27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Mengapa Megawati Sangat Kuat?

PERTANYAAN dalam judul ini terdengar sederhana sekaligus lugu, tetapi bergaung begitu lama tanpa sebuah jawaban yang total. Apalagi, dalam konteks Pemilu 2024 yang tahapannya sudah berjalan, figur Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mustahil untuk tak dihitung sebagai salah satu faktor terpenting. Dia telah mendemonstrasikan dengan telanjang sebuah rupa kekuasaan ekstensif yang nyaris tak terbantah.

Megawati bukan saja memegang kata putus atas siapa calon presiden dan wakil presiden dari partainya. Namun, dia juga mengunci posisi sebagai satu-satunya patron partai di Indonesia yang memenangi tiga pemilu, dua di antaranya adalah pemilu demokratis, secara meyakinkan.

Megawati juga membuktikan superioritas posisinya. Bahkan, dalam berhadapan dengan Presiden Joko Widodo. Dia memosisikan Jokowi sekadar sebagai ’’petugas partai’’ –sebuah label yang lagi-lagi disandang oleh bakal calon presiden 2024 dari PDIP, Ganjar Pranowo.

Sebagian besar sarjana menyumbang pendapat romantik mengapa Megawati amat kuat. Alasan historis adalah yang paling masyhur di sini: Megawati merupakan perlambang kekuatan sejarah anti-otoritarianisme yang merayap dari bawah (lihat misalnya, Ali 2022). Putri Soekarno itu membangun legitimasi bukan saja dari genealogi ideologis nasionalisme yang diwariskan oleh presiden pertama, tapi juga karena kegigihannya melawan represi Soeharto.

Namun, pendapat romantik semacam itu tak mencukupi dalam menjelaskan mengapa ’’warisan’’ dan kenangan sejarah itu tetap kuat hingga kini. Pada saat zaman bergerak secara radikal dengan kompleksitas kekuatan politik yang jauh lebih rumit ketimbang periode Orde Baru, bagaimana Megawati tetap tak tergantikan? Sementara partai-partai lain mengalami regenerasi dan transisi kepemimpinan, mengapa nama Megawati terus muncul sebagai yang teratas? Dan, yang paling penting dari itu semua: bagaimana bisa patronasi Megawati dapat mengintervensi, mengguncang, dan menantang secara terbuka kekuasaan seluas presiden?

Baca Juga :  Hadapi Pemilu 2024, Polresta Palangka Raya Gelar Simulasi Unras

 

Otonomi & Konfidensi Politik

Berada di ujung kemudi partai selama hampir tiga dekade, status dominan Megawati memang banyak dikritik sebagai tanda kemenangan elitisme dan kuasa dinasti yang tak menghendaki kesegaran regenerasi (Aspinall 2010; Nugroho 2023). Tudingan itu sebagian benar, terutama melihat absennya figur kuat yang dapat diproyeksi menggantikan Megawati. Tetapi, dominasi Megawati beralasan karena dua sebab utama yang jarang dilihat dan diakui.

Pertama, stabilitas internal partai. Kekuasaan Megawati menghindarkan partainya dari faksionalisme akut yang kerap hinggap sebagai konsekuensi transisi kepemimpinan. Refleksi semacam itu mudah dicari dari contoh pecah kongsi partai-partai besar, untuk menyebut beberapa: Anas Urbaningrum versus Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat, Djan Faridz versus Romahurmuziy di PPP, atau Muhaimin Iskandar melawan Abdurrahman Wahid di PKB.

Megawati memilih cara paling efisien lewat mode dinasti (dynastic mindset) dengan terus mendudukkan dirinya sebagai calon tunggal di setiap kongres pemilihan ketua partai. Megawati secara efektif membangun image PDIP sebagai ’’partainya Mega’’ atau personalistic party, sebagaimana digarisbawahi oleh Tomsa (2013).

Kedua, Megawati adalah satu-satunya figur politikus hari ini dengan rekam jejak eksperimentasi politik paling panjang. Dia kenyang dalam mengelola risiko kooptasi negara atas partai, sebagaimana yang ia alami sejak 1990-an. Situasi itu membedakannya dengan SBY, yang tampak begitu kerepotan dalam mengelola riak di dalam Partai Demokrat. Bahkan, kini di bawah risiko pengambilalihan partai oleh mantan panglima TNI Moeldoko.

Pernah berkuasa sebagai wakil presiden dan presiden, Megawati juga memahami dengan sangat baik strategi oportunistik semacam distribusi kekuasaan, membangun aliansi politik, sekaligus menakar oposisi elite di lanskap kekuasaan. Dia juga berpengalaman di luar pagar kekuasaan, menempatkannya sebagai kritikus utama negara selama menjadi oposisi pada 2004–2014.

Baca Juga :  PKS Kalteng Dukung Pasangan Anies-Imin Maju di Pilpres 2024

Dia lolos dari krisis kekalahan pemilu dan membalik semua prediksi dengan memenangi dua pemilu terakhir. Keluwesan itu membuatnya tak tergantikan dalam pengertian harfiah: belum ada yang mampu menyaingi riwayat naik turun kekuasaan sealami dan selama Megawati.

Semua kapital itu berkelindan dalam menjalin otonomi individual dengan konfidensi politik yang sangat mencolok. Meski berada sebagai anomali dalam spektrum politik maskulin, Megawati mendikte banyak usulan kebijakan lewat kader-kader partainya di lingkaran pemerintah dan parlemen.

Lebih jauh, otoritas Megawati luar biasa eksesif hingga ke luar zona kepartaian. Maka, membayangkan dia mengintervensi Jokowi dalam banyak contoh tampak natural saja. Jokowi, dengan popularitas yang menolong PDIP dari kekalahan pemilu, tak akan pernah cukup untuk dianggap setara– tidak dalam riwayat kesejarahan partai dan pengalaman politik.

Pada usianya yang ke-76 kini, Megawati dicatat media sebagai politikus aktif yang makin sering membuat blunder. Komentar-komentarnya atas Ganjar dan Jokowi sebagai petugas partai, nasihatnya untuk menghindari minyak goreng, atau komentarnya yang terus terang dalam memarahi Jokowi, adalah sedikit dari yang dinilai sebagai silap lidah yang merugikan partai dan dirinya sendiri.

Tak sedikit pula yang meramal kekalahan PDIP di Pemilu 2024 jika Megawati tidak dapat mengontrol diri.

Tetapi, ragam manuver Megawati itu adalah bukti sekali lagi atas bagaimana satu nama sungguh-sungguh secara harfiah menggenggam nasib politik banyak orang. Konfidensi semacam itu hanya datang dari orang dengan reputasi historis dan mencapai kemapanan oligarki, yang dengannya masa depan politik sebuah negara dapat dipengaruhi. (*)

 

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti politik, PhD dari University of Leeds, UK

PERTANYAAN dalam judul ini terdengar sederhana sekaligus lugu, tetapi bergaung begitu lama tanpa sebuah jawaban yang total. Apalagi, dalam konteks Pemilu 2024 yang tahapannya sudah berjalan, figur Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mustahil untuk tak dihitung sebagai salah satu faktor terpenting. Dia telah mendemonstrasikan dengan telanjang sebuah rupa kekuasaan ekstensif yang nyaris tak terbantah.

Megawati bukan saja memegang kata putus atas siapa calon presiden dan wakil presiden dari partainya. Namun, dia juga mengunci posisi sebagai satu-satunya patron partai di Indonesia yang memenangi tiga pemilu, dua di antaranya adalah pemilu demokratis, secara meyakinkan.

Megawati juga membuktikan superioritas posisinya. Bahkan, dalam berhadapan dengan Presiden Joko Widodo. Dia memosisikan Jokowi sekadar sebagai ’’petugas partai’’ –sebuah label yang lagi-lagi disandang oleh bakal calon presiden 2024 dari PDIP, Ganjar Pranowo.

Sebagian besar sarjana menyumbang pendapat romantik mengapa Megawati amat kuat. Alasan historis adalah yang paling masyhur di sini: Megawati merupakan perlambang kekuatan sejarah anti-otoritarianisme yang merayap dari bawah (lihat misalnya, Ali 2022). Putri Soekarno itu membangun legitimasi bukan saja dari genealogi ideologis nasionalisme yang diwariskan oleh presiden pertama, tapi juga karena kegigihannya melawan represi Soeharto.

Namun, pendapat romantik semacam itu tak mencukupi dalam menjelaskan mengapa ’’warisan’’ dan kenangan sejarah itu tetap kuat hingga kini. Pada saat zaman bergerak secara radikal dengan kompleksitas kekuatan politik yang jauh lebih rumit ketimbang periode Orde Baru, bagaimana Megawati tetap tak tergantikan? Sementara partai-partai lain mengalami regenerasi dan transisi kepemimpinan, mengapa nama Megawati terus muncul sebagai yang teratas? Dan, yang paling penting dari itu semua: bagaimana bisa patronasi Megawati dapat mengintervensi, mengguncang, dan menantang secara terbuka kekuasaan seluas presiden?

Baca Juga :  Hadapi Pemilu 2024, Polresta Palangka Raya Gelar Simulasi Unras

 

Otonomi & Konfidensi Politik

Berada di ujung kemudi partai selama hampir tiga dekade, status dominan Megawati memang banyak dikritik sebagai tanda kemenangan elitisme dan kuasa dinasti yang tak menghendaki kesegaran regenerasi (Aspinall 2010; Nugroho 2023). Tudingan itu sebagian benar, terutama melihat absennya figur kuat yang dapat diproyeksi menggantikan Megawati. Tetapi, dominasi Megawati beralasan karena dua sebab utama yang jarang dilihat dan diakui.

Pertama, stabilitas internal partai. Kekuasaan Megawati menghindarkan partainya dari faksionalisme akut yang kerap hinggap sebagai konsekuensi transisi kepemimpinan. Refleksi semacam itu mudah dicari dari contoh pecah kongsi partai-partai besar, untuk menyebut beberapa: Anas Urbaningrum versus Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat, Djan Faridz versus Romahurmuziy di PPP, atau Muhaimin Iskandar melawan Abdurrahman Wahid di PKB.

Megawati memilih cara paling efisien lewat mode dinasti (dynastic mindset) dengan terus mendudukkan dirinya sebagai calon tunggal di setiap kongres pemilihan ketua partai. Megawati secara efektif membangun image PDIP sebagai ’’partainya Mega’’ atau personalistic party, sebagaimana digarisbawahi oleh Tomsa (2013).

Kedua, Megawati adalah satu-satunya figur politikus hari ini dengan rekam jejak eksperimentasi politik paling panjang. Dia kenyang dalam mengelola risiko kooptasi negara atas partai, sebagaimana yang ia alami sejak 1990-an. Situasi itu membedakannya dengan SBY, yang tampak begitu kerepotan dalam mengelola riak di dalam Partai Demokrat. Bahkan, kini di bawah risiko pengambilalihan partai oleh mantan panglima TNI Moeldoko.

Pernah berkuasa sebagai wakil presiden dan presiden, Megawati juga memahami dengan sangat baik strategi oportunistik semacam distribusi kekuasaan, membangun aliansi politik, sekaligus menakar oposisi elite di lanskap kekuasaan. Dia juga berpengalaman di luar pagar kekuasaan, menempatkannya sebagai kritikus utama negara selama menjadi oposisi pada 2004–2014.

Baca Juga :  PKS Kalteng Dukung Pasangan Anies-Imin Maju di Pilpres 2024

Dia lolos dari krisis kekalahan pemilu dan membalik semua prediksi dengan memenangi dua pemilu terakhir. Keluwesan itu membuatnya tak tergantikan dalam pengertian harfiah: belum ada yang mampu menyaingi riwayat naik turun kekuasaan sealami dan selama Megawati.

Semua kapital itu berkelindan dalam menjalin otonomi individual dengan konfidensi politik yang sangat mencolok. Meski berada sebagai anomali dalam spektrum politik maskulin, Megawati mendikte banyak usulan kebijakan lewat kader-kader partainya di lingkaran pemerintah dan parlemen.

Lebih jauh, otoritas Megawati luar biasa eksesif hingga ke luar zona kepartaian. Maka, membayangkan dia mengintervensi Jokowi dalam banyak contoh tampak natural saja. Jokowi, dengan popularitas yang menolong PDIP dari kekalahan pemilu, tak akan pernah cukup untuk dianggap setara– tidak dalam riwayat kesejarahan partai dan pengalaman politik.

Pada usianya yang ke-76 kini, Megawati dicatat media sebagai politikus aktif yang makin sering membuat blunder. Komentar-komentarnya atas Ganjar dan Jokowi sebagai petugas partai, nasihatnya untuk menghindari minyak goreng, atau komentarnya yang terus terang dalam memarahi Jokowi, adalah sedikit dari yang dinilai sebagai silap lidah yang merugikan partai dan dirinya sendiri.

Tak sedikit pula yang meramal kekalahan PDIP di Pemilu 2024 jika Megawati tidak dapat mengontrol diri.

Tetapi, ragam manuver Megawati itu adalah bukti sekali lagi atas bagaimana satu nama sungguh-sungguh secara harfiah menggenggam nasib politik banyak orang. Konfidensi semacam itu hanya datang dari orang dengan reputasi historis dan mencapai kemapanan oligarki, yang dengannya masa depan politik sebuah negara dapat dipengaruhi. (*)

 

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti politik, PhD dari University of Leeds, UK

Terpopuler

Artikel Terbaru