26.7 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Hidup Bersama Teknologi

PERKEMBANGAN teknologi memberikan dampak positif pada kelangsungan berusaha. Namun, di sisi lain hal itu bisa menjadi momok menakutkan bagi pekerja. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan, pada 2030 diperkirakan 23 juta pekerjaan punah digantikan teknologi (Jawa Pos, 3 Mei 2023).

Sementara, pada waktu yang sama, Bahlil Lahadalia menegaskan kenaikan investasi tidak mendorong serapan tenaga kerja. Betapa teknologi betul-betul menjadi ancaman bagi kehidupan di masa akan datang.

Sejatinya, teknologi itu dilahirkan untuk membantu pekerjaan manusia agar mereka bisa melakukan pekerjaan dengan lebih mudah dan ringan. Penemuan roda adalah contoh paling mudah betapa ia bisa menggerakkan angkutan yang memungkinkan pekerja bisa mengangkut barang lebih banyak dan tidak menguras tenaga.

Dengan demikian, produktivitas bisa ditingkatkan. Tetapi, apa yang terjadi apabila teknologi berat digunakan untuk melakukan kerja-kerja fisik? Efisiensi dan efektivitas tentu bisa diraih dengan berkali lipat.

 

Kutukan

Tetapi, penggantian tenaga manusia dengan teknologi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Banyak tenaga kerja yang masih mengandalkan otot. Dengan demikian, pilihan untuk mengerahkan banyak orang dalam membuat selokan di jalan tak jauh dari rumah merupakan kebijakan yang tepat.

Sebenarnya, puluhan orang itu bisa digantikan dengan ekskavator dan seorang operator. Namun, pengerjaan padat modal itu menyuburkan pengangguran. Tak pelak, di daerah Tapal Kuda kita sering melihat pikap mengangkut pekerja kasar untuk mengerjakan proyek padat karya.

Lebih jauh, adakah teknologi itu benar-benar produktif? Dulu, kita memanfaatkan sumur untuk mengisi kamar mandi. Di sini, warga bisa bercakap-cakap secara langsung di bibir sumur. Pendek kata, mereka tidak memerlukan pompa air dan telepon genggam untuk mandi dan berkomunikasi.

Adakah dengan alat keduanya, manusia hari ini bisa lebih produktif? Justru sebaliknya. Mereka memilih menghabiskan waktu berselancar di media sosial sambil menunggu air penuh. Teknologi telah mematikan manusia dengan menjadikannya sosok yang diam, tak bergerak.

Baca Juga :  Literasi di Zaman Milenial: Apakah Sudah Hilang?

Alih-alih produktif, penggunaan data jelas merupakan tindakan konsumeristik dan diam menyebabkan seseorang memaparkan dirinya pada banyak penyakit karena metabolisme tubuh tidak bekerja secara maksimal. Dengan demikian, kesadaran kognitif perlu hadir untuk melihat kegiatan sehari-hari yang memungkinkan seseorang bisa melakukannya secara fisik, tidak selalu bergantung pada alat yang digerakkan oleh listrik. Pendek kata, di sini kita harus melihat teknologi secara bijak.

 

Anugerah

Di tengah kecemasan di atas, teknologi juga merupakan anugerah karena telah menolong manusia dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Ia juga bisa mempermudah dalam berkomunikasi, membuat pekerjaan lebih efisien, dan memberikan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan internet banking, kita tidak perlu mengecek ke ATM terdekat sehingga bisa menghemat waktu dan bensin. Tetapi, masalahnya, apakah dengan teknologi, manusia bisa mendapatkan uang dengan mudah?

Setelah ditanya, mesin pintar ChatGPT menjawab bahwa manusia harus bekerja keras, mengembangkan keterampilan, membuat usaha sendiri, berinvestasi, dan menjual barang atau jasa. Apa yang disarankan mesin tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan umum. Setiap orang bisa melakukannya meskipun tidak setiap orang bisa menanamkan modal untuk menangguk keuntungan.

Justru, kebanyakan orang adalah kaum pekerja yang mendapatkan upah. Anehnya, dengan pendapatan yang pas-pasan, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan tak mampu membeli barang yang dihasilkannya di pabrik. Betapa sebuah kontradiksi!

Untuk itu, agar teknologi tetap menjadi anugerah, semua pihak harus mempertimbangkan dampak etis penggunaan teknologi pada masyarakat dan lingkungan. Kita harus memastikan bahwa teknologi yang kita gunakan tidak membahayakan orang lain atau merusak alam sekitar. Di sini, teknologi harus bersisian dengan pemikiran kritis (critical thinking). Setiap individu bisa secara mandiri melihat relasi kebutuhan otentik dengan tawaran gaya hidup yang ditopang teknologi.

Media sosial yang lahir dari rahim teknologi semestinya menjadi ruang berbagi pengguna untuk mengatasi masalah bersama terkait kesehatan, pendidikan, politik, dan keagamaan secara menyeluruh. Justru, ketagihan pada medsos telah menyebabkan pengguna tidak nyaman dan terpapar pada rasa tidak aman karena ia seperti narapidana yang disoroti menara panoptikon. Seakan-akan ia akan senantiasa disorot sehingga selalu bersolek agar tampak molek.

Baca Juga :  Pembelajaran Ramadan: Time Concern

Untuk itu, secara logis komunikasi virtual itu bersifat maya, bukan nyata. Karena itu, pengguna bisa menyeimbangkan dengan kegiatan lain di lingkungannya, seperti jemaah, gotong royong, dan ronda bersama. Dengan pertemuan fisik, level oxytocin naik yang membuat mood seseorang lebih baik. Kehadiran WhatsApp dan sejenisnya melengkapi alat percakapan, bukan menghabiskan waktu untuk menekuri microblogging tanpa henti dan tujuan.

Itulah mengapa Paul Dolan dalam Happiness by Design menegaskan bahwa kesenangan (pleasure) itu tidak cukup agar kebahagiaan bisa diraih, ia harus berjalan seimbang dengan tujuan hidup (purpose of life). Setidaknya dengan kegiatan Yasinan, seseorang melepaskan sejenak dari ketagihan pada gawai dan menemukan ruang untuk refleksi, puncak tertinggi dari eksistensi. Anak-anak juga belajar untuk terlepas dari ketergantungan pada game dan ’’belajar” untuk tepekur, melihat ke dalam.

Bagaimanapun, kita bisa hidup bersama dengan teknologi apabila tahu bahwa kata terakhir ini terkait dengan asal kata techne dan logos. Maksud kita tidak berada pada cara atau seni, tetapi tujuan besar dari banyak aktivitas manusia. Bekerja itu adalah untuk menyalurkan minat dan bakat sehingga seseorang bisa memenuhi kebutuhan self-esteem, penghargaan pada diri, untuk selanjutnya berusaha naik pada tangga selanjutnya, aktualisasi diri.

Akhirnya, upah itu bukan tujuan, melainkan alat untuk memenuhi kebutuhan dasar, dengan tetap menimbang penggunaannya untuk kemanfaatan orang banyak secara lebih luas. Mengingat tidak semua harus dibeli, maka keperluan bersama seperti sarana olahraga dan permainan, wajib dipenuhi melalui fasilitas publik. (*)

 

*) AHMAD SAHIDAH, Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid Paiton, Jawa Timur

PERKEMBANGAN teknologi memberikan dampak positif pada kelangsungan berusaha. Namun, di sisi lain hal itu bisa menjadi momok menakutkan bagi pekerja. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan, pada 2030 diperkirakan 23 juta pekerjaan punah digantikan teknologi (Jawa Pos, 3 Mei 2023).

Sementara, pada waktu yang sama, Bahlil Lahadalia menegaskan kenaikan investasi tidak mendorong serapan tenaga kerja. Betapa teknologi betul-betul menjadi ancaman bagi kehidupan di masa akan datang.

Sejatinya, teknologi itu dilahirkan untuk membantu pekerjaan manusia agar mereka bisa melakukan pekerjaan dengan lebih mudah dan ringan. Penemuan roda adalah contoh paling mudah betapa ia bisa menggerakkan angkutan yang memungkinkan pekerja bisa mengangkut barang lebih banyak dan tidak menguras tenaga.

Dengan demikian, produktivitas bisa ditingkatkan. Tetapi, apa yang terjadi apabila teknologi berat digunakan untuk melakukan kerja-kerja fisik? Efisiensi dan efektivitas tentu bisa diraih dengan berkali lipat.

 

Kutukan

Tetapi, penggantian tenaga manusia dengan teknologi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Banyak tenaga kerja yang masih mengandalkan otot. Dengan demikian, pilihan untuk mengerahkan banyak orang dalam membuat selokan di jalan tak jauh dari rumah merupakan kebijakan yang tepat.

Sebenarnya, puluhan orang itu bisa digantikan dengan ekskavator dan seorang operator. Namun, pengerjaan padat modal itu menyuburkan pengangguran. Tak pelak, di daerah Tapal Kuda kita sering melihat pikap mengangkut pekerja kasar untuk mengerjakan proyek padat karya.

Lebih jauh, adakah teknologi itu benar-benar produktif? Dulu, kita memanfaatkan sumur untuk mengisi kamar mandi. Di sini, warga bisa bercakap-cakap secara langsung di bibir sumur. Pendek kata, mereka tidak memerlukan pompa air dan telepon genggam untuk mandi dan berkomunikasi.

Adakah dengan alat keduanya, manusia hari ini bisa lebih produktif? Justru sebaliknya. Mereka memilih menghabiskan waktu berselancar di media sosial sambil menunggu air penuh. Teknologi telah mematikan manusia dengan menjadikannya sosok yang diam, tak bergerak.

Baca Juga :  Literasi di Zaman Milenial: Apakah Sudah Hilang?

Alih-alih produktif, penggunaan data jelas merupakan tindakan konsumeristik dan diam menyebabkan seseorang memaparkan dirinya pada banyak penyakit karena metabolisme tubuh tidak bekerja secara maksimal. Dengan demikian, kesadaran kognitif perlu hadir untuk melihat kegiatan sehari-hari yang memungkinkan seseorang bisa melakukannya secara fisik, tidak selalu bergantung pada alat yang digerakkan oleh listrik. Pendek kata, di sini kita harus melihat teknologi secara bijak.

 

Anugerah

Di tengah kecemasan di atas, teknologi juga merupakan anugerah karena telah menolong manusia dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Ia juga bisa mempermudah dalam berkomunikasi, membuat pekerjaan lebih efisien, dan memberikan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan internet banking, kita tidak perlu mengecek ke ATM terdekat sehingga bisa menghemat waktu dan bensin. Tetapi, masalahnya, apakah dengan teknologi, manusia bisa mendapatkan uang dengan mudah?

Setelah ditanya, mesin pintar ChatGPT menjawab bahwa manusia harus bekerja keras, mengembangkan keterampilan, membuat usaha sendiri, berinvestasi, dan menjual barang atau jasa. Apa yang disarankan mesin tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan umum. Setiap orang bisa melakukannya meskipun tidak setiap orang bisa menanamkan modal untuk menangguk keuntungan.

Justru, kebanyakan orang adalah kaum pekerja yang mendapatkan upah. Anehnya, dengan pendapatan yang pas-pasan, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan tak mampu membeli barang yang dihasilkannya di pabrik. Betapa sebuah kontradiksi!

Untuk itu, agar teknologi tetap menjadi anugerah, semua pihak harus mempertimbangkan dampak etis penggunaan teknologi pada masyarakat dan lingkungan. Kita harus memastikan bahwa teknologi yang kita gunakan tidak membahayakan orang lain atau merusak alam sekitar. Di sini, teknologi harus bersisian dengan pemikiran kritis (critical thinking). Setiap individu bisa secara mandiri melihat relasi kebutuhan otentik dengan tawaran gaya hidup yang ditopang teknologi.

Media sosial yang lahir dari rahim teknologi semestinya menjadi ruang berbagi pengguna untuk mengatasi masalah bersama terkait kesehatan, pendidikan, politik, dan keagamaan secara menyeluruh. Justru, ketagihan pada medsos telah menyebabkan pengguna tidak nyaman dan terpapar pada rasa tidak aman karena ia seperti narapidana yang disoroti menara panoptikon. Seakan-akan ia akan senantiasa disorot sehingga selalu bersolek agar tampak molek.

Baca Juga :  Pembelajaran Ramadan: Time Concern

Untuk itu, secara logis komunikasi virtual itu bersifat maya, bukan nyata. Karena itu, pengguna bisa menyeimbangkan dengan kegiatan lain di lingkungannya, seperti jemaah, gotong royong, dan ronda bersama. Dengan pertemuan fisik, level oxytocin naik yang membuat mood seseorang lebih baik. Kehadiran WhatsApp dan sejenisnya melengkapi alat percakapan, bukan menghabiskan waktu untuk menekuri microblogging tanpa henti dan tujuan.

Itulah mengapa Paul Dolan dalam Happiness by Design menegaskan bahwa kesenangan (pleasure) itu tidak cukup agar kebahagiaan bisa diraih, ia harus berjalan seimbang dengan tujuan hidup (purpose of life). Setidaknya dengan kegiatan Yasinan, seseorang melepaskan sejenak dari ketagihan pada gawai dan menemukan ruang untuk refleksi, puncak tertinggi dari eksistensi. Anak-anak juga belajar untuk terlepas dari ketergantungan pada game dan ’’belajar” untuk tepekur, melihat ke dalam.

Bagaimanapun, kita bisa hidup bersama dengan teknologi apabila tahu bahwa kata terakhir ini terkait dengan asal kata techne dan logos. Maksud kita tidak berada pada cara atau seni, tetapi tujuan besar dari banyak aktivitas manusia. Bekerja itu adalah untuk menyalurkan minat dan bakat sehingga seseorang bisa memenuhi kebutuhan self-esteem, penghargaan pada diri, untuk selanjutnya berusaha naik pada tangga selanjutnya, aktualisasi diri.

Akhirnya, upah itu bukan tujuan, melainkan alat untuk memenuhi kebutuhan dasar, dengan tetap menimbang penggunaannya untuk kemanfaatan orang banyak secara lebih luas. Mengingat tidak semua harus dibeli, maka keperluan bersama seperti sarana olahraga dan permainan, wajib dipenuhi melalui fasilitas publik. (*)

 

*) AHMAD SAHIDAH, Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid Paiton, Jawa Timur

Terpopuler

Artikel Terbaru