Di siang yang basah, kami berjalan ke simpang tiga. Ayah ke barat. Ibu ke tenggara. Ingatan baru merangkak. Kenangan belum berjalan. Tapi, aku masih tiga tahun. Belum mengerti kasih sayang. Belum tahu apa itu kenangan. Belum tahu ngerinya perceraian.
Kata Kakek, belum saatnya aku berkenalan dengan kesedihan, dipeluk perpisahan, apalagi dibunuh kebencian. Itu juga yang ia katakan ketika aku menangis di hari kematian Nenek. Di Rupit, laki-laki 80 tahun itu merawatku seperti menyirami bumi dengan dendam pada negara yang dibawa mati. Ketika beranjak remaja, aku mulai mengerti.
Baginya, label veteran, janji tunjangan pejuang, hadiah umrah, dan bingkisan sarung murahan adalah satire rutin 17 Agustusan. Dia malah bersyukur tidak diakui sebagai pejuang kalau keberadaannya hanya untuk seremonialitas itu. โโUrus dirimu sendiri, kejar mimpimu. Persetan dengan orang lain!โ
โโBagaimana dengan Ayah dan Ibu?โ Aku tahu, hubungan Kakek dengan mereka tidak baik-baik saja.
Nyesal berobat mahal untuk diabetes, karena telat tau Ini (Baca)
Pelajari Lebih
โโKeluarga adalah matahari, Kas.โ Sejujurnya, aku terkejut dengan jawaban itu. โโSinarnya menjadikanmu ada sehingga membelakanginya akan membuatmu kelihatan bodoh.โ Aku merasakan penyesalan dalam kata-katanya.
Pesan itulah yang kupegang ketika enam bulan setelah kepindahanku ke Jakarta, Ibu menelepon dari Rupit. โโBagaimanapun, Rafin dan Amdit adik-adikmu,โ ujarnya di tengah percakapan, โโJadi, tampunglah sementara mereka belum dapat kerja. Suruh kerja apa saja di rumah makanmu. Mereka bukan anak muda yang pemalas.โ Meski diutarakan dengan tenang, kata-kata itu mengobrak-abrik ketenanganku.
โRuko โtermasuk rumah makanโ ini bukan milik Abang seorang,โ kataku pada Rafin dan Amdit setelah menunjukkan kamar mereka di lantai dua. Aku kemudian menceritakan sekilas tentang Bita, koki muda sekaligus rekan binisku, yang tinggal satu kilometer dari rumah makan. โJadi, kalau kalian luang, turunlah,โ lanjutku hati-hati. Aku tak ingin terdengar memerintah. โBantu-bantulah rumah makan.โ
Alhamdulillah, mereka bisa menempatkan diri dengan baik. Mereka tak segan mencuci piring kalau rumah makan sedang ramai atau mengepel lantai kalau di luar hujan. Bita sangat menyukai mereka dan itu sungguh membuatku tenang sekaligus gembira. Mulanya, aku khawatir gadis 25 tahun itu menentang keputusanku menampung mereka.
Dua bulan kemudian, giliran Ayah yang menelepon dari kampung. โAlmarhum kakekmu memberikan semua uang penjualan kebun karetnya kepadamu, bukan hanya untuk menampung adik-adik tiri dari ibumu,โ protesnya. โRinda dan Nai juga adik-adikmu.โ Aku mau bicara ketika ia kembali mencerocos. โKalau ibumu tak menikah duluan, belum tentu Ayah kawin, belum tentu โฆโ
โโKirimlah mereka,โ potongku to the point.
โโDengar, Syih!โ Ayah mulai berteriak. โโAyah dan Ibu memang sudah berpisah, tapi kami bisa bersatu demi adik-adikmu!โ Ia belum berubah, masih suka mengancam. Oh, keluarga adalah matahari โฆ
Rinda dan Nai cekatan di dapur. Mereka ternyata bisa menjadi asisten yang baik bagi Bita. Aku lega, meski selalu mencemaskan kalau-kalau mereka melakukan kesalahan.
Namun, hal yang paling menggembirakan adalah: seakan berbagi tugas, Rafin mengawal Rinda, sebagaimana Amdit yang menjelma bodyguard Nai, ketika menyebarkan lamaran ke mana-mana. Ah, aku bangga sekali dengan sikap tanggung jawab yang ditunjukkan kedua adik laki-lakiku itu.
โTa, aku minta maaf,โ kataku suatu malam.
Bita tersenyum. Lalu menggeleng. โโI am okay, Syih,โ katanya tenang. โโBagaimana lamaran adik-adik?โ tanyanya kemudian. Aku tak menangkap basa-basi di wajahnya. โโAda yang dapat panggilan?โ
Aku paham arah pertanyaan itu.
Sejak itu, aku mengalokasikan waktu, tenaga, dan materi โapa saja!โ agar keempat adikku mendapatkan pekerjaan. Benar saja, tak sampai setahun, mereka lulus wawancara terakhir. Selama itu pula, semua bagianku dari rumah makan kualihkan untuk kebutuhan mereka โtransportasi di Jakarta yang tidak murah, membeli pakaian kerja yang layak, hingga โฆ menyuap bagian personalia yang selalu pura-pura keberatan.
โโKarena tempat kerja kalian sama-sama di Jaksel,โ kataku di hari kepindahan mereka dari rumah makan. โโAbang sudah mencarikan kos yang cukup besar di Jatinegara.โ
Mereka diam. Menunggu.
โโItu bisa menghemat pengeluaran. Dapur kalian cuma satu. Masalah apa pun bisa kalian pecahkan sama-sama. Tentu saja kalian boleh menghubungi Abang kapan saja kalau ada masalah.โ Ah, perasaan lega dan kehilangan bersigesek dalam dada.
โKamu memang hebat, Syih,โ puji Bita keesokan harinya. โKalau jadi kamu, sudah lama aku ambruk.โ
Aku cuma tersenyum.
โโBesok, rumah makan ini tepat dua tahun,โ gadis berambut sebahu itu menatapku, dalam.
Aku merasa bersalah. Aku tahu maksudnya.
โโMasih ingat janjimu?โ
โโMinggu depan, Ta.โ
โโMembawa ayah-ibumu?โ suaranya lebih terdengar menagih daripada bertanya.
Aku diam.
โโAh, sudahlah,โ Bita menganulir pertanyaannya sendiri. โโAku sudah menerangkan segalanya pada Papa dan Mama.โ
Aku memandang Bita, takjub.
โโMereka sangat bangga padamu. Mereka sangat ingin bertemu.โ
Aku ingin tersenyum ketika ponsel Bita berdering. โMama,โ bisiknya padaku seraya menutup speaker dengan telapak tangannya.
Aku gegas mencangking ponselnya. โMinggu depan Zarkasyih akan ke Surabaya, Bu. Mau sungkem. Sekalian minta izin ngambil anak Ibu.โ Meski belum pernah bertemu ibunya Bita, tak sedikit pun aku singkuh berbicara dengannya.
Begitu memasuki kompleks perumahan elite, bendera merah berukuran raksasa tampak berkibar-kibar di kejauhan. Aku tersenyum. Aku tiba-tiba teringat Kakek yang sangat Sukarnois. Ingatanku berlari kencang ke suatu malam di tahun 1999.
โKamu tahu, Kas, tahun 1980-an itu.โ Kakek kebingungan menghadapi api yang mulai menjalari jiwanya. โSiapa yang duduk di kursi empuk DPR di bawah bendera beringin โฆโ Aku tak pernah melihat Kakek seterbakar malam itu. โโฆ yang ikut-ikutan menuduh kalau banyak pemberontak bersarang di Partai Banteng?!โ Tentu saja aku tak tahu. Aku lahir tahun 1980 dan anak SD mana peduli politik. โSalah satunya adalah Yang Terhormat Ahmad Basri Jailani. โ Oh, itu adalah nama ayah dari ibuku.
Kakekku juga. Kakek yang kata Ibu pernah menggendongku beberapa bulan sebelum perceraian itu. โSaking lihainya si Basri menjilat telapak kaki Suharto, kata-katanya โyang disiarkan berulang kali di RRI dan beredar bebas di koran-koranโ diimani pemerintah!โ Aku ingin sekali menghentikan Kakek, tapi aku juga ingin sekali mendengarkan semuanya. Oh.
โMaka, konsekuensi bualannya adalah hanya veteran pendukung Orde Baru yang dianggap pejuang, yang memakai batik kuning dengan cantolan bros beringin kuning di dekat kantong bajunya, yang memakai kopiah kuning, atau yang berdiri di atas tongkat yang kepalanya diberi aksen kuningan!โ Bibir Kakek bergetar. Kursi yang didudukinya ikutan bergetar.
โKatakan pada Kakek, Kas: sejak kapan peperangan bisa menyortir jiwa rezim yang belum lahir? Sejak kapan kanopi beringin berwarna taik?โ Kakek ternyata sangat rapuh. โSialnyaโฆโ Kakek kini mengacak-acak rambut putihnya yang kelimis. โโฆ Kakek baru menyadari semuanya setelah ijab kabul itu diteriaki sah oleh para saksi!โ Ingin sekali aku memeluk Kakek.
โSyih!โ Bita memecah lamunanku. โKita sudah sampai nih!โ
Aku menoleh ke luar tanpa menurunkan kaca mobil. Sebuah rumah dengan dinding yang dilapisi batu alam berdiri megah. Sebuah tiang bendera yang terbuat dari beton menjulang tinggi di sudut pekarangannya.
Aku mendongak ke pucuknya seraya menurunkan kaca mobil. Oh, bagaimana aku bisa salah lihat? Aku mengucek-ngucek mata. Kibaran bendera kuning itu membuat kepalaku menyut.
โSyih?โ Bita memanggil. Di muka pagar, ia diapit pasangan suami-istri paro baya yang tersenyum lebar.
โAda masalah apa, Syih?โ tanya Bita ketika aku berjalan keluar. โDi hari penting ini kamu tiba-tiba berubah?โ
Aku diam, tak tahu harus mulai dari mana.
โUntung Papa ada rapat mendadak sehingga acara kita dipercepat โฆโ
Ternyata ini Rahasia atasi Masalah Vitalitas Pria secara Cepat
Ternyata ini Rahasia atasi Masalah Vitalitas Pria secara Cepat
Pelajari Lebih
Aku ingin menyela, tapi urung.
โ โฆ Sehingga keanehan sikapmu tidak terendus.โ
Di pesawat tadi, aku memang membaca berita perihal kunjungan ketua DPR Pusat โyang berasal dari partai ayahnya Bitaโ ke Surabaya hari ini.
Ponselku berdering.
Nai meraung di seberang. Suaranya tak jelas. Beberapa detik kemudian, Rinda yang bicara. โAbang di mana?โ tanyanya panik. Sebagaimana Nai, gadis itu tampaknya barusan menangis hebat.
โAku harus ke Jakarta, Ta!โ kataku usai menutup percakapan.
โโTapi besok โฆ.?โ
โโNai diperkosa, Ta.โ
Bita melongo.
Aku lekas menghadang taksi yang tiba-tiba melintas.
โTapi โฆโโ
Aku menatapnya, mendesaknya menuntaskan kalimat.
โBukankah Rafin bisa mengurusinya dulu, Syih, atau โฆโ
โHei, Ta!โ teriakku hingga orang-orang di beranda melihat ke arah kami. โJustru Rafin yang memerkosa Nai!โ Aku membuka pintu taksi. โBandara, Pak,โ kataku begitu di dalam.
Aku mengambil penerbangan terakhir. Entah, bagaimana aku harus menghadapi kehancuran ini. Maafkan aku, Ta. Aku tak bisa melakukan hal menggembirakan dalam situasi seperti ini, apalagi menikah dengan putri pejabat dari parpol yang telah melecehkan Kakek, laki-laki yang membesarkanku dengan ketulusan melebihi apa pun.
Semendarat di Jakarta, puluhan pangilan tak terjawab dari Bita terpampang di layar. Beberapa menit kemudian, Ayah menelepon. Lalu Ibu. Lalu Ayah. Lalu Ibu lagi. Aku membayangkan macam-macam makian yang akan tumpah pada seseorang yang gagal menjaga anak-anak mereka. Ingin sekali aku mendengarkan jawaban lain dari pertanyaan โMengapa kalian bisa bersatu demi adik-adik tiriku, tapi tidak untukku?!โ
โKarena melihatmu membuat kami seperti melihat kakekmu,โ jawab Ayah ketika hal yang sama kutanyakan sebulan setelah kepergian Kakek alias beberapa hari sebelum hari wisudaku.
โโLaki-laki itu telah membuang putranya ini dari trah keluarga, Syih!โ lanjut Ayah dengan kegeraman yang mati-matian diredam. โโPersis dengan yang Ibu alami!โ Perempuan 47 tahun itu menangis. โโAdakah kekayaan keluarga besar Abdul Basir Jailani membekas padaku sedikit pun?โ
Linangan air mata Ibu membuat jendela taksi yang kutumpangi berkabut. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Di luar hujan. Ingatanku melayang pada simpang tiga Rupit. โโKeluarga memang matahari, Kek,โ batinku basah, โโTapi โฆ ia tak menyala di malam hari.โ (*)
Seoul, 2024
BENNY ARNAS, lahir dan berdikari d(ar)i Lubuklinggau. Karya-karyanya terarsip di www.bennyaras.com.