DUNIA pendidikan digemparkan dengan ribuan mahasiswa yang seharusnya magang di luar negeri justru terindikasi jadi korban tindak pidana perdagangan orang/TPPO (Jawa Pos, Maret 2024). Pelaksanaan magang memang bak pisau bermata dua. Di satu sisi, magang sangat diperlukan sebagai wadah meningkatkan kompetensi mahasiswa.
Namun, di sisi lain, magang juga rentan ”gagal” hingga merusak pengembangan kompetensi mahasiswa. Karena itu, perlu kehati-hatian dan kecermatan dalam kesiapan hingga penempatan dan pelaksanaan magang.
Sesuai dengan arahan Permendikbudristek RI Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, magang merupakan salah satu komponen utama dalam kurikulum pembelajaran pendidikan tinggi. Mahasiswa diploma 1, 2, dan 3 serta sarjana terapan wajib melaksanakan magang di dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja yang relevan.
Perguruan tinggi kemudian diwajibkan untuk memfasilitasi pemenuhan beban kegiatan magang tersebut dalam bentuk konversi SKS. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sebagai kebijakan Kemendikbudristek juga menekankan pentingnya pemberian kesempatan mahasiswa terjun ke industri sebagai langkah persiapan karier.
Pelaksanaan program magang, meskipun menjadi suatu persyaratan yang diwajibkan, sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan peserta magang. Mungkin karena adanya kesenjangan antara harapan dan realitas (Singh & Dutta, 2010). Meskipun awalnya penuh semangat.
Terutama ketika terlibat dalam lingkungan kerja baru yang berbeda dari suasana kampus. Semangat tersebut sering kali memudar seiring berjalannya waktu. Lantas digantikan oleh perasaan jenuh dan kelelahan yang terus-menerus.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidakpuasan dan penurunan motivasi peserta magang. Di antaranya tidak ada atau rendahnya ”uang transpor”, hubungan buruk antara karyawan dan penyelia, serta tuntutan jam kerja yang panjang. Selain itu, mahasiswa magang sering kali mengeluhkan senioritas, rasa takut gagal, dan intimidasi lainnya yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi yang baik di lingkungan kerja.
Di sinilah peran koordinator magang sangat penting dalam menentukan kesuksesan program magang. Koordinator yang terbebani atau kurang memahami industri dapat menyebabkan kurangnya perencanaan yang memadai, yang tentu saja hal tersebut akan berdampak pada pengalaman magang peserta (Beggs, Ross & Goodwin, 2008).
Merancang program magang yang memenuhi kebutuhan semua pihak terlibat, termasuk mahasiswa, universitas, dan pengusaha, serta menjalin hubungan yang kuat antara universitas dan pengusaha dapat meningkatkan peluang penempatan magang yang berkelanjutan dan penawaran pekerjaan kepada lulusan.
Selain itu, pencatatan dan manajemen database yang sistematis oleh koordinator magang memainkan peran kunci dalam kesuksesan program magang; basis data, termasuk informasi pekerjaan, penilaian fakultas dan pengusaha, serta kontak informasi pengusaha, senantiasa terus diperbarui dan akurat.
Menurut Burdett dan Barker (2017), koordinator fakultas dan mentor menemukan pentingnya kualitas, perencanaan, dan relevansi pekerjaan dalam berinteraksi dengan industri untuk mencapai kesuksesan magang. Pembelajaran bagi mahasiswa lebih efektif ketika mereka terlibat dalam project-based learning dan case-based studies yang terkait langsung dengan bidang mereka.
Hal itu memungkinkan mereka menerapkan pengetahuan dari kelas ke dunia industri. Oleh karena itu, tujuan dan harapan dari magang harus disampaikan dengan jelas kepada industri agar menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang spesialisasi dan karier masa depan mereka.
Strategi untuk meningkatkan kualitas program magang ada banyak langkah yang harus dipastikan berjalan. Di antaranya pemahaman mendalam terhadap kebutuhan mahasiswa dan industri, perancangan program magang yang relevan, membangun hubungan yang kuat dengan industri, melakukan monitoring dan evaluasi berkelanjutan, memberikan pelatihan dan dukungan kepada mahasiswa, serta mempromosikan program magang melalui media sosial dan kolaborasi dengan alumni.
Selain itu, juga harus membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan di industri perhotelan, memberikan pembinaan dan bimbingan kepada mahasiswa, dan menyelenggarakan program pendidikan pramagang.
Yang tidak kalah penting adalah memverifikasi pihak ketiga untuk program magang di luar negeri. Tujuannya agar indikasi TPPO seperti kasus ferienjob atau magang kerja di Jerman itu tidak terjadi.
Terkait itu, penting sekali memastikan kesesuaian tempat magang bagi mahasiswa. Semua itu harus ditekankan melalui diskusi formal dan informal serta pemantauan progres secara teratur untuk menangani masalah dengan cepat.
Di luar itu semua, penajaman softskill dan peningkatan kemampuan bahasa asing juga merupakan hal yang penting dalam kesuksesan pelaksanaan magang. Jarang sekali ditemui industri mengeluhkan kemampuan hardskill mahasiswa, namun keluhan lebih ke kemampuan softskill dan attitude seperti berperilaku kurang sopan, sering terlambat masuk kerja, ataupun tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan.
Selain itu, kemampuan bahasa asing yang baik, terutama bagi mereka yang magang di industri asing ataupun di luar negeri, akan membantu mahasiswa bersaing dalam pemilihan departemen magang dan pasar kerja yang lebih luas nantinya.
Alasan untuk membatasi magang mahasiswa hanya pada departemen operasional tertentu, sebagaimana contoh kasus dikeluhkan mahasiswa yang hendak magang di Jerman, semakin berkurang seiring dengan peningkatan kompetensi mereka.
Magang pada akhirnya harus menjadi sebuah proses pembelajaran yang berkelanjutan dan proses untuk membangun kepercayaan diri mahasiswa untuk terjun ke industri, bukan menjadi sumber yang menghambat pengembangan kompetensi mahasiswa itu sendiri. Kerja sama, perencanaan, dan kesiapan yang baik antara mahasiswa, industri, dan universitas menjadikan kualitas pelaksanaan magang lebih bermakna. (*)
*) DIAN YULIE REINDRAWATI, Dosen Fakultas Vokasi Universitas Airlangga