27.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Lebih Penting Tambah Pasokan Pertalite

KENAIKAN harga bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa dihindari seiring dengan gejolak harga minyak dunia.

Harga pertamax kini ditetapkan Rp 12.500 per liter.

Apabila hanya pertamax yang naik, dampaknya ke harga komoditas lain tidak akan begitu besar. Sebab, segmen utama pertamax adalah masyarakat menengah ke atas.

Mungkin akan ada pengaruh psikologis ke pasar yang mendorong harga-harga sedikit naik. Tapi, dampaknya tidak akan sebesar jika harga pertalite dan LPG 3 kg ikut naik.

Pertalite dan LPG secara sangat sensitif akan menaikkan harga-harga. Logistik yang mengangkut sembako adalah kendaraan-kendaraan yang menggunakan BBM bersubsidi. Jadi, ketika bahan bakarnya naik, akan memengaruhi semua harga barang yang dikirim.

Inflasi BBM dipengaruhi terutama dari konsumsi pertalite yang penggunaannya lebih banyak dan berdampak ke harga lain seperti sembako. Berbeda dengan pertamax. Distribusi barang tidak memakai BBM jenis pertamax.

Namun, di sisi lain, pemerintah sudah ’’mengumumkan’’ potensi kenaikan tersebut. Entah sudah melalui pertimbangan yang matang atau belum. Hal seperti ini justru dikhawatirkan malah meningkatkan ekspektasi inflasi. Pertamax sudah naik, apakah pertalite dan LPG mau dinaikkan juga?

Baca Juga :  Antrean Haji Mengular, Teladani Nabi Muhammad SAW

Yang lebih penting bagi pemerintah ketika sudah menaikkan harga BBM nonsubsidi adalah menjaga keandalan distribusi dan stok BBM bersubsidi. Sekarang kita melihat banyak stok pertalite kosong. Apalagi, meski pertamax menyasar segmen menengah ke atas, tetap ada masyarakat yang memilih shifting ke pertalite karena disparitas harga yang sangat tinggi.

Kita sudah mendapat pelajaran dari minyak goreng. Bahwa adanya disparitas harga yang terlalu tinggi di pasar tanpa adanya pengawasan yang baik akan membuat pasokan langka. Semestinya hal seperti ini tidak perlu terulang dalam kasus BBM.

Untuk mengantisipasi jebolnya kuota penyaluran BBM jenis pertalite tahun ini, setidaknya pemerintah perlu menambah kuota pertalite hingga Desember mendatang. Tahun ini pemerintah menetapkan kuota pertalite sebesar 23,05 juta kiloliter (kl). Antisipasinya, semestinya pemerintah mencadangkan tambahan subsidi untuk pertalite yang permintaannya akan bertambah. Juga, meminta Pertamina menambah suplai pertalite.

Baca Juga :  Ribuan Warga Kotim Terima BLT BBM, Bupati : Harus Tepat Sasaran

Bicara soal kenaikan harga, harga minyak dan gas dunia memang sedang fluktuatif dan relatif meningkat. Tapi, mengenai harga keekonomian yang ditetapkan, masih debatable. Setidaknya, satu hal yang sangat penting, jika pemerintah memang menaikkan harga BBM nonsubsidi, yang subsidi harus disesuaikan jumlahnya. Sebab, esensinya masyarakat menengah ke bawah masih sangat membutuhkan subsidi di tengah harga internasional yang tinggi.

Dari sisi APBN sanggup. Penerimaan negara mendapat tambahan dari berbagai kenaikan harga-harga komoditas. Misalnya, harga minyak goreng yang sudah beberapa waktu naik tinggi. Itu yang seharusnya bisa dialihkan sebagai subsidi. Kondisi APBN justru lebih sehat saat komoditas naik dan itu semestinya dialokasikan menjadi subsidi.

*) MOHAMMAD FAISAL, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

(Ilham Safutra, */c17/fal/jpc)

KENAIKAN harga bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa dihindari seiring dengan gejolak harga minyak dunia.

Harga pertamax kini ditetapkan Rp 12.500 per liter.

Apabila hanya pertamax yang naik, dampaknya ke harga komoditas lain tidak akan begitu besar. Sebab, segmen utama pertamax adalah masyarakat menengah ke atas.

Mungkin akan ada pengaruh psikologis ke pasar yang mendorong harga-harga sedikit naik. Tapi, dampaknya tidak akan sebesar jika harga pertalite dan LPG 3 kg ikut naik.

Pertalite dan LPG secara sangat sensitif akan menaikkan harga-harga. Logistik yang mengangkut sembako adalah kendaraan-kendaraan yang menggunakan BBM bersubsidi. Jadi, ketika bahan bakarnya naik, akan memengaruhi semua harga barang yang dikirim.

Inflasi BBM dipengaruhi terutama dari konsumsi pertalite yang penggunaannya lebih banyak dan berdampak ke harga lain seperti sembako. Berbeda dengan pertamax. Distribusi barang tidak memakai BBM jenis pertamax.

Namun, di sisi lain, pemerintah sudah ’’mengumumkan’’ potensi kenaikan tersebut. Entah sudah melalui pertimbangan yang matang atau belum. Hal seperti ini justru dikhawatirkan malah meningkatkan ekspektasi inflasi. Pertamax sudah naik, apakah pertalite dan LPG mau dinaikkan juga?

Baca Juga :  Antrean Haji Mengular, Teladani Nabi Muhammad SAW

Yang lebih penting bagi pemerintah ketika sudah menaikkan harga BBM nonsubsidi adalah menjaga keandalan distribusi dan stok BBM bersubsidi. Sekarang kita melihat banyak stok pertalite kosong. Apalagi, meski pertamax menyasar segmen menengah ke atas, tetap ada masyarakat yang memilih shifting ke pertalite karena disparitas harga yang sangat tinggi.

Kita sudah mendapat pelajaran dari minyak goreng. Bahwa adanya disparitas harga yang terlalu tinggi di pasar tanpa adanya pengawasan yang baik akan membuat pasokan langka. Semestinya hal seperti ini tidak perlu terulang dalam kasus BBM.

Untuk mengantisipasi jebolnya kuota penyaluran BBM jenis pertalite tahun ini, setidaknya pemerintah perlu menambah kuota pertalite hingga Desember mendatang. Tahun ini pemerintah menetapkan kuota pertalite sebesar 23,05 juta kiloliter (kl). Antisipasinya, semestinya pemerintah mencadangkan tambahan subsidi untuk pertalite yang permintaannya akan bertambah. Juga, meminta Pertamina menambah suplai pertalite.

Baca Juga :  Ribuan Warga Kotim Terima BLT BBM, Bupati : Harus Tepat Sasaran

Bicara soal kenaikan harga, harga minyak dan gas dunia memang sedang fluktuatif dan relatif meningkat. Tapi, mengenai harga keekonomian yang ditetapkan, masih debatable. Setidaknya, satu hal yang sangat penting, jika pemerintah memang menaikkan harga BBM nonsubsidi, yang subsidi harus disesuaikan jumlahnya. Sebab, esensinya masyarakat menengah ke bawah masih sangat membutuhkan subsidi di tengah harga internasional yang tinggi.

Dari sisi APBN sanggup. Penerimaan negara mendapat tambahan dari berbagai kenaikan harga-harga komoditas. Misalnya, harga minyak goreng yang sudah beberapa waktu naik tinggi. Itu yang seharusnya bisa dialihkan sebagai subsidi. Kondisi APBN justru lebih sehat saat komoditas naik dan itu semestinya dialokasikan menjadi subsidi.

*) MOHAMMAD FAISAL, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

(Ilham Safutra, */c17/fal/jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru