DIWARNAI luapan amarah terhadap serangan 7 Oktober oleh Hamas, Israel mengambil keputusan cepat dan mengumumkan perang (8/10). Ini adalah deklarasi perang pertama negara Israel dalam 50 tahun terakhir. Deklarasi perang memiliki level berbeda dari ’’operasi militer’’ yang dilakukan Israel terhadap Gaza dan Lebanon selama ini.
Dalam pidatonya, PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tujuan utama perang ini adalah menghancurkan Hamas di Gaza di samping tujuan terkait sandera. Apakah perang yang sudah sebulan lebih ini akan berhasil sehingga akhir perang ini akan jadi akhir sejarah Hamas dan perlawanan Palestina?
Gaza yang selama ini sudah sangat menderita dibombardir dari udara. Kehancuran pun terjadi di banyak tempat di Gaza, terutama Gaza Utara dan Tengah yang semula jadi konsentrasi penduduk. Korban meninggal hingga saat tulisan ini ditulis mencapai puluhan ribu, suatu hal yang tak masuk akal untuk tujuan sebesar apa pun.
Rakyat Gaza adalah korbannya. Sementara itu, para aktivis Hamas sudah mempersiapkan dengan matang untuk melindungi diri. Terowongan ’’supercanggih’’ basis kekuatan Hamas tak mudah dihancurkan dari udara.
Operasi darat digelar setelah pasukan Israel berhari-hari berderap di Ghilaf Gaza (pinggiran). Gaza dibombardir dari darat dan udara. Operasi itu tak hanya melibatkan kekuatan reguler dan khusus IDF, tapi juga kekuatan cadangan. Satuan-satuan pasukan elite Israel yang sudah lama dibentuk khusus untuk menemukan dan menghancurkan terowongan-terowongan Hamas berada di barisan depan.
Bahkan, satuan-satuan anjing yang dilatih khusus untuk menangani terowongan juga dikerahkan. Sejumlah pengamat militer bahkan meyakini AS terlibat aktif, baik di ruang komando maupun di lapangan, dalam perang Pedang Besi ini.
Sekitar satu bulan perang destruktif, tentara Israel berhasil mengepung Hamas dari semua front. Gaza Utara dan Gaza Selatan sudah dipisahkan. Pasukan Israel mengepung Gaza Utara yang diyakini pusat kekuatan Hamas serta melakukan penetrasi perlahan dan penuh hati-hati ke ’’jantung’’ pertahanan Hamas.
Sementara itu, Gaza Selatan dihuni oleh penduduk sipil yang terpaksa eksodus ke selatan untuk menyelamatkan diri dari ganasnya perang, meskipun wilayah ini juga tidak benar-benar aman. Jika kita cermati luasnya kontrol dan penetrasi militer Israel di Gaza saat ini, Hamas sepertinya sudah terkepung dan mulai terdesak.
Jika Israel mampu berperang dalam waktu cukup lama dan mengepung Hamas dalam terowongan-terowongan itu dan tak ada sesuatu yang luar biasa terjadi, maka kemungkinan pasukan Hamas mengalami kekalahan. Hamas terputus dari suplai apa pun saat ini, baik logistik maupun persenjataan.
’’Poros perlawanan’’ Bulan Sabit Syiah yang diharapkan membantu sepertinya tak akan masuk ke arena. Aksi Hasyd Sya’bi Irak dan Houtsi Yaman sepertinya hanya solidaritas, bukan terlibat dalam perang secara penuh.
Hamas sepertinya mulai mengirimkan signalling siap dan berharap untuk gencatan senjata. Signalling itu berupa, misalnya, pembebasan 1–2 sandera secara sukarela, bahkan belakangan mengklaim akan membebaskan belasan tahanan, seruan dari Hizbullah untuk penghentian perang, seruan dari penduduk Gaza kepada dunia bagi intervensi segera dan semacamnya.
Secara militer, Hamas tampak sudah terdesak meskipun masih punya kapasitas untuk meluncurkan roket dengan target Tel Aviv dan kota-kota Israel yang lain dan melalui sergapan terhadap tank-tank Israel.
Namun, jika mencermati luapan amarah para pemimpin politik dan militer Israel, negara ini sepertinya tak akan bersedia melakukan gencatan senjata sebelum tujuannya relatif tercapai. Seberapa pun tekanan opini internasional yang bergemuruh, Israel sepertinya tak bergeming.
Saya tidak yakin opini publik dunia, proses politik para pemimpin Arab dan dunia yang mulai membicarakan masa depan Gaza pascaperang akan bisa menghentikan amukan Israel ini segera. Kecuali, terjadi perubahan serius dan cukup drastis dalam sikap pemerintah AS.
Perlawanan
Jika tujuan Israel tercapai atau tercapai sebagian besar saja sehingga infrastruktur Hamas nyaris lumpuh atau melemah signifikan, apakah perlawanan Palestina terhadap Israel di waktu yang akan datang akan berhenti? Mafhum bahwa Hamas belakangan ini jadi simbol perlawanan Palestina.
Sebelum tahun 1990-an, gerakan yang jadi ikon perlawanan Palestina adalah PLO yang terutama diisi oleh tokoh-tokoh Fatah, pesaing Hamas saat ini. Tokoh-tokoh PLO sudah malang melintang melakukan perlawanan panjang dengan berpindah-pindah base camp di berbagai negara Arab, tapi itu tidak menghasilkan apa-apa.
Lumpuhnya kekuatan Hamas, jika benar terjadi, tidak akan berarti perlawanan Palestina habis. Persoalan Palestina-Israel tak akan terselesaikan dengan timah-timah mentah seperti perang sinting kali ini. Lumpuhnya Hamas, jika terjadi, hanya akan melahirkan cara dan pola perlawanan baru yang bisa jadi lebih ganas daripada sekarang ini.
Kunci untuk menghentikan aksi perlawanan senjata Palestina adalah keadilan ditegakkan. Israel harus menunjukkan komitmen kuat dan dapat dipercaya bahwa hak-hak Palestina akan benar-benar dipenuhi meskipun secara bertahap, dan Palestina juga memberikan pengakuan yang sungguh-sungguh terhadap Israel meskipun secara bertahap juga.
Jika ada proses penyelesaian masalah secara serius dan ada hasil yang nyata dan dapat dirasakan kedua pihak, maka opsi perlawanan senjata yang mengorbankan banyak nyawa tak akan menarik lagi. Apalagi jika taraf kesejahteraan bangsa Palestina membaik dan kehidupan masyarakat Israel makin aman. Aksi-aksi perlawanan senjata tak akan banyak diminati oleh para pemuda Palestina.
Namun, jika sikap Israel masih ’’songong’’ seperti selama ini, akibatnya bisa fatal. Organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang lain akan berkembang cepat untuk menawarkan ’’program’’ menghabisi Israel.
Selain Hamas, ada kelompok-kelompok milisi kuat di Gaza yang sewaktu-waktu bisa memainkan peran seperti Hamas dan mungkin lebih ganas. Seperti Saraya al-Quds, Kataib Syuhada al Aqsha, Kataib al-Muqawamah al-Filisthiniyyah, Kataib al-Mujahidin, dan lain-lain. Lingkaran kekerasan kemudian tak akan menemukan ujungnya. (*)
*) IBNU BURDAH, Guru Besar Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga