SIDANG sengketa Pilpres 2024 yang sedang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyeret ketidakpastian ekonomi yang serius. Hal tersebut ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sudah mencapai angka Rp 15.955 per dolar Selasa (2/4).
Kurs itu berarti nilai tukar terlemah sejak 30 Maret 2020. Pertarungan sengketa pilpres di ruang sidang MK telah ”menggoyang” rupiah dan itu bisa menjadi awal buruk kalau tidak dikelola dengan baik.
Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengendalikan depresiasi saat ini. Sebab, kebijakan ekonomi yang rasional pasti kalah dengan sentimen negatif yang berasal dari ruang sidang. Saat ini yang bisa dilakukan hanyalah operasi pasar sporadis. Yaitu menjual cadangan devisa ke pasar untuk sekadar ”mengerem”, bukan ”menghentikan” laju depresiasi.
Padahal, kita tahu, nilai tukar (exchange rate) memainkan peran penting di dalam percaturan ekonomi nasional dan internasional. Nilai tukar menentukan daya beli dan kekayaan relatif antarnegara. Makanya, semua negara berusaha menjaga mata uangnya sesuai preferensi masing-masing dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan nasional. Untuk tujuan itu, semua negara tidak peduli walaupun yang dilakukan menyebabkan negara lain mengalami kerugian.
Nilai tukar sudah menjadi medan ”perang” yang ”ganas” setelah sistem nilai tukar dunia berubah. Setelah jatuhnya sistem Bretton Wood. Sebelumnya semua negara mengaitkan (peg) mata uangnya dengan dolar sehingga kursnya tetap. Sementara dolar dikaitkan dengan emas sehingga implisit semua negara menerapkan mata uang dengan standar emas.
Pasca kejatuhan sistem Bretton Wood, dunia menyaksikan satu sistem nilai tukar yang relatif baru yang dikenal dengan sistem mengambang bebas (free floating). Walaupun pada awalnya sistem itu dianggap solusi yang sangat mudah dan praktis karena ada penyesuaian otomatis (automatic adjustment), kenyataannya tidak seperti dalam teori.
Pada kenyataannya, sangat sulit menemukan landasan fundamental ekonomi atau variabel-variabel ekonomi yang dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar.
Kasus sengketa pilpres yang saat ini sedang berlangsung merupakan contoh bagaimana nilai tukar bisa ”bergoyanggoyang” karena sentimen negatif. Fenomena sulitnya menjelaskan volatilitas nilai tukar dikenal dengan istilah terputusnya kurs (exchange rate disconnect).
Akibat adanya disconnect ini, terjadi kesulitan yang terus-menerus dalam pengelolaan nilai tukar. Itu tentu saja membuat Bank Indonesia ”pusing tujuh keliling” karena menjaga nilai rupiah adalah tugas konstitusionalnya.
Pada level internasional, kesulitan atau tepatnya kebingungan dalam menjelaskan bagaimana nilai tukar bergerak terjadi pada awal 2022. Saat itu semua negara blok Barat yang dipimpin AS berkolaborasi menghancurkan ekonomi Rusia karena menyerang Ukraina.
Sanksi demi sanksi dikenakan terhadap Rusia dengan tujuan untuk melumpuhkan ekonomi Rusia. Para politikus Barat dan sekutunya berharap sanksi yang diberikan menjatuhkan nilai tukar mata uang rubel. Yang terjadi malah sebaliknya. Nilai tukar rubel malah mengalami apresiasi dibandingkan sebelum perang.
Selama ini pandangan teoretis menyatakan, apresiasi mata uang akan meningkatkan impor dan mengurangi ekspor sehingga membuat neraca perdagangan defisit. Ternyata, pada kasus-kasus tertentu, apresiasi mata uang juga meningkatkan ekspor. Swiss yang mata uangnya terus menguat ternyata ekspornya meningkat dan impornya relatif tidak terjadi lonjakan.
Itu karena ekspornya berbasis knowledge economy. Ini berbeda dengan Indonesia di mana ekspornya berbasis komoditas. Tiongkok juga mengalami hal yang sama di mana penguatan kurs renminbi meningkatkan ekspor juga. Ini terjadi karena Tiongkok melakukan inovasi, penelitian, dan kebijakan ekonomi yang tepat.
Jujur saja, Tiongkok adalah salah satu negara yang berhasil mengeksploitasi kebijakan nilai tukarnya dengan baik sebelum mereka mengambangkan mata uangnya pada tahun 2005. Mereka melakukan depresiasi sembunyi-sembunyi dengan dalih kebijakan renminbi non-tradeable.
Saat terpaksa melakukan internasionalisasi mata uang, terjadi apresiasi sampai 20 persen yang berarti sebelum 2005 kebijakan melemahkan nilai tukar telah berhasil menaikkan ekspor Tiongkok. Setelah 2005, Tiongkok mampu mendorong ekspornya bukan karena mata uangnya lemah, tetapi karena produktivitas mereka naik.
Pertanyaannya sekarang apakah bank sentral bisa meramalkan pergerakan nilai tukar yang tepat? Jawabannya ya dan tidak. Kalau untuk jangka panjang bisa dengan pemodelan variabel penentu nilai tukar.
Namun, untuk jangka pendek sangat sulit. Kalau ada kejadian khusus seperti sidang sengketa pilpres dan ternyata ”menggoyang” nilai tukar rupiah, mustahil model ekonomi mampu meramalkannya. Inilah penyebab nilai tukar mata uang disconnect alias misterius dan sulit dijelaskan.
Sebaliknya juga salah kalau pergerakan kurs adalah sepenuhnya anomali dan tidak ada landasan teori. Masalahnya adalah ketepatan dalam memilih variabel-variabel ekonomi seperti suku bunga, pertumbuhan ekonomi, sampai posisi neraca pembayaran. Keadaan diperparah oleh sifat hubungan yang nonlinear.
Yang paling sulit adalah melakukan ramalan untuk jangka waktu (time horizon) jangka pendek. Ini karena memang aspek nonekonomis sangat kuat seperti isu-isu politik, sentimen negatif atas kebijakan pemerintah, dan adanya pelarian modal karena alasan geopolitik.
Menyikapi melemahnya rupiah yang cukup drastis ini, Bank Indonesia akhirnya mengambil langkah intervensi pasar dalam rangka mengerem agar nilai tukar rupiah tidak sampai di atas Rp16.000 per dolar. Tindakan menjaga keseimbangan ini harus dilakukan karena kalau sampai di atas Rp16.000, angka psikologis itu akan menyeret pada penurunan lebih lanjut. Semoga silang sengkarut perselisihan pilpres ini tidak membuat ekonomi makin terpuruk. (*)
*) ABDUL MONGID, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unesa