29.4 C
Jakarta
Tuesday, October 8, 2024

Fufufafa, Second Account dan Mentalitas di Dunia Maya

Setiap orang mungkin memiliki lebih dari satu akun di suatu media sosial. First account (akun pertama) menjadi tempat mengunggah sesuatu untuk membangun citra diri. Sementara second account (akun kedua) adalah tempat seseorang bisa menunjukkan persona yang lain yang selama ini tidak ditunjukkan kepada publik. Akun kedua tersebut biasanya tidak menggunakan nama terang pemilik. Karena itu, tidak jarang, akun kedua merupakan akun anonim (tanpa nama).

Akun kedua berkaitan erat dengan mentalitas. Pemilik akun kedua kerap diidentikkan sebagai orang dengan mentalitas pecundang. Penyebabnya, mereka bisa berbuat apa pun sesuka hati di media sosial tanpa tuntutan tanggung jawab. Akun kedua layaknya topeng dan kostum yang bisa menutup rapat siapa orang di baliknya.

Akhir-akhir ini, akun Kaskus fufufafa menjadi perbincangan khalayak di dunia maya (warganet). Pemilik akun fufufafa itu kerap menghina tokoh-tokoh politik seperti presiden terpilih Prabowo Subianto.

Bahkan, fufufafa menulis komentar bernada pelecehan terhadap sejumlah selebriti perempuan. Beberapa warganet di media sosial X mengumpulkan buktibukti yang bisa mendukung dugaan bahwa akun tersebut merupakan milik wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.

Fufufafa dapat dikategorikan akun anonim karena tidak menunjukkan identitas secara terang. Apa yang dilakukan pemilik akun itu merupakan bentuk penggunaan second account oleh orang dengan mental pecundang. Menghina dan melecehkan orang lain dengan akun anonim merupakan sikap yang sangat tidak bertanggung jawab.

Dalam suatu kesempatan, ketika ditanya apakah akun fufufafa itu adalah miliknya, Gibran tidak memberikan jawaban jelas. Dia hanya memberikan pernyataan, ’’Lha mbuh, takono sing nduwe akun (Tidak tahu. Tanya ke pemilik akunnya).’’ Seolah publik dibebaskan berpersepsi atas pemilik akun tersebut. Ditambah, tampaknya, belum ada ahli yang meneliti ciri kebahasaan Gibran dan fufufafa dari kacamata linguistik.

Baca Juga :  Keadaban Politik dan Demokrasi Hijau

Penggunaan akun kedua juga sering dijalankan para buzzer (pendengung). Mereka bahkan bisa memiliki akun ketiga, keempat, dan seterusnya. Penggunaan akun-akun tersebut oleh buzzer merupakan ancaman serius terhadap kualitas informasi di media sosial. Mereka tidak cukup berani untuk menggunakan identitas sebenarnya dalam bermedia sosial karena ingin terus menebar hoaks dan ujaran kebencian.

Akun kedua yang dimanfaatkan untuk melakukan perundungan dan menebar ujaran kebencian bakal memberikan dampak yang sangat berbahaya. Layaknya bola salju, korban perundungan menjadi tidak percaya diri sehingga membuat akun kedua pula untuk melakukan perundungan terhadap orang lain juga.

Persona yang Berbeda

Umum diketahui, media sosial memungkinkan siapa pun membangun persona sebagai apa pun sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan, untuk menamai akun media sosial, setiap orang bebas berkreasi. Dilihat dari aspek linguistik, penamaan media sosial tidak lepas dari latar belakang dan motivasi pemiliknya. Al-Saidat Dkk (2023) menemukan, setidaknya gender menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan nama pengguna media sosial (Facebook).

Di media sosial, akun kedua bisa menjadi pelarian untuk menuangkan segala ekspresi yang selama ini terpendam in real life (di kehidupan sebenarnya). Setiap orang dapat membangun identitas dirinya sebagai orang lain, termasuk pemilihan gender. Mereka juga bisa menyalurkan berbagai hobi yang dianggap tabu dalam norma masyarakat.

Akun kedua menjadi wadah menarik bagi siapa pun yang ingin mengekspresikan diri tanpa penghakiman. Identitas alternatif dapat diciptakan dan disesuaikan dengan kelompok sosial yang ingin diikuti. Siapa pun bisa menyampaikan opini apa pun di dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengetahui dengan siapa mereka sebenarnya berinteraksi.

Baca Juga :  Mencegah Politik Dinasti

Fungsi Positif

Menggeneralisasi pemilik akun kedua sebagai orang bermental pecundang sejatinya juga bukan hal tepat. Akun kedua memiliki berbagai fungsi positif, bergantung pada para penggunanya. Salah satunya, memisahkan kehidupan pribadi dengan kehidupan profesional. Banyak orang yang ingin membagikan momen pribadi hanya kepada orang-orang terdekat.

Sebagian orang juga memilih menggunakan akun kedua sebagai media untuk menyimpan kenangan berupa foto atau video. Tujuan utamanya adalah menghemat memori perangkat alias gawai yang mereka gunakan. Hal itu memudahkan pemilik akun mengakses foto dan video tersebut karena media sosial bisa digunakan di beberapa perangkat secara bersamaan.

Meski media sosial memungkinkan kita untuk menjadi siapa pun dan melakukan apa pun, sikap tidak bertanggung jawab seharusnya dihindari.

Saat ini memang belum ada regulasi yang mengatur jumlah akun maksimal yang dapat dimiliki setiap orang per media sosial. Seolah, kondisi ini menjadi peluang besar bagi siapa saja untuk memenuhi kepentingan mereka di media sosial tanpa batas.

Terlalu banyak membuat akun media sosial dengan menampilkan citra diri yang berbedabeda justru akan berdampak buruk terhadap kesehatan mental. Kesulitan menjaga konsistensi untuk setiap akun dapat memecah fokus dalam kehidupan sehari-hari.

Meski reputasi akun kedua bukanlah hal yang terlalu dikhawatirkan, berintegritas dalam bermedia sosial adalah kunci dalam membangun dunia digital yang lebih sehat. (*)

*) YULIANA KRISTIANTI, Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada, awardee LPDP Kemenkeu

Setiap orang mungkin memiliki lebih dari satu akun di suatu media sosial. First account (akun pertama) menjadi tempat mengunggah sesuatu untuk membangun citra diri. Sementara second account (akun kedua) adalah tempat seseorang bisa menunjukkan persona yang lain yang selama ini tidak ditunjukkan kepada publik. Akun kedua tersebut biasanya tidak menggunakan nama terang pemilik. Karena itu, tidak jarang, akun kedua merupakan akun anonim (tanpa nama).

Akun kedua berkaitan erat dengan mentalitas. Pemilik akun kedua kerap diidentikkan sebagai orang dengan mentalitas pecundang. Penyebabnya, mereka bisa berbuat apa pun sesuka hati di media sosial tanpa tuntutan tanggung jawab. Akun kedua layaknya topeng dan kostum yang bisa menutup rapat siapa orang di baliknya.

Akhir-akhir ini, akun Kaskus fufufafa menjadi perbincangan khalayak di dunia maya (warganet). Pemilik akun fufufafa itu kerap menghina tokoh-tokoh politik seperti presiden terpilih Prabowo Subianto.

Bahkan, fufufafa menulis komentar bernada pelecehan terhadap sejumlah selebriti perempuan. Beberapa warganet di media sosial X mengumpulkan buktibukti yang bisa mendukung dugaan bahwa akun tersebut merupakan milik wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.

Fufufafa dapat dikategorikan akun anonim karena tidak menunjukkan identitas secara terang. Apa yang dilakukan pemilik akun itu merupakan bentuk penggunaan second account oleh orang dengan mental pecundang. Menghina dan melecehkan orang lain dengan akun anonim merupakan sikap yang sangat tidak bertanggung jawab.

Dalam suatu kesempatan, ketika ditanya apakah akun fufufafa itu adalah miliknya, Gibran tidak memberikan jawaban jelas. Dia hanya memberikan pernyataan, ’’Lha mbuh, takono sing nduwe akun (Tidak tahu. Tanya ke pemilik akunnya).’’ Seolah publik dibebaskan berpersepsi atas pemilik akun tersebut. Ditambah, tampaknya, belum ada ahli yang meneliti ciri kebahasaan Gibran dan fufufafa dari kacamata linguistik.

Baca Juga :  Keadaban Politik dan Demokrasi Hijau

Penggunaan akun kedua juga sering dijalankan para buzzer (pendengung). Mereka bahkan bisa memiliki akun ketiga, keempat, dan seterusnya. Penggunaan akun-akun tersebut oleh buzzer merupakan ancaman serius terhadap kualitas informasi di media sosial. Mereka tidak cukup berani untuk menggunakan identitas sebenarnya dalam bermedia sosial karena ingin terus menebar hoaks dan ujaran kebencian.

Akun kedua yang dimanfaatkan untuk melakukan perundungan dan menebar ujaran kebencian bakal memberikan dampak yang sangat berbahaya. Layaknya bola salju, korban perundungan menjadi tidak percaya diri sehingga membuat akun kedua pula untuk melakukan perundungan terhadap orang lain juga.

Persona yang Berbeda

Umum diketahui, media sosial memungkinkan siapa pun membangun persona sebagai apa pun sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan, untuk menamai akun media sosial, setiap orang bebas berkreasi. Dilihat dari aspek linguistik, penamaan media sosial tidak lepas dari latar belakang dan motivasi pemiliknya. Al-Saidat Dkk (2023) menemukan, setidaknya gender menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan nama pengguna media sosial (Facebook).

Di media sosial, akun kedua bisa menjadi pelarian untuk menuangkan segala ekspresi yang selama ini terpendam in real life (di kehidupan sebenarnya). Setiap orang dapat membangun identitas dirinya sebagai orang lain, termasuk pemilihan gender. Mereka juga bisa menyalurkan berbagai hobi yang dianggap tabu dalam norma masyarakat.

Akun kedua menjadi wadah menarik bagi siapa pun yang ingin mengekspresikan diri tanpa penghakiman. Identitas alternatif dapat diciptakan dan disesuaikan dengan kelompok sosial yang ingin diikuti. Siapa pun bisa menyampaikan opini apa pun di dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengetahui dengan siapa mereka sebenarnya berinteraksi.

Baca Juga :  Mencegah Politik Dinasti

Fungsi Positif

Menggeneralisasi pemilik akun kedua sebagai orang bermental pecundang sejatinya juga bukan hal tepat. Akun kedua memiliki berbagai fungsi positif, bergantung pada para penggunanya. Salah satunya, memisahkan kehidupan pribadi dengan kehidupan profesional. Banyak orang yang ingin membagikan momen pribadi hanya kepada orang-orang terdekat.

Sebagian orang juga memilih menggunakan akun kedua sebagai media untuk menyimpan kenangan berupa foto atau video. Tujuan utamanya adalah menghemat memori perangkat alias gawai yang mereka gunakan. Hal itu memudahkan pemilik akun mengakses foto dan video tersebut karena media sosial bisa digunakan di beberapa perangkat secara bersamaan.

Meski media sosial memungkinkan kita untuk menjadi siapa pun dan melakukan apa pun, sikap tidak bertanggung jawab seharusnya dihindari.

Saat ini memang belum ada regulasi yang mengatur jumlah akun maksimal yang dapat dimiliki setiap orang per media sosial. Seolah, kondisi ini menjadi peluang besar bagi siapa saja untuk memenuhi kepentingan mereka di media sosial tanpa batas.

Terlalu banyak membuat akun media sosial dengan menampilkan citra diri yang berbedabeda justru akan berdampak buruk terhadap kesehatan mental. Kesulitan menjaga konsistensi untuk setiap akun dapat memecah fokus dalam kehidupan sehari-hari.

Meski reputasi akun kedua bukanlah hal yang terlalu dikhawatirkan, berintegritas dalam bermedia sosial adalah kunci dalam membangun dunia digital yang lebih sehat. (*)

*) YULIANA KRISTIANTI, Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada, awardee LPDP Kemenkeu

Terpopuler

Artikel Terbaru