Site icon Prokalteng

Muktamar Bahagia

Oleh AKH. MUZAKKI

BERAWAL dari gegeran menjadi ger-geran. Itulah kalimat yang sering muncul untuk menggambarkan bagaimana orang NU, khususnya pada jajaran elite, menyelesaikan masalahnya. Dalam bahasa anak sekolahan, mekanisme penyelesaian masalah tersebut dikenal dengan istilah resolusi konflik.

Gegeran? Mungkin ya. Jika kita meminjam pemaknaan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan kata gegeran (atau ’’kegegeran’’) sebagai kondisi riuh ramai tidak keruan, gempar, heboh, dan ribut, maka kata gegeran bisa dipakai untuk mengilustrasikan dinamika yang terjadi di seputar persiapan perhelatan Muktamar Ke-34 NU.

Kondisi riuh itu dipicu utamanya oleh kebijakan pemerintah melalui Menko PMK Muhadjir Effendy dalam keterangan tertulisnya yang disebar ke media (17/11) yang berencana memberlakukan PPKM level 3 untuk seluruh wilayah di Indonesia, mulai 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022.

Atas kebijakan pemberlakuan segera PPKM level 3 tersebut, rencana muktamar pun terdampak berat. Sejatinya, hasil Konferensi Besar (Konbes) NU pada 25-26 September 2021 di Jakarta yang telah memutuskan Muktamar Ke-34 NU pada 23–25 Desember 2021 telah menyudahi perdebatan panjang tentang kapan waktu yang pas untuk muktamar. Pertimbangan dasarnya merujuk ke dua hal penting: legitimasi organisasi menyusul habisnya masa khidmat PBNU hasil muktamar ke-33 sejak setahun sebelumnya, serta kondisi pandemi yang belum usai

Hasil konbes 25-26 September 2021 sebenarnya layaknya kaidah yang populer di kalangan santri, hukmul hakim yarfa’ul khilaf (keputusan pemegang otoritas mengakhiri perselisihan). Ketika yang berwenang mengambil keputusan, tak boleh ada lagi perselisihan tentang kapan muktamar harus dilaksanakan di masa pandemi ini. Namun, hasil keputusan konbes 25-26 September 2021 akhirnya berantakan akibat kebijakan pemerintah yang akan menerapkan PPKM level 3 pada momen Nataru itu.

Perdebatan seru pun kembali menyeruak tentang kapan muktamar seharusnya digelar. Isunya tetap bermuara pada dua hal: legitimasi organisasi dan kondisi pandemi, seperti diuraikan sebelumnya. Namun, kebijakan pembatalan rencana pemberlakuan PPKM level 3 pada momen Nataru oleh pemerintah melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, seraya menggantinya dengan kebijakan penentuan status PPKM berdasar asesmen, membuka kembali optimisme terhadap pelaksanaan Muktamar Ke-34 NU tahun ini.

 

Optimisme itu diresmikan melalui hasil keputusan rapat gabungan PBNU dan Konbes NU pada 7 Desember 2021. Dalam surat nomor 4284/A.I.01/12/2021 tertanggal 7 Desember 2021, PBNU melakukan ikhbar bahwa Muktamar Ke-34 NU akan digelar sesuai dengan hasil keputusan Konbes NU 26 September lalu, yakni kembali ke tanggal 23–25 Desember 2021. Perdebatan pun selesai, dan semua cenderung bahagia dengan keputusan tentang tanggal muktamar itu.

Bahagia Prosedural

Pertanyaan yang mungkin mengemuka adalah bagaimana menyandingkan konsep bahagia dengan pandemi yang masih menyelimuti kehidupan bersama. Dua konsep itu memang harus disandingkan agar tidak terjadi krisis, baik krisis kesehatan maupun krisis legitimasi organisasi. Krisis kesehatan lahir karena abainya kita terhadap protokol kesehatan, sedangkan krisis legitimasi organisasi muncul karena tidak adanya keputusan organisasi atas kepemimpinan.

Untuk keluar dari krisis ganda tersebut, memang ada dua hal utama yang harus menjadi pertimbangan organisasi: keselamatan jiwa dan kebutuhan organisasi. Keduanya lalu bertemu pada satu titik untuk menunjuk ke persoalan teknikalitas pelaksanaan. Bagaimanapun, NU sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini harus menjadi teladan dalam menjalankan kepatuhan atas protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Kebutuhan untuk menjamin efektivitas kerja kepemimpinan organisasi harus disinergikan dan dibersamakan dengan kebutuhan untuk mematuhi protokol kesehatan.

Nah, untuk menjamin apakah kebutuhan untuk menjamin efektivitas kerja kepemimpinan organisasi bisa dibersamakan dan disandingkan dengan kewajiban mematuhi protokol kesehatan dalam kerangka pelaksanaan muktamar, para pemimpin NU di level nasional perlu mengambil langkah penting. Beberapa kebijakan teknis bisa diambil. Mulai acara yang dilaksanakan secara gabungan (hybrid), luring dan daring, hingga pembagian peserta muktamar dengan prinsip zonasi sebagai tata kelolanya.

Prinsip hybrid dan zonasi itu bisa disempurnakan lebih jauh dengan model ’’kendara lewat’’ (drive-through) untuk tata kelola pemungutan suara. Sebab, sudah menjadi keputusan organisasi bahwa pemilihan ketua umum PBNU akan dilakukan melalui pemilihan langsung. Artinya, akan ada gugusan orang dalam jumlah yang relatif banyak untuk berkumpul di titik tertentu. Melalui teknis ’’kendara lewat’’, pemungutan suara langsung bisa diatur sedemikian rupa hingga mengurangi potensi kerumunan.

Melalui gabungan prinsip hybrid dan zonasi, serta ’’kendara lewat’’, muktamar bisa dilaksanakan dengan sukses. Protokol kesehatan pun bisa dipenuhi dengan baik. Tidak ada kerumunan. Juga, muktamirin difasilitasi dengan desain ketat. Mulai bermasker hingga membersihkan/mencuci tangan. Akhirnya, muktamar pun dapat menghasilkan keputusan tentang nakhoda organisasi, mulai rais am hingga ketua umum.

Bahagia Substansial

Muktamar Bahagia harus diikuti dengan indikator kesuksesan yang terukur. Bukan saja sukses prosedural, tetapi juga sukses substansial. Sukses ganda ini bukan saja dalam bentuk sukses melaksanakan muktamar di tengah pandemi yang belum pernah ada preseden sebelumnya, tetapi juga dalam bentuk sukses menentukan kepemimpinan yang legitimate hasil pilihan dalam muktamar dan bukan hasil perpanjangan legal-formal perpanjangan SK melalui musyawarah tingkat di bawah muktamar.

Bahkan, lebih dari itu, sukses muktamar ke-34 harus ditandai dengan perancangan program strategis dalam menyiapkan pergerakan organisasi NU memasuki abad kedua dalam khidmatnya untuk agama, umat, bangsa, negara, dan dunia global. Bahagia berkelanjutan harus menyentuh program strategis yang dimaksud, dan Muktamar Ke-34 NU menjadi momentum krusial untuk merealisasikan kepentingan tersebut dalam kebangkitan awal abad kedua. Gabungan dari bahagia yang lahir karena sukses prosedural dan sukses substansial menjadi pembentuk bagi prinsip bahagia berkelanjutan. Itulah makna ger-geran yang sesungguhnya. (*)

*) AKH. MUZAKKI, Sekretaris PWNU Jawa Timur, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Exit mobile version