28.6 C
Jakarta
Saturday, January 18, 2025

Ketika Orang Muhammadiyah Ziarah ke Karbala

Iqbal Aji Daryono melalui catatan perjalanan ini memberikan informasi dan kesaksian penting, setidaknya sebagai ”agen” yang mengklarifikasi terhadap anggapan miring perihal ajaran dan tradisi Syiah.

LELAKI itu, Iqbal Aji Daryono, penulis buku Lelaki Sunni di Kota Syi’ah, akhirnya sampai di Karbala, Iraq, untuk melaksanakan ziarah Arbain ke makam Sayidina Husain, setelah menurut pengakuannya mempertimbangkan selama sembilan tahun. Mengapa selama itu? Ada apa dengan Karbala? Bukankah aktivitas ziarah, apalagi kepada orang terpandang, memiliki trah mulia, dalam Islam merupakan anjuran atau sunah Nabi, yang sejatinya tanpa perlu berpikir panjang hingga butuh waktu tahunan?

Sayidina Husain merupakan putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra (putri Nabi Muhammad SAW). Cucu Nabi Muhammad SAW tersebut gugur bersama keluarga lainnya dalam pertempuran yang tidak seimbang dengan pasukan Yazid bin Muawiyah pada 10 Oktober 680 M atau 10 Muharam 61 H dan ”dibantai” secara sadis. Pasukan Sayidina Husain tidak lebih dari 200 orang, sedangkan pasukan Yazid bin Muawiyah konon mencapai 30 ribu orang.

Peristiwa itu terjadi di Karbala. Sayidina Husain beserta keluarga dan pasukannya dianggap sebagai martir dan mendapat gelar Sayid Al Syuhada. Sejak saat itu, untuk mengenang kesyahidan Sayidina Husain, setiap tahun diselenggarakan semacam festival Asyura dan sekaligus ziarah Arbain (hari ke-40 atas syahidnya Sayidina Husain). Ritual ziarah Arbain dimulai dari perjalanan (lazimnya jalan kaki) dari Najaf ke Karbala, yang jaraknya sekitar 50 mil atau 80 kilometer.

Dari peristiwa itu pula, menandai perpecahan Islam antara Sunni dan Syiah. Dan ziarah Arbain sangat identik dan umumnya dilakukan umat Islam Syiah dari seluruh penjuru dunia. Lalu, kenapa Iqbal, seorang keturunan Sunni-Muhammadiyah, punya keinginan dan nekat melaksanakan ziarah Arbain? Apakah ia tidak khawatir ”auto-Syiah” dan mendapat sorotan sinis dari persyarikatan Muhammadiyah serta umat muslim Sunni pada umumnya?

Tentang Iqbal seorang Muhammadiyah, sebenarnya mudah diketahui, tanpa perlu ia memperkenalkan diri sebagai anak dari seorang aktivis organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu. Misalnya, ketika dia mengekspresikan salawat kepada nabi dan keluarganya, ia menulis Allahumma shalli ’ala Muhammad wa ali Muhammad (halaman 95, 144-145).

Baca Juga :  Undangan Bertemu Teman Lama

Beda dengan, katakanlah, orang NU, biasanya menulis Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ali Sayyidina Muhammad. Memang bedanya tipis, tapi sangat distingtif untuk membedakan warga kedua ormas Islam ini.

Iqbal melalui catatan perjalanan ini memberikan informasi dan kesaksian penting, setidaknya sebagai ”agen” yang mengklarifikasi terhadap anggapan miring perihal ajaran dan tradisi Syiah. Praktik salat antara Sunni dan Syiah, menurut pengamatan langsung Iqbal, tidak jauh berbeda, hampir sama, kalaupun beda hal lumrah, sebagaimana tata cara salatnya Muhammadiyah dan NU.

”Tapi ternyata, setelah saya saksikan sendiri dengan langsung menjadi makmum di salat berjamaah Magrib dan Isya’ di Haram Imam Ali, bisa saya katakan, 95 persen salatnya orang Syi’ah dan Sunni itu sama. Takbirnya sama, al-Fatihahnya sama, ruku’-sujudnya sama. Yang disembah juga Allah, bukan pohon kaktus atau batu-batuan,” tulis Iqbal (halaman 141).

Itulah sebabnya, saat Iqbal salat di tengah kerumunan umat Syiah, sekaligus bertindak layaknya ”mata-mata”, sehingga tahu setiap gerakannya, dan ia tanpa beban mengikuti salat ala Syiah. Sikap ini, diakui oleh Iqbal, bukan semata-mata sebagai bentuk toleransi, tapi lebih kepada takut! (halaman 153).

Takut salat dengan cara Sunni di tengah ratusan bahkan ribuan orang Syiah. Di luar itu, Anda bisa membayangkan bagaimana salatnya seseorang melakukan spionase kepada orang lain yang juga salat di sekitarnya.

Dengan penuh keyakinan, Iqbal sampai pada satu titik kesimpulan bahwa perbedaan salat antara Sunni dan Syiah hanya terletak pada posisi tangan yang tidak bersedekap, bacaan ”amin” yang tidak diucapkan setelah Al Fatihah, kunut setiap rakaat kedua sebelum rukuk, takbir sambil mengangkat tangan tiga kali selepas salam, serta turbah alias lempeng tanah Karbala yang dipakai sebagai alas sujud.

Iqbal juga mengklarifikasi anggapan-anggapan miring lainnya, seperti tuduhan tentang Ali bin Abi Thalib yang ditempatkan sebagai nabi, yang disebutnya tak lebih dari broker fitnah belaka. Posisi Ali hanyalah waliyullah, bukan Rasulullah; tarian latmiyat sebagai ritual Muharam yang biasanya mengungkapkan kesedihan melalui puisi dan tepuk dada yang menyiksa diri, menurut pengamatan Iqbal, dulu memang ada, tapi sudah sejak lama tidak diperbolehkan.

Baca Juga :  H. Masrani : Rohnya Muhammadiyah Adalah Pengajian

Pada akhirnya, catatan perjalanan Iqbal ini penting diketahui tidak hanya oleh ”kaum Muhammadiyah” yang agak resistan dan reaksioner terhadap hal ihwal Syiah, tetapi juga seluruh umat muslim terutama di Indonesia, untuk menepis stigma negatif terhadap ahlul bait dari jalur Ali bin Abi Thalib-Fatimah Az Zahrah.

Iqbal sebenarnya bukan satu-satunya orang Muhammadiyah yang melaksanakan ziarah Arbain, tapi, yang saya tahu, ada lagi, hanya tidak memublikasikan lantaran setengah takut ”dimusuhi” orang-orang yang tidak sejalan dengan pikirannya.

Dalam buku ini, pembaca tidak hanya membaca konten atau materi, tapi dimanjakan pula oleh siraman gambar hasil jepretan Iqbal saat melaksanakan ziarah Arbain. Gambar-gambar itu –Iqbal sebenarnya (karena alasan tertentu) gagal menempuh perjalanan panjang hingga 80 kilometer– cukup banyak, sementara teks-narasinya sedikit, hanya 16 teks (masing-masing teks yang kemudian menjadi nama bab kurang lebih 500 kata), sehingga terkesan boros gambar.

Andai saja ditambah satu halaman lagi yang bergambar, buku ini akan menjadi cergam (cerita gambar). Ditambah, ulasan materi di dalamnya juga kurang mendalam jika dibandingkan dengan catatan perjalanan penulis lain, sebut saja yang paling baru karya Agustinus Wibowo, Kita dan Mereka, sama-sama diterbitkan Mizan (2024).

Meski demikian, buku ini tetap menyala di hadapan pembacanya, apalagi Iqbal sebagai penulis dan kolumnis kawakan punya follower yang berjibun. Gaya tulisannya mengalir, enak dibaca, dan jenaka, sehingga bagi siapa saja yang membaca akan dibuat betah, padahal yang dibahas sebenarnya tema berat. Dalam sekejap, sekali duduk, barangkali satu jam akan khatam. (*)

Judul: Lelaki Sunni di Kota Syi’ah: Kisah Perjalanan Ziarah Arbain dari Najaf hingga Karbala

Penulis: Iqbal Aji Daryono

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, Januari 2024

Tebal: 191 halaman

*) ALI USMAN, Sarjana teologi dan filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Iqbal Aji Daryono melalui catatan perjalanan ini memberikan informasi dan kesaksian penting, setidaknya sebagai ”agen” yang mengklarifikasi terhadap anggapan miring perihal ajaran dan tradisi Syiah.

LELAKI itu, Iqbal Aji Daryono, penulis buku Lelaki Sunni di Kota Syi’ah, akhirnya sampai di Karbala, Iraq, untuk melaksanakan ziarah Arbain ke makam Sayidina Husain, setelah menurut pengakuannya mempertimbangkan selama sembilan tahun. Mengapa selama itu? Ada apa dengan Karbala? Bukankah aktivitas ziarah, apalagi kepada orang terpandang, memiliki trah mulia, dalam Islam merupakan anjuran atau sunah Nabi, yang sejatinya tanpa perlu berpikir panjang hingga butuh waktu tahunan?

Sayidina Husain merupakan putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra (putri Nabi Muhammad SAW). Cucu Nabi Muhammad SAW tersebut gugur bersama keluarga lainnya dalam pertempuran yang tidak seimbang dengan pasukan Yazid bin Muawiyah pada 10 Oktober 680 M atau 10 Muharam 61 H dan ”dibantai” secara sadis. Pasukan Sayidina Husain tidak lebih dari 200 orang, sedangkan pasukan Yazid bin Muawiyah konon mencapai 30 ribu orang.

Peristiwa itu terjadi di Karbala. Sayidina Husain beserta keluarga dan pasukannya dianggap sebagai martir dan mendapat gelar Sayid Al Syuhada. Sejak saat itu, untuk mengenang kesyahidan Sayidina Husain, setiap tahun diselenggarakan semacam festival Asyura dan sekaligus ziarah Arbain (hari ke-40 atas syahidnya Sayidina Husain). Ritual ziarah Arbain dimulai dari perjalanan (lazimnya jalan kaki) dari Najaf ke Karbala, yang jaraknya sekitar 50 mil atau 80 kilometer.

Dari peristiwa itu pula, menandai perpecahan Islam antara Sunni dan Syiah. Dan ziarah Arbain sangat identik dan umumnya dilakukan umat Islam Syiah dari seluruh penjuru dunia. Lalu, kenapa Iqbal, seorang keturunan Sunni-Muhammadiyah, punya keinginan dan nekat melaksanakan ziarah Arbain? Apakah ia tidak khawatir ”auto-Syiah” dan mendapat sorotan sinis dari persyarikatan Muhammadiyah serta umat muslim Sunni pada umumnya?

Tentang Iqbal seorang Muhammadiyah, sebenarnya mudah diketahui, tanpa perlu ia memperkenalkan diri sebagai anak dari seorang aktivis organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu. Misalnya, ketika dia mengekspresikan salawat kepada nabi dan keluarganya, ia menulis Allahumma shalli ’ala Muhammad wa ali Muhammad (halaman 95, 144-145).

Baca Juga :  Undangan Bertemu Teman Lama

Beda dengan, katakanlah, orang NU, biasanya menulis Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ali Sayyidina Muhammad. Memang bedanya tipis, tapi sangat distingtif untuk membedakan warga kedua ormas Islam ini.

Iqbal melalui catatan perjalanan ini memberikan informasi dan kesaksian penting, setidaknya sebagai ”agen” yang mengklarifikasi terhadap anggapan miring perihal ajaran dan tradisi Syiah. Praktik salat antara Sunni dan Syiah, menurut pengamatan langsung Iqbal, tidak jauh berbeda, hampir sama, kalaupun beda hal lumrah, sebagaimana tata cara salatnya Muhammadiyah dan NU.

”Tapi ternyata, setelah saya saksikan sendiri dengan langsung menjadi makmum di salat berjamaah Magrib dan Isya’ di Haram Imam Ali, bisa saya katakan, 95 persen salatnya orang Syi’ah dan Sunni itu sama. Takbirnya sama, al-Fatihahnya sama, ruku’-sujudnya sama. Yang disembah juga Allah, bukan pohon kaktus atau batu-batuan,” tulis Iqbal (halaman 141).

Itulah sebabnya, saat Iqbal salat di tengah kerumunan umat Syiah, sekaligus bertindak layaknya ”mata-mata”, sehingga tahu setiap gerakannya, dan ia tanpa beban mengikuti salat ala Syiah. Sikap ini, diakui oleh Iqbal, bukan semata-mata sebagai bentuk toleransi, tapi lebih kepada takut! (halaman 153).

Takut salat dengan cara Sunni di tengah ratusan bahkan ribuan orang Syiah. Di luar itu, Anda bisa membayangkan bagaimana salatnya seseorang melakukan spionase kepada orang lain yang juga salat di sekitarnya.

Dengan penuh keyakinan, Iqbal sampai pada satu titik kesimpulan bahwa perbedaan salat antara Sunni dan Syiah hanya terletak pada posisi tangan yang tidak bersedekap, bacaan ”amin” yang tidak diucapkan setelah Al Fatihah, kunut setiap rakaat kedua sebelum rukuk, takbir sambil mengangkat tangan tiga kali selepas salam, serta turbah alias lempeng tanah Karbala yang dipakai sebagai alas sujud.

Iqbal juga mengklarifikasi anggapan-anggapan miring lainnya, seperti tuduhan tentang Ali bin Abi Thalib yang ditempatkan sebagai nabi, yang disebutnya tak lebih dari broker fitnah belaka. Posisi Ali hanyalah waliyullah, bukan Rasulullah; tarian latmiyat sebagai ritual Muharam yang biasanya mengungkapkan kesedihan melalui puisi dan tepuk dada yang menyiksa diri, menurut pengamatan Iqbal, dulu memang ada, tapi sudah sejak lama tidak diperbolehkan.

Baca Juga :  H. Masrani : Rohnya Muhammadiyah Adalah Pengajian

Pada akhirnya, catatan perjalanan Iqbal ini penting diketahui tidak hanya oleh ”kaum Muhammadiyah” yang agak resistan dan reaksioner terhadap hal ihwal Syiah, tetapi juga seluruh umat muslim terutama di Indonesia, untuk menepis stigma negatif terhadap ahlul bait dari jalur Ali bin Abi Thalib-Fatimah Az Zahrah.

Iqbal sebenarnya bukan satu-satunya orang Muhammadiyah yang melaksanakan ziarah Arbain, tapi, yang saya tahu, ada lagi, hanya tidak memublikasikan lantaran setengah takut ”dimusuhi” orang-orang yang tidak sejalan dengan pikirannya.

Dalam buku ini, pembaca tidak hanya membaca konten atau materi, tapi dimanjakan pula oleh siraman gambar hasil jepretan Iqbal saat melaksanakan ziarah Arbain. Gambar-gambar itu –Iqbal sebenarnya (karena alasan tertentu) gagal menempuh perjalanan panjang hingga 80 kilometer– cukup banyak, sementara teks-narasinya sedikit, hanya 16 teks (masing-masing teks yang kemudian menjadi nama bab kurang lebih 500 kata), sehingga terkesan boros gambar.

Andai saja ditambah satu halaman lagi yang bergambar, buku ini akan menjadi cergam (cerita gambar). Ditambah, ulasan materi di dalamnya juga kurang mendalam jika dibandingkan dengan catatan perjalanan penulis lain, sebut saja yang paling baru karya Agustinus Wibowo, Kita dan Mereka, sama-sama diterbitkan Mizan (2024).

Meski demikian, buku ini tetap menyala di hadapan pembacanya, apalagi Iqbal sebagai penulis dan kolumnis kawakan punya follower yang berjibun. Gaya tulisannya mengalir, enak dibaca, dan jenaka, sehingga bagi siapa saja yang membaca akan dibuat betah, padahal yang dibahas sebenarnya tema berat. Dalam sekejap, sekali duduk, barangkali satu jam akan khatam. (*)

Judul: Lelaki Sunni di Kota Syi’ah: Kisah Perjalanan Ziarah Arbain dari Najaf hingga Karbala

Penulis: Iqbal Aji Daryono

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, Januari 2024

Tebal: 191 halaman

*) ALI USMAN, Sarjana teologi dan filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Terpopuler

Artikel Terbaru