MENGUATNYA keinginan pemerintah untuk melakukan amandemen UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan memasukkannya dalam Prolegnas 2023–2024 meningkatkan kekhawatiran masyarakat sipil atas prospek demokrasi. Sebab, hal itu meningkatkan ancaman represi. Mengingat pemerintah membutuhkan peran tentara untuk mendukung pengamanan pembangunan infrastruktur demi menggenjot pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dalam sisa masa kepresidenan Jokowi yang tinggal setahun.
Sementara itu, tentara tak bisa bersikap pasif untuk menghadapi kerusuhan yang pecah di Rempang, dan mengamankan pembebasan lahan di zona tambahan IKN untuk pembangunan bandara VVIP IKN. Akibat tekanan kebutuhan pemilik modal dan mengejar waktu, pemerintah perlu menerjunkan militer.
Diundangnya tentara oleh pemerintah sipil, dan tergodanya mereka untuk intervensi, saat mereka butuh ruang untuk melepaskan energi yang besar karena kapasitasnya yang meningkat di luar perencanaan, bermuara pada ekspansi peran mereka, tanpa limitasi tegas, di ranah sipil. Operasi Militer Selain Perang dijadikan solusi dan justifikasi peran barunya, yang membutuhkan fleksibilitas besar, tanpa dibuatnya dulu persepsi ancaman lewat Strategic Defense Review.
Usulan amandemen UU TNI sudah disampaikan ke DPR agar tentara mendapat legitimasi atas berbagai tugas baru yang berlebihan dan bahkan mengada-ada, seperti mengawal warga RI di mancanegara, menjalankan tugas diplomasi, dan menjadi penegak hukum. Padahal, ancaman perang masa depan tidak butuh pasukan besar. Sebab, yang akan berlangsung adalah cyber war, yang butuh SDM cerdas dan menguasai teknologi tinggi.
Ditoleransinya tentara masuk menjadi ASN di 14 kementerian atau lembaga negara dalam revisi UU ASN Pasal 19, untuk jabatan non-manajerial, baik untuk jabatan pelaksana maupun non pelaksana yang disahkan 3 Oktober 2023, memperlihatkan animo berdwifungsi TNI lebih besar lagi.
Sebelumnya, dalam UU TNI lama, pengaturan karier TNI lebih restriktif, tidak bisa begitu saja untuk dua jenis jabatan itu. Juga, ada persyaratan pensiun dini (pasal 47: 1), jika mau berkarier di ranah sipil. Artinya, ia bukan tentara lagi dan tidak boleh punya status rangkap, sehingga dapat fokus dan profesional.
Sebaliknya, jika diperbolehkan seperti di UU ASN yang baru, selain menunjukkan lemah dan tersubordinasinya posisi sipil, institusi kementerian dan lembaga negara akan terperangkap dalam kontestasi dan konflik kepentingan sipil-militer. Hal itu akan menciptakan kondisi birokrasi negara yang tidak kondusif dan menghambat terbangunnya meritokrasi yang diimpikan sebelumnya.
Semua permintaan TNI tampak absurd, karena akan membuat tentara menjadi warga yang super atau sangat istimewa jika dibandingkan aparat dan profesi lain di negara ini. Selain itu, tentara rawan masuk dalam pelanggaran hukum karena tidak dilatih untuk tugas-tugas itu. Sedangkan aturan pelibatan belum dibuat setelah reformasi sektor keamanan 1998.
Peran baru akan membawa tentara terlibat secara luas dalam praktik racketeering untuk pribadi dan korporasi. Sehingga militer akan kembali terlibat dan mempunyai bisnis, yang membuatnya keluar dari tugas pokok.
Batalkan Amandemen
Ancaman kembalinya otoriterisme, bukan sekadar kemunduran demokrasi, muncul akibat tekanan kekuatan adidaya penerap kapitalisme negara dan neoliberalisme, akibat kontestasi kekuatan global dalam memperebutkan sumber daya dan pasar. Kontrol atas kekuatan militer lokal (nasional) merupakan alat suksesnya.
Otoriterisme pun kembali lewat berbagai desakan amandemen UU Cipta Kerja, ITE, dengan ujaran kebencian sebagai instrumen untuk menjerat lawan-lawan politik, dengan kriminalisasi dan, terutama, desakan amandemen UU TNI. Mekanisme pembuatan UU yang anti-demokrasi lewat Omnibus Law, dengan absennya Naskah Akademik, serta mengambil jalur cepat dan pembahasan tertutup.
Kekuatan masyarakat sipil harus mewaspadai itu, apalagi di tengah kohabitasi politik dengan ’’koalisi senyap’’ di parlemen dan politisi sibuk mau kampanye pileg dan pilpres.
Pertemuan kepentingan militer yang perlu perluasan peran dan rezim yang butuh dukungan untuk menjalankan pemerintahan yang pro-kapitalisme negara dan neoliberalisme membutuhkan peran militer yang luas dan kuat, sehingga akan tercipta tata kelola pemerintahan yang represif, dan sudah pasti otoriter. Di Rusia, Turki, dan Iran, tindakan represif rezim yang didukung militer terus dilakukan terhadap kaum oposan, termasuk kalangan perempuan yang berontak karena masalah sepele: pemaksaan hijab!
Di Indonesia, jika tidak dikoreksi dan dicegah, tentara akan terjerumus kembali dalam aksi represi akibat legitimasi negara yang didukung pemerintah dan parlemen. Padahal, melimpahnya SDM TNI harus diatasi dengan memperbaiki analisis beban kerja, perekrutan, dan promosi. Praktik KKN dan mismanajemen seharusnya dikoreksi, bukan diteruskan dengan menawarkan peran militer yang meluas.
Dengan pilihan pada demokrasi, seharusnya supremasi sipil bukan dimaknai negatif, yang mengancam posisi strategis militer, tetapi membuat militer profesional dan terhormat. Keberadaan mantan aktivis masyarakat sipil di pemerintahan ternyata tidak membantu dalam mendudukkan hubungan sipil-militer secara benar.
Ada pandangan dan kesimpulan yang sesat bahwa militer Indonesia telah tuntas direformasi dan dijamin taat pada keputusan politik sipil. Yang sedang terjadi tidak demikian. Karena militer rawan kembali berdwifungsi akibat menjalarnya penyakit psikologis, the Stocholm syndrome, ke mana-mana.
Supremasi sipil subjektif, bukan objektif, yang terbentuk sejak 2004 di era Megawati kian menguat. Hal itu diperburuk kontestasi kepentingan oligarki di kabinet Jokowi. Sementara, untuk melawan tekanan pemilik modal global dari dua ideologi kapitalisme yang berbeda, solusi ekonomi politik kapitalisme harus digunakan, dengan menyadarkan Presiden Jokowi bahwa ekspansi militer di ranah sipil akan membuat tidak nyaman investor dan pebisnis! (*)
*) POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN, Peneliti tata kelola dan konflik BRIN