada bulan berubah, dalam waktu sekejap telah menguap seperti embun di kaca. Padahal baru saja mereka mengarak Suto dengan penuh kebanggaan, sekarang sudah dihujat, bahkan diancam akan dibunuh.
”Wak Bokot, mana Suto? Gara-gara dia Tugil tidak naik kelas!” teriak Gapil seraya melecutkan cemeti ke pantat kuda kayu yang seksi.
”Suto, kenapa kamu ajak Popon mabuk?” kata Darsat sambil menghunus belati.
Suto terkejut karena tuduhan itu sudah keterlaluan, mengandung fitnah. Padahal sekali pun ia tidak pernah menyentuh minuman keras, apalagi meminumnya. Saking marahnya, ia lupa kalau itu cuma khayalan.
”Jangan buat fitnah. Saya bersedia dikutuk jadi buaya kalau pernah minum tuak,” bantahnya kesal sambil beranjak meninggalkan sungai.
***
Terlihat Suto berjalan menyeberangi ladang yang ditumbuhi semak-semak kering, menuju ke pundukan yang paling tinggi untuk meletakkan bulan lempung bercampur tai sapi di bawah pohon jati. Agar tidak terkikis oleh hujan dan embun, bulan tanah itu akan dibakarnya sampai merah seperti genting.
Suto menyalakan korek api, lalu menyulut semak-semak. Api segera menjalar ke tengah ladang dan lereng bukit, menjilat dahan pohon dan atap-atap rumah. Dalam waktu sekejap segalanya berubah jadi kobaran api. Segalanya memerah, hingga bulan pun sepucat lembu.
Suto telah membakar kampung. Orang-orang desa mencarinya untuk dibakar hidup-hidup seperti anak lembu yang hilang di malam keramat. (*)
ADAM GOTTAR PARRA, Lahir 12 September 1967 di Praya, Lombok Tengah.