Site icon Prokalteng

Beras Mahal di Lumbung Pangan

Fadly Rahman

HARGA beras masih tinggi. Penyebab kenaikannya dipertanyakan, mulai siklus panen, menurunnya produksi beras, El Nino, terhentinya impor beras dari India, hingga proyek food estate yang oleh beberapa pengamat ditengarai gagal mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Aspek kebijakan tata kelola pangan menjadi salah satu hal yang kerap dipersalahkan dalam perjalanan sejarah pangan di negeri ini. Proyek food estate yang saat ini dinilai berdampak buruk terhadap lingkungan, kehidupan masyarakat adat, dan kerawanan pangan dalam kacamata historis sejatinya memiliki kausalitas dengan rangkaian kegagalan tata kelola pangan yang terjadi pada masa lalu.

Pada masa kolonial, para sarjana Eropa telah menyigi faktor alam yang mengakibatkan beras tidak dapat dipisahkan dari konsumsi masyarakat jajahan. Seorang ahli vulkanologi, Alexander L. ter Braake, dalam publikasi penelitiannya, Volcanology in the Netherlands Indies (1945), menyatakan surplus beras di Jawa tidak dapat dipisahkan dari aktivitas vulkanis yang merupakan takdir Kepulauan Nusantara sebagai bagian dari rangkaian cincin api dunia.

Aktivitas vulkanis berpengaruh besar dalam menyuburkan tanah pertanian. Tidak heran, selama berabad-abad hamparan hijau padi nan elok melekat dalam budaya masyarakat sejak masa kuno seperti terukir di relief kaki (Karmawibhangga) Candi Borobudur serta relief sawah pada batu candi di Trowulan yang menunjukkan suasana pedesaan di Majapahit.

Ketersediaan beras serta harganya yang terjangkau oleh rakyat tidak hanya menjadi indikator kesejahteraan rakyat, tetapi juga keberhasilan politik pangan para penguasa Kerajaan Mataram sebagaimana yang tersirat dalam bagian Babad Tanah Jawi.

 

Masalah Beras

Pada masa paro kedua abad ke-19, sistem tanam paksa kolonial mengubah secara paksa sawah-sawah menjadi lahan tanaman komoditas seperti tebu dan tembakau. Di samping kelaparan, malanutrisi, dan kematian massal yang diderita rakyat karena terbatasnya produksi beras akibat konversi lahan, pemerintah kolonial terpaksa mengimpornya dari Birma (Myanmar) dan Muang Thai (Thailand) untuk memenuhi kebutuhan beras.

Ketika masa setelah kemerdekaan, Sukarno dalam buku Cindy Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966), menyinggung ketergantungan Indonesia terhadap beras impor yang menurutnya merupakan pengaruh jangka panjang dari kolonialime Belanda. Ujarnya: ”sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari pengisapan imperialisme kita bergantung pada beras impor”.

Sikap Sukarno yang menyalahkan Belanda menyiratkan sejenis mental pascakolonial yang belum bisa ”move on” dari stigma kolonialisme. Sebagai sebuah bangsa merdeka, tentu permasalahan pangan yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana strategi dan kebijakan pemerintah dalam mengatasinya.

Sebuah artikel bertajuk Masalah Beras di majalah Star Weekly edisi 1955 yang ditulis seorang anonim mengungkapkan masalah tingginya permintaan beras di pasar dalam negeri.

Si penulis menuturkan, permasalahan pangan dihadapi Indonesia pada masa awal 1950-an yang disebabkan kekacauan perimbangan antara permintaan dan penawaran beras di pasaran dunia. Pada masa itu, produksi beras dalam negeri sangat rendah, sedangkan harga beras internasional luar biasa tinggi.

Sukarno pada masa kekuasaannya pernah menggadangkan program diversifikasi pangan agar sehari-hari rakyat tidak bergantung pada konsumsi beras. Ini dilakukan karena produksi beras dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan nasional. Namun, yang dia diidealkan tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Pada dasarnya, perekonomian Indonesia adalah perekonomian beras. Pada masa Sukarno, beras berfungsi sebagai pengganti uang (barter). Dan, pada masa awal kekuasaan Soeharto –sebelum swasembada beras 1984– beras dijadikan bagian dari kompensasi pegawai negeri.

Hantu Malthus?

Jika berkaca dari sejarah panjang perberasan Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang menghasilkan kerawanan beras di negara ini. Pertama, kondisi ekosistem pangan kita yang telah banyak beralih fungsi. Dalam hitungan Kementerian Pertanian, setiap tahun sekitar 100 ribu hektare lahan sawah tempat beras dihasilkan telah banyak beralih fungsi menjadi jalan, kawasan industri, dan perumahan.

Kedua, arah strategi pangan yang tidak pro lingkungan. Dulu Sukarno pernah mengutuk kolonialisme Belanda yang mengubah lahan-lahan pertanian dan hutan menjadi lahan-lahan tanaman komoditas perkebunan.

Kini permasalahan yang dihadapi ketika pemerintah menyadari lahan-lahan pertanian tidak lagi mencukupi kebutuhan beras nasional untuk menyuapi jutaan rakyat adalah membuka hutan demi membangun proyek lumbung pangan nasional.

Indonesia tengah dihantui pemikiran suram Thomas Robert Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798) bahwa reproduksi manusia selalu berkembang lebih cepat daripada produktivitas hasil pertanian.

Dus, jika selama ini bonus demografi dinilai sebagai modal masa depan Indonesia, ketika dihadapkan pada masalah krisis pangan seperti mahalnya harga beras sekarang ini, yang perlu diantisipasi adalah ”petaka demografi” akibat menurunnya kesejahteraan hidup masyarakat.

Dan, krisis beras di negeri lumbung pangan yang dikaruniai tanah air subur dan makmur ini tentu sebuah ironi. Ironi karena ketika yang subur dan makmur tidak dikelola dari, oleh, dan untuk rakyat, bukan kesejahteraan yang diperoleh, melainkan petaka yang menyengsarakan rakyat. (*)

*) FADLY RAHMAN, Pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran

Exit mobile version