31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Oleh: Qory Satiti Mahanani

Literasi di Zaman Milenial: Apakah Sudah Hilang?

DEWASA ini, generasi Z atau yang akrab disebut generasi milenial dituntut menjadi agen perubahan untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Generasi milenial ini digadang-gadang sebagai penerus tonggak kepemimpinan bangsa ini. Begitu besar harapan bangsa ini kepada mereka. Namun, seiring berkembangnya zaman kemajuan teknologi telah mengubah kehidupan kita.

Apakah kalian suka membaca buku? Sebagian anak-anak Indonesia ketika ditanya pasti menjawab “tidak”. Karena mereka menganggap bahwa kegiatan membaca identik dengan hal yang membosankan dan nggak gaul. Apalagi di tengah wabah Covid-19 yang masih melanda di Indonesia, aktivitas membaca semakin tersingkirkan oleh adanya hal yang instan.

Banyak orang yang menyederhanakan arti dari literasi. Padahal literasi bukan hanya sekedar membaca buku saja, tetapi juga kemampuan untuk menulis, berbicara, menghitung dan membiasakan berpikir kritis untuk memecahkan permasalahan yang ada serta bagaimana cara kita menggerakkan orang lain untuk melakukan budaya ini juga. Karena sangat kecil harapan untuk menumbuhkan semangat membaca pada diri siswa yang sudah menjadi budak teknologi di kemajuan zaman saat ini.

Dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat, kalangan milenial cenderung menghabiskan waktu luangnya dengan menatap gadget lebih dari 9 jam perhari, mampu membeli gadget dengan harga jutaan rupiah namun untuk membaca dan membeli buku sangatlah malas. Tidak heran apabila Indonesia menjadi sasaran utama untuk info  hoax, provokasi dan fitnah tanpa disaring lebih lanjut.

Kemajuan teknologi yang diciptakan untuk memudahkan kita, misalnya ketika ingin membaca buku tidak perlu membawa buku yang berat dan tebal. Pada gadget telah tersedia berbagai macam aplikasi untuk menulis dan membaca. Mulai dari yang berbayar hingga yang dapat kita gunakan secara cuma-cuma.

Baca Juga :  Respons Aparat terhadap KKB

Sayangnya itu semua belum cukup mendorong angka minat baca di Indonesia. Justru dengan kecanggihan gadget orang Indonesia semakin malas membaca. Mirisnya hal tersebut telah mengubah pola pikir generasi milenial dari berbagai bidang kehidupan sehari-hari. Dengan dalih “praktis” anak-anak cenderung memilih hal yang instan. Sebagian besar dari mereka memilih menggunakan gadget untuk berselancar di media sosial, sehingga jarang sekali ditemukan aplikasi untuk menulis ataupun membaca di gadget anak-anak sekarang.

Sering kita jumpai bahwa anak balita yang belum bisa membaca dan menulis sudah mahir menggunakan gadget milik orang tuanya untuk bermain game online tanpa pengawasan dari orang tua. Oleh karena itu sebelum bersentuhan dengan teknologi, anak-anak sebaiknya dibiasakan dengan budaya literasi sejak dini, misalnya memberikan buku bacaan bergambar atau menceritakan dongeng sebelum tidur. Seiring berkembangnya zaman, teknologi memang suatu hal yang memudahkan kehidupan manusia, terutama untuk mencari apa yang mereka inginkan. Yang menjadi sorotan adalah ketika hal tersebut berubah menjadi sebuah kebiasaan. Faktanya banyak siswa yang memilih hal yang instan seperti mencari di internet ataupun “mbah goggle” daripada memobalak-balikan halaman buku, belum lagi jika buku tersebut memiliki volume ukuran yang tebal. Hal yang instan memang suatu hal yang praktis dan tidak memakan banyak waktu, tetapi hal ini dapat merugikan diri sendiri di masa yang akan datang.

Baca Juga :  Dekonstruksi Makna dari Bahasa Kekinian: "Dibalik Bahasa Jaksel"

Lunturnya literasi di Indonesia harus segera dibenahi, seperti kutipan yang sering kita dengar bahwa “membaca adalah jantungnya Pendidikan” hal ini sejalan dengan fungsi literasi, karena tanpa membaca pendidikan akan mati. Walaupun saat ini hidup kita akrab dengan teknologi, bukan berarti seluruh elemen kehidupan dimanjakan oleh teknologi. Kalau terus begini, kapan Indonesia bisa menjadi negara yang maju?

Membudayakan literasi bisa dimulai dari lingkungan keluarga terlebih dahulu, walaupun ini bukanlah hal yang mudah. Karena membutuhkan proses agar anak bisa mengenal dan mencintai buku. Orang tua memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi keluarga. Mereka butuh cara kreatif untuk mengenalkan buku kepada anak-anak. Untuk menjadikan seseorang gemar membaca, itu harus melalui proses belajar secara terus-menerus, serta kemampuan membaca juga perlu terus dilatih.

Budaya literasi sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Hal ini merupakan langkah awal menuju Indonesia maju dan bersaing dengan negara lainnya. Untuk membiasakan diri sendiri dapat kita mulai dengan memperluas wawasan dengan kegiatan literasi. Literasi dapat kita lakukan untuk mengisi waktu luang, misalnya saat menuju perjalanan pulang dan menyisihkan waktu sebelum tidur minimal 15 sampai 20 menit untuk membaca. Dengan literasi, kita mampu meningkatkan integritas bangsa dan moral bangsa.  Selain itu literasi juga bisa menjadi bekal untuk menjaga generasi milenial dari serangan hoax atau korban cyber crime oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang bisa merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan masyarakat luas.(*)

(QORY SATITI MAHANANI. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, Prodi Akuntansi)

DEWASA ini, generasi Z atau yang akrab disebut generasi milenial dituntut menjadi agen perubahan untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Generasi milenial ini digadang-gadang sebagai penerus tonggak kepemimpinan bangsa ini. Begitu besar harapan bangsa ini kepada mereka. Namun, seiring berkembangnya zaman kemajuan teknologi telah mengubah kehidupan kita.

Apakah kalian suka membaca buku? Sebagian anak-anak Indonesia ketika ditanya pasti menjawab “tidak”. Karena mereka menganggap bahwa kegiatan membaca identik dengan hal yang membosankan dan nggak gaul. Apalagi di tengah wabah Covid-19 yang masih melanda di Indonesia, aktivitas membaca semakin tersingkirkan oleh adanya hal yang instan.

Banyak orang yang menyederhanakan arti dari literasi. Padahal literasi bukan hanya sekedar membaca buku saja, tetapi juga kemampuan untuk menulis, berbicara, menghitung dan membiasakan berpikir kritis untuk memecahkan permasalahan yang ada serta bagaimana cara kita menggerakkan orang lain untuk melakukan budaya ini juga. Karena sangat kecil harapan untuk menumbuhkan semangat membaca pada diri siswa yang sudah menjadi budak teknologi di kemajuan zaman saat ini.

Dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat, kalangan milenial cenderung menghabiskan waktu luangnya dengan menatap gadget lebih dari 9 jam perhari, mampu membeli gadget dengan harga jutaan rupiah namun untuk membaca dan membeli buku sangatlah malas. Tidak heran apabila Indonesia menjadi sasaran utama untuk info  hoax, provokasi dan fitnah tanpa disaring lebih lanjut.

Kemajuan teknologi yang diciptakan untuk memudahkan kita, misalnya ketika ingin membaca buku tidak perlu membawa buku yang berat dan tebal. Pada gadget telah tersedia berbagai macam aplikasi untuk menulis dan membaca. Mulai dari yang berbayar hingga yang dapat kita gunakan secara cuma-cuma.

Baca Juga :  Respons Aparat terhadap KKB

Sayangnya itu semua belum cukup mendorong angka minat baca di Indonesia. Justru dengan kecanggihan gadget orang Indonesia semakin malas membaca. Mirisnya hal tersebut telah mengubah pola pikir generasi milenial dari berbagai bidang kehidupan sehari-hari. Dengan dalih “praktis” anak-anak cenderung memilih hal yang instan. Sebagian besar dari mereka memilih menggunakan gadget untuk berselancar di media sosial, sehingga jarang sekali ditemukan aplikasi untuk menulis ataupun membaca di gadget anak-anak sekarang.

Sering kita jumpai bahwa anak balita yang belum bisa membaca dan menulis sudah mahir menggunakan gadget milik orang tuanya untuk bermain game online tanpa pengawasan dari orang tua. Oleh karena itu sebelum bersentuhan dengan teknologi, anak-anak sebaiknya dibiasakan dengan budaya literasi sejak dini, misalnya memberikan buku bacaan bergambar atau menceritakan dongeng sebelum tidur. Seiring berkembangnya zaman, teknologi memang suatu hal yang memudahkan kehidupan manusia, terutama untuk mencari apa yang mereka inginkan. Yang menjadi sorotan adalah ketika hal tersebut berubah menjadi sebuah kebiasaan. Faktanya banyak siswa yang memilih hal yang instan seperti mencari di internet ataupun “mbah goggle” daripada memobalak-balikan halaman buku, belum lagi jika buku tersebut memiliki volume ukuran yang tebal. Hal yang instan memang suatu hal yang praktis dan tidak memakan banyak waktu, tetapi hal ini dapat merugikan diri sendiri di masa yang akan datang.

Baca Juga :  Dekonstruksi Makna dari Bahasa Kekinian: "Dibalik Bahasa Jaksel"

Lunturnya literasi di Indonesia harus segera dibenahi, seperti kutipan yang sering kita dengar bahwa “membaca adalah jantungnya Pendidikan” hal ini sejalan dengan fungsi literasi, karena tanpa membaca pendidikan akan mati. Walaupun saat ini hidup kita akrab dengan teknologi, bukan berarti seluruh elemen kehidupan dimanjakan oleh teknologi. Kalau terus begini, kapan Indonesia bisa menjadi negara yang maju?

Membudayakan literasi bisa dimulai dari lingkungan keluarga terlebih dahulu, walaupun ini bukanlah hal yang mudah. Karena membutuhkan proses agar anak bisa mengenal dan mencintai buku. Orang tua memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi keluarga. Mereka butuh cara kreatif untuk mengenalkan buku kepada anak-anak. Untuk menjadikan seseorang gemar membaca, itu harus melalui proses belajar secara terus-menerus, serta kemampuan membaca juga perlu terus dilatih.

Budaya literasi sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Hal ini merupakan langkah awal menuju Indonesia maju dan bersaing dengan negara lainnya. Untuk membiasakan diri sendiri dapat kita mulai dengan memperluas wawasan dengan kegiatan literasi. Literasi dapat kita lakukan untuk mengisi waktu luang, misalnya saat menuju perjalanan pulang dan menyisihkan waktu sebelum tidur minimal 15 sampai 20 menit untuk membaca. Dengan literasi, kita mampu meningkatkan integritas bangsa dan moral bangsa.  Selain itu literasi juga bisa menjadi bekal untuk menjaga generasi milenial dari serangan hoax atau korban cyber crime oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang bisa merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan masyarakat luas.(*)

(QORY SATITI MAHANANI. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, Prodi Akuntansi)

Terpopuler

Artikel Terbaru