Kasus polisi melakukan penembakan di luar standar prosedur operasi dan melanggar ketentuan akhir-akhir ini sungguh mengkhawatirkan. Jumat (22/11/ 2024) Kepala Satreskrim Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar ditembak oleh Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar.
Dadang marah karena kawan sekantornya itu menangkap pelaku tambang galian C ilegal. Kejadian itu juga dikaitkan dengan praktik beking tambang ilegal yang melibatkan oknum kepolisian.
Kemudian, Minggu (24/11/ 2024) anggota Polrestabes Semarang menembak mati pelajar SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, 16, dengan dalih terlibat tawuran.
Pada hari yang sama, Beni, 45, warga Desa Tunggang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, meninggal akibat tembakan anggota Brimob Polda Bangka Belitung. Beni dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan perusahaan swasta.
Kegagalan Reformasi
Sangat wajar apabila publik mengecam pedas aksi brutal polisi. Polisi seolah berlagak seperti koboi yang menembaki sesama polisi, warga, dan anak hingga tewas. Alih-alih menjalankan tugas dan fungsi polisi (sesuai dengan pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri) sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, tindakan polisi tersebut justru mencerminkan kegagalan reformasi kepolisian.
Tindakan represif dengan senjata api hanya dibenarkan apabila ada anggota masyarakat atau polisi yang terancam jiwanya.
Penanganan konflik, tawuran, dan kasus kriminal lainnya oleh polisi yang sangat represif membuktikan bahwa polisi masih berwajah militer seperti pada zaman Orde Baru dahulu.
Dalam penembakan hingga tewas itu, polisi justru melanggar prosedur tetap (protap). Semestinya, personel keamanan tidak mengutamakan emosi, tetapi mengedepankan pendekatan sesuai dengan prosedur hukum, humanis, serta komunikatif.
Misalnya, dalam membubarkan tawuran, polisi antihuru-hara bisa diandalkan untuk menangani aksi massa. Polisi antihuru-hara dilengkapi water cannon (meriam air), tameng, pentungan, dan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa.
Polisi pun tidak boleh menembak meski dengan peluru hampa. Tampaknya, aneh jika aksi massa harus dihadapi polisi dengan senjata plus peluru tajam.
Di sini sangat jelas bahwa polisi bergaya koboi seolah warga adalah musuhnya. Di tengah makin kuatnya semangat mengembalikan citra kepolisian, polisi malah merusak citra tersebut dengan bertindak sewenang-wenang. Tindakan mereka tidak mencerminkan seorang bhayangkara sejati yang seharusnya melindungi dan melayani masyarakat.
Secara instrumen dan struktur, polisi memang sudah berubah meski masih mencari bentuk yang ideal. Namun, dalam hal kultur, sebagaimana pepatah: bagaikan kambing berjalan di atas batu, masih banyak polisi yang memandang diri mereka sendiri pertama-tama sebagai prajurit tempur dan mereka meniru cara-cara, gaya, serta budaya militer.
Kekerasan dan kesewenangan polisi menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menempatkan diri sebagai alat negara untuk melindungi warga, melainkan menjadi ’’hantu’’ masyarakat dan ’’mesin pembunuh’’ yang dikendalikan perusahaan-perusahaan imperialis guna menjaga pengisapan dan eksploitasi di negeri ini. Keterlibatan aparat kepolisian dalam semua kasus justru tidak untuk meredam konflik, tetapi melindungi perusahaan.
Aparatur kita tak lagi bisa membedakan antara musuh dan rakyat. Warga yang menuntut hak seolah lebih jahat daripada kaum separatis sehingga harus dipungkas dengan aksi bersenjata.
Sangat boleh jadi, insiden tersebut merupakan dampak makin longgarnya ketaatan personel terhadap disiplin dan tata tertib kesatuan. Termasuk penyelewengan kekuasaan dan bentuk baru pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Peran Polri, terutama terkait dengan pengamanan perusahaan transnasional, masih seperti ’’anjing penjaga’’ yang mengamankan aset-aset perusahaan yang membayar mereka. Bukan mengedepankan pendekatan hukum yang profesional, berbasis pada penghargaan HAM, dan lain-lain.
Berwajah Sipil
Sudah saatnya polisi menampilkan wajah sipil mereka. A.C. German menyatakan, untuk menjadi polisi yang otentik-sipil, polisi hendaknya moving away from military configuration and shaking hands with the entire community (makin menjauhkan diri dari sekalian hal yang berbau militer dan selalu ingin bersalaman dengan masyarakatnya).
Herman Goldstein, pencetus community policing (CP), sejak 1960 menekankan agar polisi tidak hanya bergerak karena ada laporan kejahatan, tetapi juga menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatan.
Sudah waktunya polisi meningkatkan kemampuan aparat di lapangan untuk tidak sekadar menjadi pemadam kerusuhan, tetapi juga pencegah munculnya konflik melalui negosiasi. Polisi harus mampu memecahkan persoalan masyarakat sehingga yang dikaji dan diburu adalah sumber kejahatan dengan melibatkan masyarakat. (*)
*) JOKO RIYANTO, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta