PALU putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 sudah diketok Senin (22/4/ 2024). Intinya, menolak seluruh permohonan gugatan kedua pasangan calon, baik itu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Putusan tersebut tampaknya menjadi antiklimaks dalam seluruh rangkaian kontestasi dan dinamika pemilihan umum presiden (pilpres) tahun ini. Kedua kubu menyatakan menerima putusan MK, legawa dengan kekalahan, dan mengakui kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat.
Sikap Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tersebut perlu diapresiasi. Karena secara simultan hal itu menghadirkan kesejukan dan menurunkan tensi kompetisi antarkelompok pascapilpres. Juga menstimulasi kita semua untuk kembali membersamai perjalanan bangsa ini.
Mengambil jalan untuk memikirkan Indonesia dan membersamai pembangunan bangsa tidaklah selalu dengan bergabung pada pemerintahan terpilih. Pemikiran bahwa menjadi koalisi penguasa adalah satu-satunya jalan menuju persatuan dan good governance adalah pemikiran yang utopis.
Alih-alih menciptakan pemerintahan yang baik dan solid, ketidakhadiran oposisi justru kian memudahkan konsensus kepentingan serta proses pengambilan kebijakan yang heuristik dan miskin kritik. Sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa banyaknya revolusi di berbagai negara hingga reformasi dan kemajuan demokrasi yang dialami bangsa ini muncul dari gerakan dan riak-riak kelompok oposisi.
Tiga bulan terakhir ini kami melakukan studi dengan melibatkan representasi berbagai pengurus partai politik pengusung paslon 01 dan 03 untuk menelaah kemungkinan partai-partai mereka menjadi oposisi pada pemerintahan mendatang. Kami menemukan adanya kecenderungan karakteristik setiap partai untuk berlaku ”cair” dan fleksibel.
Serta tidak menonjolkan relasi yang bersifat kompetitif pascapilpres. Hal itu berimplikasi terhadap kondisi afektif para petugas partai yang lebih mengakomodasi perasaan kooperatif daripada kompetitif.
Perilaku yang lebih dinamis dalam berelasi. Juga menstimulasi proses kognitif untuk lebih terbuka pada berbagai kompromi yang dianggap dapat membagi keuntungan atau utility maximization untuk partai mereka. Meski tidak mudah menghindar dari gelimang kekuasaan, berdiri tegak sebagai oposisi adalah jalan terhormat yang bisa dipilih. Sebab, checks and balances pemerintahan yang akan berjalan ke depan berada di tangan oposisi.
Pada satu sisi, koalisi yang ”gemuk” memang mendekatkan eksekutif dan legislatif pada dinamika kelompok yang harmonis dan sangat kohesif. Sehingga dengan kondisi tersebut, pemerintah lebih mudah memusatkan upaya mereka untuk mencapai berbagai program dan tujuannya.
Namun, pada sisi yang lain, anggota kelompok yang terlalu kohesif akan memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap standar atau nilai kelompok mereka. Pada bagian inilah yang dikhawatirkan, yaitu ketika koalisi yang gemuk dan sangat kohesif tadi melahirkan kebijakan heuristik tanpa adanya pandangan atau pendapat yang berbeda karena setiap pihak di pemerintahan telah mengalami deindividuasi.
Jalannya pemerintahan menjadi miskin kritik. Karena tidak adanya kelompok oposisi. Oleh karena itu, hadirnya in-group dan out-group bersamaan dengan relasi yang bersifat kompetitif dan kooperatif antara oposisi dan penguasa dibutuhkan dalam menjalankan pemerintahan ke depan.
Dalam kajian psikologi sosial, adanya kompetisi dan kerja sama dalam relasi antarkelompok, termasuk dalam menjalankan fungsi pemerintahan, justru menghadirkan harmonisasi yang lebih substansial, mendewasakan setiap kelompok yang berelasi, serta mampu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif. Untuk menuju hal tersebut, ada tiga indikator penting yang harus dipenuhi pemerintah dan oposisi.
Pertama, substitutability, ketika tindakan pemerintah mampu mengakomodasi dan mengapresiasi keinginan oposisi. Sebaliknya, oposisi juga memiliki keterbukaan untuk mengapresiasi dan mendukung program pemerintah yang memihak pada kepentingan bangsa.
Kedua, cathexis, yaitu suatu kondisi ketika oposisi dan pemerintah mampu memberikan tanggapan secara reflektif dan evaluatif serta meminimalkan authoritarianism dalam berelasi.
Ketiga, inducibility, mengacu pada kesiapan menerima pengaruh kelompok lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. Oposisi perlu memahami bahwa program ideal bagi pemerintahan terpilih mungkin berbeda dari yang diinginkan.
Ketika berdiri sebagai oposisi bukan merujuk pada kesiapan untuk serta-merta menolak keinginan pemerintahan terpilih dan memaksakan sesuatu yang ideal dalam perspektif kelompok sendiri.
Oposisi harus memiliki kerelaan hati pada pengaruh yang sedang berjalan sembari melakukan checks and balances pada setiap kebijakan tersebut. Jika menghendaki kemajuan dan kemakmuran bangsa, oposisi yang bersifat destruktif-oportunis bukanlah jalan yang bijaksana dan bermoral.
Selain itu, peran serta organisasi kemasyarakatan (ormas) nonpartisan dan organisasi kemahasiswaan juga cukup krusial dalam hal ini. Meskipun nantinya secara kuantitas berada pada posisi minoritas. Konsistensi gagasan dan aksi untuk kehidupan bangsa yang lebih baik merupakan faktor penting bagi minoritas untuk memberikan pengaruhnya.
Selain itu, oposisi perlu menunjukkan tingkat fleksibilitas untuk tetap persuasif. Oposisi dengan posisi minoritas yang kaku dan dogmatis dinilai kurang efektif untuk memberikan pengaruh. Hidup bersama tidak selalu menunjukkan keberpihakan yang sama. Lebih dari itu, kesediaan untuk berjalan beriringan, bergandengan tangan dalam perbedaan. (*)
*) MUHAMMAD FATH MASHURI, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang