25.2 C
Jakarta
Thursday, April 3, 2025

Ancaman Pengangguran (Lulusan) Guru

MENJELANG peringatan Hari Guru ke-78, profesi guru masih digelayuti berbagai problematika. Selain persoalan kesejahteraan, kompetensi, dan perlindungan hukum, lulusan guru juga terancam tidak terserap lapangan kerja. Ini terjadi lantaran ada ketimpangan supply and demand guru.

Dari berbagai program studi (prodi), jumlah mahasiswa pendidikan mendominasi. Misalnya, jumlah mahasiswa baru saat ini, seperlimanya merupakan mahasiswa prodi pendidikan, diikuti oleh ekonomi, sosial, dan teknik. Sedangkan sepersepuluh merupakan mahasiswa prodi kesehatan dan pertanian.

Jumlah total mahasiswa di Indonesia sebanyak 8,5 juta orang tersebar di 29.413 prodi. Pada jenjang sarjana (S-1), prodi manajemen memiliki jumlah mahasiswa terbanyak dengan 1 juta mahasiswa. Sedangkan prodi pendidikan guru SD (PGSD) memiliki jumlah mahasiswa terbanyak kedua dengan jumlah separuh dari jumlah mahasiswa prodi manajemen, diikuti prodi akuntansi dan ilmu hukum. Sementara itu, prodi teknik informatika dan teknik sipil memiliki jumlah mahasiswa terbanyak di jurusan teknik (Badri Munir Sukoco, 2023).

Sebagai gambaran terjadi overload lulusan pendidikan dapat dilihat data jumlah lulusan tahun 2020. Pada tahun itu jumlah lulusan PT sebanyak 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, seperlima lebih lulusan merupakan lulusan pendidikan, diikuti lulusan ekonomi, teknik, kesehatan, dan sosial. Untuk pertanian, kurang dari 5 persen. Jika jumlah lulusan pendidikan konsisten seperti tahun 2020, maka pada 2025 akan terdapat calon guru untuk pendidikan dasar dan menengah sekitar 2 juta orang.

Padahal, jumlah sekolah dasar hingga menengah hanya 275.000 sekolah. Sementara kebutuhan guru di sekolah negeri, menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Nunuk Suryani, sebanyak 2.161.791 orang. Sedangkan rerata masa bakti guru sekitar 30 tahun. Jika mendasari kondisi tersebut, dipastikan akan terjadi kelebihan guru di masa depan.

Baca Juga :  Guru Merdeka dalam Kurikulum Merdeka

Problem Kualitas

Fenomena meningkatnya mahasiswa prodi pendidikan tidak lepas dari membaiknya kesejahteraan guru. Terutama setelah ada pemberian tunjangan profesi guru (TPG). Sesuai UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal 16 ayat 1 menyatakan pemerintah memberikan TPG bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan ayat 2 menyebutkan besaran TPG adalah satu kali gaji pokok.

Kehidupan guru berubah lebih sejahtera. Jika sebelumnya guru digambarkan sebagai ’’Oemar Bakri’’ yang miskin dan sederhana, kini menjadi sosok ’’kaya’’ yang mampu membiayai kuliah anak hingga jenjang perguruan tinggi, memiliki rumah bagus, bahkan mampu membeli mobil bagus. Perubahan kesejahteraan itu menjadi daya tarik dari meningkatnya minat mahasiswa memilih prodi pendidikan.

Implikasinya, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) berlomba-lomba membentuk prodi pendidikan. Data Kemendikbudristek (2018) menyebutkan sebelum pemberlakuan UU No 14 Tahun 2005 hanya ada sekitar 90 LPTK. Namun, setelah 2005, jumlah LPTK terus bertambah. Pada 2012 ada sebanyak 374 LPTK, tahun 2014 sebanyak 381 LPTK, dan tahun 2016 ada 421 LPTK dengan jumlah keseluruhan prodi pendidikan sebanyak 5.724 prodi.

Sementara jumlah lulusan terus meningkat, di sisi lain ada kendala tersendatnya keterserapan lulusan guru. Kendala tersebut, antara lain, syarat untuk dapat mengajar yaitu lulusan pendidikan harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat itu diperoleh melalui pendidikan profesi guru (PPG). Sementara kuota PPG terbatas, pada tahun 2023 ini pemerintah menyediakan kuota sebanyak 59.019 mahasiswa.

Kendala lainnya, sudah tidak diperbolehkan lagi sekolah merekrut guru honorer. UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan hanya ada dua jenis status pegawai, yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Baca Juga :  Milenarianisme dalam Penembakan di MUI

Bahkan, melalui Surat Edaran (SE) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, guru honorer akan dihapus per November 2023.

Sementara itu, perekrutan 1 juta guru PPPK tak kunjung tuntas. Berbagai masalah masih menghambat guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun menjadi PPPK. Pada seleksi tahun 2021 hanya mampu merekrut 293.860 orang dan seleksi 2022 sebanyak 250.432 orang. Sayang, seleksi tahun 2023 dari total kebutuhan 601.174 formasi PPPK guru, pemda hanya mampu memenuhi 296.059 formasi.

Solusi

Menurut penulis, ada langkah untuk mengantisipasi pengangguran guru. Pertama, moratorium pendirian prodi pendidikan. Pemerintah harus mengevaluasi proporsi prodi. Jikapun menambah prodi, harus melalui verifakasi yang ketat.

Kedua, sistem perekrutan guru ASN yang real time. Sistem perekrutan saat ini terpusat dan tidak setiap waktu. Ide Kemendikbudristek menerapkan marketplace guru atau platform ruang talenta guru dapat dipertimbangkan dan disempurnakan. Terutama pada pengawasan pihak yang diserahi merekrut guru, apakah pemda atau kepala sekolah.

Ketiga, mempercepat target 1 juta guru PPPK. Pemerintah menargetkan pada tahun 2024 ada 800 ribu guru PPPK. Ketersendatan rekrutmen guru PPPK karena pemda ’’enggan’’ memenuhi kuota. Pemda khawatir gaji guru PPPK akan membebani anggaran daerah. Political will pemda dan komunikasi pemerintah pusat untuk meyakinkan pemda amat dibutuhkan. (*)

*) UDI UTOMO, Guru SMPN 5 Pati, Alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

MENJELANG peringatan Hari Guru ke-78, profesi guru masih digelayuti berbagai problematika. Selain persoalan kesejahteraan, kompetensi, dan perlindungan hukum, lulusan guru juga terancam tidak terserap lapangan kerja. Ini terjadi lantaran ada ketimpangan supply and demand guru.

Dari berbagai program studi (prodi), jumlah mahasiswa pendidikan mendominasi. Misalnya, jumlah mahasiswa baru saat ini, seperlimanya merupakan mahasiswa prodi pendidikan, diikuti oleh ekonomi, sosial, dan teknik. Sedangkan sepersepuluh merupakan mahasiswa prodi kesehatan dan pertanian.

Jumlah total mahasiswa di Indonesia sebanyak 8,5 juta orang tersebar di 29.413 prodi. Pada jenjang sarjana (S-1), prodi manajemen memiliki jumlah mahasiswa terbanyak dengan 1 juta mahasiswa. Sedangkan prodi pendidikan guru SD (PGSD) memiliki jumlah mahasiswa terbanyak kedua dengan jumlah separuh dari jumlah mahasiswa prodi manajemen, diikuti prodi akuntansi dan ilmu hukum. Sementara itu, prodi teknik informatika dan teknik sipil memiliki jumlah mahasiswa terbanyak di jurusan teknik (Badri Munir Sukoco, 2023).

Sebagai gambaran terjadi overload lulusan pendidikan dapat dilihat data jumlah lulusan tahun 2020. Pada tahun itu jumlah lulusan PT sebanyak 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, seperlima lebih lulusan merupakan lulusan pendidikan, diikuti lulusan ekonomi, teknik, kesehatan, dan sosial. Untuk pertanian, kurang dari 5 persen. Jika jumlah lulusan pendidikan konsisten seperti tahun 2020, maka pada 2025 akan terdapat calon guru untuk pendidikan dasar dan menengah sekitar 2 juta orang.

Padahal, jumlah sekolah dasar hingga menengah hanya 275.000 sekolah. Sementara kebutuhan guru di sekolah negeri, menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Nunuk Suryani, sebanyak 2.161.791 orang. Sedangkan rerata masa bakti guru sekitar 30 tahun. Jika mendasari kondisi tersebut, dipastikan akan terjadi kelebihan guru di masa depan.

Baca Juga :  Guru Merdeka dalam Kurikulum Merdeka

Problem Kualitas

Fenomena meningkatnya mahasiswa prodi pendidikan tidak lepas dari membaiknya kesejahteraan guru. Terutama setelah ada pemberian tunjangan profesi guru (TPG). Sesuai UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal 16 ayat 1 menyatakan pemerintah memberikan TPG bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan ayat 2 menyebutkan besaran TPG adalah satu kali gaji pokok.

Kehidupan guru berubah lebih sejahtera. Jika sebelumnya guru digambarkan sebagai ’’Oemar Bakri’’ yang miskin dan sederhana, kini menjadi sosok ’’kaya’’ yang mampu membiayai kuliah anak hingga jenjang perguruan tinggi, memiliki rumah bagus, bahkan mampu membeli mobil bagus. Perubahan kesejahteraan itu menjadi daya tarik dari meningkatnya minat mahasiswa memilih prodi pendidikan.

Implikasinya, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) berlomba-lomba membentuk prodi pendidikan. Data Kemendikbudristek (2018) menyebutkan sebelum pemberlakuan UU No 14 Tahun 2005 hanya ada sekitar 90 LPTK. Namun, setelah 2005, jumlah LPTK terus bertambah. Pada 2012 ada sebanyak 374 LPTK, tahun 2014 sebanyak 381 LPTK, dan tahun 2016 ada 421 LPTK dengan jumlah keseluruhan prodi pendidikan sebanyak 5.724 prodi.

Sementara jumlah lulusan terus meningkat, di sisi lain ada kendala tersendatnya keterserapan lulusan guru. Kendala tersebut, antara lain, syarat untuk dapat mengajar yaitu lulusan pendidikan harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat itu diperoleh melalui pendidikan profesi guru (PPG). Sementara kuota PPG terbatas, pada tahun 2023 ini pemerintah menyediakan kuota sebanyak 59.019 mahasiswa.

Kendala lainnya, sudah tidak diperbolehkan lagi sekolah merekrut guru honorer. UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan hanya ada dua jenis status pegawai, yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Baca Juga :  Milenarianisme dalam Penembakan di MUI

Bahkan, melalui Surat Edaran (SE) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, guru honorer akan dihapus per November 2023.

Sementara itu, perekrutan 1 juta guru PPPK tak kunjung tuntas. Berbagai masalah masih menghambat guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun menjadi PPPK. Pada seleksi tahun 2021 hanya mampu merekrut 293.860 orang dan seleksi 2022 sebanyak 250.432 orang. Sayang, seleksi tahun 2023 dari total kebutuhan 601.174 formasi PPPK guru, pemda hanya mampu memenuhi 296.059 formasi.

Solusi

Menurut penulis, ada langkah untuk mengantisipasi pengangguran guru. Pertama, moratorium pendirian prodi pendidikan. Pemerintah harus mengevaluasi proporsi prodi. Jikapun menambah prodi, harus melalui verifakasi yang ketat.

Kedua, sistem perekrutan guru ASN yang real time. Sistem perekrutan saat ini terpusat dan tidak setiap waktu. Ide Kemendikbudristek menerapkan marketplace guru atau platform ruang talenta guru dapat dipertimbangkan dan disempurnakan. Terutama pada pengawasan pihak yang diserahi merekrut guru, apakah pemda atau kepala sekolah.

Ketiga, mempercepat target 1 juta guru PPPK. Pemerintah menargetkan pada tahun 2024 ada 800 ribu guru PPPK. Ketersendatan rekrutmen guru PPPK karena pemda ’’enggan’’ memenuhi kuota. Pemda khawatir gaji guru PPPK akan membebani anggaran daerah. Political will pemda dan komunikasi pemerintah pusat untuk meyakinkan pemda amat dibutuhkan. (*)

*) UDI UTOMO, Guru SMPN 5 Pati, Alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Terpopuler

Artikel Terbaru