26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Keadaban Politik dan Demokrasi Hijau

MUNCULNYA tiga poros politik dalam kontestasi Pilpres 2024 sejak lama diharapkan bisa mencegah mengerasnya polarisasi. Jejak panasnya Pilpres 2019 masih menyisakan residu politik yang belum hilang. Cebong, kampret, serta simbol insinuasi lain masih belum sepenuhnya sirna.

Di media sosial hari-hari ini, kosakata bernada kebencian dan permusuhan masih kerap muncul. Bahkan, aroma kebencian makin mudah ditemui di berbagai grup pertemanan. Jurus-jurus bernuansa agama kembali bangkit untuk meneguhkan kebenaran posisi politik masing-masing.

Belum lagi ayat-ayat kebencian yang didalilkan kian menambah panas palagan kontestasi. Ada banyak konten yang alih-alih mengangkat prestasi calon yang dipilih, malah asyik dengan mengumbar aib pilihan yang lain. Gambaran dukung-mendukung dalam arena pilpres tersebut seolah menjustifikasi betapa masih jauhnya kita dari politik yang beradab.

Keadaban politik (political civility) muncul dari kegelisahan kontestasi politik yang dipenuhi oleh berbagai bentuk perilaku tidak beradab. Kebencian dan permusuhan menjadi pemandangan yang lebih dominan dalam perbedaan politik. Presiden Barack Obama menjadi salah satu tokoh yang ikut menyuarakan keadaban politik untuk memerangi perilaku niradab akibat perbedaan politik itu.

Di Indonesia, frekuensi perilaku niradab dalam politik makin mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019. Meski demikian, jejak ketidakadaban politik ini sejatinya sudah muncul jauh sebelum reformasi 1998.

Sebagian pihak melihat keadaban politik sebagai sebuah ilusi. Lebih tepatnya gagasan ideal yang ilusionistik (Zurn, 2013). Sebab, realitasnya, politik selalu berkaitan dengan persaingan dan permusuhan.

Meski sebagian melihatnya secara pesimistis, Indonesia sejatinya memiliki modal sosial untuk mewujudkan politik yang beradab. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang bersumber dari jati diri bangsa. Pancasila menjadi pewarna distingtif demokrasi Indonesia.

Baca Juga :  Hidup Bersama Teknologi

Jati diri bangsa Indonesia tidak asing dengan aneka nilai keadaban. Sopan santun adalah kekhasan perilaku dan sikap yang bersumber dari nilai kearifan Nusantara. Belum lagi agama menjadi sumber akhlak bangsa Indonesia yang begitu kaya. Karena itulah, untuk menjadi beradab dalam demokrasi, bangsa Indonesia telah memiliki modal sosial yang memadai.

Sayangnya, beberapa kali pemilu digelar, modal sosial tersebut seolah tak berbekas. Perilaku politik kita masih jauh dari nilai-nilai keadaban. Kebencian masih menjejali ruang interaksi sosial.

Kita perlu menyegarkan kembali berbagai fitur kemuliaan yang melekat pada jati diri bangsa ini. Tentu butuh pemantik untuk menyadarkan semua pihak bahwa politik harus dibangun di atas nilai-nilai keadaban. Bahwa nilai-nilai kearifan Nusantara telah menyediakan modal sosial yang berharga untuk mewujudkannya.

Pemantik tersebut perlu diinisiasi oleh setidaknya dua kalangan. Pertama, para politikus yang terlibat langsung dalam kontestasi. Mereka harus mampu mencontohkan model-model berpolitik yang santun dan sejuk. Kampanye negatif boleh dilakukan, yang dibedakan dari kampanye hitam (black campaign).

Selama narasi untuk menunjukkan kelemahan lawan dibangun di atas nilai-nilai kompetisi sehat dan data yang valid, dalam ruang demokrasi hal demikian sah untuk dilakukan. Yang tidak boleh dilakukan adalah narasi penuh kebencian. Apalagi dalam bentuk kampanye hitam yang menyuarakan kebohongan, fitnah, dan permusuhan.

Kedua, para intelektual memiliki tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam pendidikan politik yang beradab. Intelektual memiliki tanggung jawab moral yang dituntut oleh keluhuran pengetahuan yang dimiliki untuk memastikan bahwa palagan politik tidak terkontaminasi narasi-narasi kebencian. Rakyat harus disadarkan bahwa bersuara dalam politik adalah hak. Sementara menghormati suara orang lain adalah kewajiban.

Baca Juga :  Elite PDIP Sebut PSI Partai Kecil yang Menggangu, Sigit Widodo Respon Begini

Suara para intelektual harus memenuhi ruang demokrasi dengan gagasan-gagasan yang mendorong pada terciptanya demokrasi sehat. Selah satunya mengenai pentingnya membangun keadaban. Para intelektual yang melibatkan diri secara langsung dalam ruang demokrasi itu sangatlah penting.

Sebab, melalui keterlibatan mereka, deliberasi dalam ruang demokrasi dapat terwujud. Ada keprihatinan bahwa demokrasi mengalami defisit deliberasi (Goldfarb, 1998). Bukan karena intelektual menarik diri dari pertukaran diskursus di ruang demokrasi.

Tetapi karena informasi yang dipasok oleh gelombang media digital menenggelamkan pesan-pesan kebijaksanaan para intelektual. Bahkan, kalaupun mengemuka, arogansi publik di era ”matinya kepakaran” tidak mengindahkan suara profetik mereka.

Demokrasi Hijau

Politik yang beradab adalah salah satu faktor penting yang perlu dibangun untuk menciptakan demokrasi hijau. Demokrasi hijau pada awalnya merujuk pada platform politik yang peka terhadap perubahan iklim. Meski demokrasi hijau berakar di dalam paradigma keberpihakan terhadap lingkungan alam, konsep ini juga perlu ditarik ke dalam iklim demokrasi yang sehat dari bentuk-bentuk ketidakberadaban.

Sebagaimana lingkungan bumi yang membutuhkan komitmen keberpihakan terhadap kebijakan hijau, alam demokrasi juga membutuhkan komitmen politik hijau. Komitmen politik ini didasarkan atas keadaban dalam berpolitik sehingga ruang politik tidak terkontaminasi oleh polusi yang mengancam substansi demokrasi.

Kebencian dan segala bentuk ketidakadaban adalah polusi demokrasi. Polusi ini mengancam terwujudnya demokrasi hijau yang sehat serta bersih dari kebencian dan permusuhan. Demokrasi hijau diharapkan tidak lagi menyisakan residu demokrasi yang baunya masih terus membekas hingga kini. (*)

*) DODIK HARNADI, Dosen Sosiologi Fisip Universitas Jember

MUNCULNYA tiga poros politik dalam kontestasi Pilpres 2024 sejak lama diharapkan bisa mencegah mengerasnya polarisasi. Jejak panasnya Pilpres 2019 masih menyisakan residu politik yang belum hilang. Cebong, kampret, serta simbol insinuasi lain masih belum sepenuhnya sirna.

Di media sosial hari-hari ini, kosakata bernada kebencian dan permusuhan masih kerap muncul. Bahkan, aroma kebencian makin mudah ditemui di berbagai grup pertemanan. Jurus-jurus bernuansa agama kembali bangkit untuk meneguhkan kebenaran posisi politik masing-masing.

Belum lagi ayat-ayat kebencian yang didalilkan kian menambah panas palagan kontestasi. Ada banyak konten yang alih-alih mengangkat prestasi calon yang dipilih, malah asyik dengan mengumbar aib pilihan yang lain. Gambaran dukung-mendukung dalam arena pilpres tersebut seolah menjustifikasi betapa masih jauhnya kita dari politik yang beradab.

Keadaban politik (political civility) muncul dari kegelisahan kontestasi politik yang dipenuhi oleh berbagai bentuk perilaku tidak beradab. Kebencian dan permusuhan menjadi pemandangan yang lebih dominan dalam perbedaan politik. Presiden Barack Obama menjadi salah satu tokoh yang ikut menyuarakan keadaban politik untuk memerangi perilaku niradab akibat perbedaan politik itu.

Di Indonesia, frekuensi perilaku niradab dalam politik makin mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019. Meski demikian, jejak ketidakadaban politik ini sejatinya sudah muncul jauh sebelum reformasi 1998.

Sebagian pihak melihat keadaban politik sebagai sebuah ilusi. Lebih tepatnya gagasan ideal yang ilusionistik (Zurn, 2013). Sebab, realitasnya, politik selalu berkaitan dengan persaingan dan permusuhan.

Meski sebagian melihatnya secara pesimistis, Indonesia sejatinya memiliki modal sosial untuk mewujudkan politik yang beradab. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang bersumber dari jati diri bangsa. Pancasila menjadi pewarna distingtif demokrasi Indonesia.

Baca Juga :  Hidup Bersama Teknologi

Jati diri bangsa Indonesia tidak asing dengan aneka nilai keadaban. Sopan santun adalah kekhasan perilaku dan sikap yang bersumber dari nilai kearifan Nusantara. Belum lagi agama menjadi sumber akhlak bangsa Indonesia yang begitu kaya. Karena itulah, untuk menjadi beradab dalam demokrasi, bangsa Indonesia telah memiliki modal sosial yang memadai.

Sayangnya, beberapa kali pemilu digelar, modal sosial tersebut seolah tak berbekas. Perilaku politik kita masih jauh dari nilai-nilai keadaban. Kebencian masih menjejali ruang interaksi sosial.

Kita perlu menyegarkan kembali berbagai fitur kemuliaan yang melekat pada jati diri bangsa ini. Tentu butuh pemantik untuk menyadarkan semua pihak bahwa politik harus dibangun di atas nilai-nilai keadaban. Bahwa nilai-nilai kearifan Nusantara telah menyediakan modal sosial yang berharga untuk mewujudkannya.

Pemantik tersebut perlu diinisiasi oleh setidaknya dua kalangan. Pertama, para politikus yang terlibat langsung dalam kontestasi. Mereka harus mampu mencontohkan model-model berpolitik yang santun dan sejuk. Kampanye negatif boleh dilakukan, yang dibedakan dari kampanye hitam (black campaign).

Selama narasi untuk menunjukkan kelemahan lawan dibangun di atas nilai-nilai kompetisi sehat dan data yang valid, dalam ruang demokrasi hal demikian sah untuk dilakukan. Yang tidak boleh dilakukan adalah narasi penuh kebencian. Apalagi dalam bentuk kampanye hitam yang menyuarakan kebohongan, fitnah, dan permusuhan.

Kedua, para intelektual memiliki tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam pendidikan politik yang beradab. Intelektual memiliki tanggung jawab moral yang dituntut oleh keluhuran pengetahuan yang dimiliki untuk memastikan bahwa palagan politik tidak terkontaminasi narasi-narasi kebencian. Rakyat harus disadarkan bahwa bersuara dalam politik adalah hak. Sementara menghormati suara orang lain adalah kewajiban.

Baca Juga :  Elite PDIP Sebut PSI Partai Kecil yang Menggangu, Sigit Widodo Respon Begini

Suara para intelektual harus memenuhi ruang demokrasi dengan gagasan-gagasan yang mendorong pada terciptanya demokrasi sehat. Selah satunya mengenai pentingnya membangun keadaban. Para intelektual yang melibatkan diri secara langsung dalam ruang demokrasi itu sangatlah penting.

Sebab, melalui keterlibatan mereka, deliberasi dalam ruang demokrasi dapat terwujud. Ada keprihatinan bahwa demokrasi mengalami defisit deliberasi (Goldfarb, 1998). Bukan karena intelektual menarik diri dari pertukaran diskursus di ruang demokrasi.

Tetapi karena informasi yang dipasok oleh gelombang media digital menenggelamkan pesan-pesan kebijaksanaan para intelektual. Bahkan, kalaupun mengemuka, arogansi publik di era ”matinya kepakaran” tidak mengindahkan suara profetik mereka.

Demokrasi Hijau

Politik yang beradab adalah salah satu faktor penting yang perlu dibangun untuk menciptakan demokrasi hijau. Demokrasi hijau pada awalnya merujuk pada platform politik yang peka terhadap perubahan iklim. Meski demokrasi hijau berakar di dalam paradigma keberpihakan terhadap lingkungan alam, konsep ini juga perlu ditarik ke dalam iklim demokrasi yang sehat dari bentuk-bentuk ketidakberadaban.

Sebagaimana lingkungan bumi yang membutuhkan komitmen keberpihakan terhadap kebijakan hijau, alam demokrasi juga membutuhkan komitmen politik hijau. Komitmen politik ini didasarkan atas keadaban dalam berpolitik sehingga ruang politik tidak terkontaminasi oleh polusi yang mengancam substansi demokrasi.

Kebencian dan segala bentuk ketidakadaban adalah polusi demokrasi. Polusi ini mengancam terwujudnya demokrasi hijau yang sehat serta bersih dari kebencian dan permusuhan. Demokrasi hijau diharapkan tidak lagi menyisakan residu demokrasi yang baunya masih terus membekas hingga kini. (*)

*) DODIK HARNADI, Dosen Sosiologi Fisip Universitas Jember

Terpopuler

Artikel Terbaru