23 C
Jakarta
Friday, September 13, 2024

Di Bawah Bayang-Bayang Hat-trick Deflasi

Saat ini perekonomian Indonesia tengah menghadapi fenomena deflasi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, indeks harga konsumen (IHK) pada Juli 2024 tercatat 106,09 lebih rendah dibanding Juni 2024 sebesar 106,28. Sehingga pada Juli 2024 terjadi deflasi 0,18 persen (%) secara bulanan (month-to-month/mtm).

Ini pertanda sudah tiga bulan beruntun sejak Mei 2024 Indonesia mengalami deflasi. Bahkan terbilang paling dalam dibanding Juni 2024 deflasi 0,08% dan Mei 2024 deflasi 0,03%.

Dibedah sedikit lebih dalam, hat-trick beruntun deflasi ini lebih didorong pasokan komoditas pangan di pasar yang mencukupi dan jumlah permintaannya tetap. Ini membuat harga sejumlah komoditas di tingkat konsumen mengalami penurunan.

BPS mencatat tingkat deflasi pada kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau pada Juli 2024 terdalam sejak November 2022, yakni 0,97% dengan andil 0,28% periode mtm.

Pelemahan Daya Beli

Sejumlah analis pun menyoroti fenomena deflasi yang terjadi. Ada yang mengungkap bahwa deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang relatif turun atau lebih rendah, terutama pada komoditas pangan. Namun, hal ini merupakan gejala makro ekonomi di mana kondisi ekonomi masyarakat sedang tak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti saat ini.

Ada pula yang menghubungkan fenomena deflasi beruntun dengan pelemahan daya beli masyarakat, utamanya pada kelas menengah. Indikator pelemahan daya beli kelas menengah bisa terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor, NPL (non performing loan), dan KPR (kredit pemilikan rumah) meningkat, serta tabungan perorangan yang tumbuhnya melambat. Deflasi juga mengindikasikan pelaku usaha menahan kenaikan harga di level konsumen.

Baca Juga :  Lebih Penting Tambah Pasokan Pertalite

Tak hanya itu, ekonom Prancis dari Universitas Harvard Stefanie Stantcheva, dalam sebuah makalah berjudul ”Mengapa Kita Tidak Menyukai Inflasi?”, melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat Amerika Serikat (AS) tentang Inflasi.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan orang AS sangat tidak menyukai inflasi dan tidak percaya kenaikan upah telah mendekati kenaikan harga. Masyarakat AS berpikir bahwa kenaikan upah jauh lebih lambat daripada kenaikan harga barang dan jasa.

Secara keseluruhan, temuannya tetap konsisten secara luas bahwa inflasi menghasilkan emosi yang kuat di antara responden, mulai kemarahan hingga ketakutan akan masa depan, dan rasa ketidakadilan (Brookings, 27/3/2024).

Mengurai Persoalan Mendasar Inflasi

Lalu, bagaimana dengan Indonesia, apakah perkembangan inflasi menjadi sinyal perekonomian terus tumbuh atau malah sebaliknya? Apakah fenomena hat-trick deflasi beruntun sebagai ancaman negatif bagi pertumbuhan ekonomi ke depan?

Ada dua hal yang pantas kita beri perhatian. Pertama, secara mendasar, IHK merupakan sebuah proksi yang menangkap perubahan harga beli (purchasing cost) di tingkat konsumen. Ketika tidak ada perubahan pendapatan masyarakat secara signifikan, perubahan IHK cenderung disebabkan oleh faktor lain.

Boleh jadi, deflasi menjadi indikasi awal bahwa daya beli masyarakat sedikit tergerus. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor. Terjadinya deflasi belum tentu menggambarkan bahwa inflasi dapat dikontrol dengan baik. Deflasi bisa saja terjadi karena ada kelompok komoditas tertentu yang melimpah di pasaran sehingga harganya menurun.

Artinya, belum tentu deflasi menjadi indikator bahwa tingkat inflasi dapat dijaga dan belum tentu kondisi tersebut merupakan hasil dari bauran kebijakan fiskal dan moneter. Tapi lebih dipengaruhi oleh adanya perubahan kondisi pasar yang sifatnya insidental saja (Andre Josep Kurnia, 2024).

Baca Juga :  Pemkab Kotim Inginkan Regsosek 2022 Hasilkan Data Akurat

Kedua, hat-trick deflasi beruntun sudah tentu memunculkan kekhawatiran, terutama terkait dengan daya beli masyarakat. Kendati sejumlah analis menilai tren deflasi tiga bulan beruntun mengindikasikan terjadinya pelemahan permintaan atau penurunan daya beli masyarakat, perlu analisis lebih lanjut untuk menyimpulkan apakah deflasi menunjukkan lesu atau tidaknya daya beli masyarakat.

Selain perubahan IHK (inflasi/deflasi), ada sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat seperti pendapatan riil masyarakat, nilai tukar mata uang, pengenaan pajak, akses pada lapangan pekerjaan (pengangguran), ketersediaan kredit, dan suku bunga.

Sebuah penelitian yang dilakukan Deby Silvia dkk (2021) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat daya beli masyarakat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menunjukkan bahwa inflasi, produk domestik regional bruto (PDRB), dan upah minimum kabupaten (UMK) berpengaruh simultan terhadap tingkat daya beli masyarakat.

Namun, secara parsial inflasi tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, sedangkan PDRB dan UMK berpengaruh secara parsial terhadap tingkat daya beli masyarakat.

Dengan kata lain, perkembangan inflasi nasional yang terus memperlihatkan penurunan tidak serta-merta disimpulkan sebagai akibat dorongan pelemahan daya beli masyarakat. Boleh jadi pelemahan daya beli masyarakat kebanyakan terjadi pada kelas bawah, sedangkan pada kelas atas ada kecenderungan untuk menahan belanja.

Tapi, paling tidak, indikasi ini sebagai sinyal awal bahwa sesungguhnya pendapatan riil masyarakat belum cukup untuk menopang perekonomiannya akan baik-baik saja. Karena itu, pemerintah dan setiap pemangku kepentingan perlu memahami psikologis masyarakat bahwa biaya hidup tidaklah seperti mengusap lampu Aladdin, simsalabim, diperoleh dengan murah, mudah, dan tercipta segera. (*)

*) ACHMAD ALI, Statistisi Ahli Madya di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali

Saat ini perekonomian Indonesia tengah menghadapi fenomena deflasi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, indeks harga konsumen (IHK) pada Juli 2024 tercatat 106,09 lebih rendah dibanding Juni 2024 sebesar 106,28. Sehingga pada Juli 2024 terjadi deflasi 0,18 persen (%) secara bulanan (month-to-month/mtm).

Ini pertanda sudah tiga bulan beruntun sejak Mei 2024 Indonesia mengalami deflasi. Bahkan terbilang paling dalam dibanding Juni 2024 deflasi 0,08% dan Mei 2024 deflasi 0,03%.

Dibedah sedikit lebih dalam, hat-trick beruntun deflasi ini lebih didorong pasokan komoditas pangan di pasar yang mencukupi dan jumlah permintaannya tetap. Ini membuat harga sejumlah komoditas di tingkat konsumen mengalami penurunan.

BPS mencatat tingkat deflasi pada kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau pada Juli 2024 terdalam sejak November 2022, yakni 0,97% dengan andil 0,28% periode mtm.

Pelemahan Daya Beli

Sejumlah analis pun menyoroti fenomena deflasi yang terjadi. Ada yang mengungkap bahwa deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang relatif turun atau lebih rendah, terutama pada komoditas pangan. Namun, hal ini merupakan gejala makro ekonomi di mana kondisi ekonomi masyarakat sedang tak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti saat ini.

Ada pula yang menghubungkan fenomena deflasi beruntun dengan pelemahan daya beli masyarakat, utamanya pada kelas menengah. Indikator pelemahan daya beli kelas menengah bisa terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor, NPL (non performing loan), dan KPR (kredit pemilikan rumah) meningkat, serta tabungan perorangan yang tumbuhnya melambat. Deflasi juga mengindikasikan pelaku usaha menahan kenaikan harga di level konsumen.

Baca Juga :  Lebih Penting Tambah Pasokan Pertalite

Tak hanya itu, ekonom Prancis dari Universitas Harvard Stefanie Stantcheva, dalam sebuah makalah berjudul ”Mengapa Kita Tidak Menyukai Inflasi?”, melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat Amerika Serikat (AS) tentang Inflasi.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan orang AS sangat tidak menyukai inflasi dan tidak percaya kenaikan upah telah mendekati kenaikan harga. Masyarakat AS berpikir bahwa kenaikan upah jauh lebih lambat daripada kenaikan harga barang dan jasa.

Secara keseluruhan, temuannya tetap konsisten secara luas bahwa inflasi menghasilkan emosi yang kuat di antara responden, mulai kemarahan hingga ketakutan akan masa depan, dan rasa ketidakadilan (Brookings, 27/3/2024).

Mengurai Persoalan Mendasar Inflasi

Lalu, bagaimana dengan Indonesia, apakah perkembangan inflasi menjadi sinyal perekonomian terus tumbuh atau malah sebaliknya? Apakah fenomena hat-trick deflasi beruntun sebagai ancaman negatif bagi pertumbuhan ekonomi ke depan?

Ada dua hal yang pantas kita beri perhatian. Pertama, secara mendasar, IHK merupakan sebuah proksi yang menangkap perubahan harga beli (purchasing cost) di tingkat konsumen. Ketika tidak ada perubahan pendapatan masyarakat secara signifikan, perubahan IHK cenderung disebabkan oleh faktor lain.

Boleh jadi, deflasi menjadi indikasi awal bahwa daya beli masyarakat sedikit tergerus. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor. Terjadinya deflasi belum tentu menggambarkan bahwa inflasi dapat dikontrol dengan baik. Deflasi bisa saja terjadi karena ada kelompok komoditas tertentu yang melimpah di pasaran sehingga harganya menurun.

Artinya, belum tentu deflasi menjadi indikator bahwa tingkat inflasi dapat dijaga dan belum tentu kondisi tersebut merupakan hasil dari bauran kebijakan fiskal dan moneter. Tapi lebih dipengaruhi oleh adanya perubahan kondisi pasar yang sifatnya insidental saja (Andre Josep Kurnia, 2024).

Baca Juga :  Pemkab Kotim Inginkan Regsosek 2022 Hasilkan Data Akurat

Kedua, hat-trick deflasi beruntun sudah tentu memunculkan kekhawatiran, terutama terkait dengan daya beli masyarakat. Kendati sejumlah analis menilai tren deflasi tiga bulan beruntun mengindikasikan terjadinya pelemahan permintaan atau penurunan daya beli masyarakat, perlu analisis lebih lanjut untuk menyimpulkan apakah deflasi menunjukkan lesu atau tidaknya daya beli masyarakat.

Selain perubahan IHK (inflasi/deflasi), ada sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat seperti pendapatan riil masyarakat, nilai tukar mata uang, pengenaan pajak, akses pada lapangan pekerjaan (pengangguran), ketersediaan kredit, dan suku bunga.

Sebuah penelitian yang dilakukan Deby Silvia dkk (2021) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat daya beli masyarakat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menunjukkan bahwa inflasi, produk domestik regional bruto (PDRB), dan upah minimum kabupaten (UMK) berpengaruh simultan terhadap tingkat daya beli masyarakat.

Namun, secara parsial inflasi tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, sedangkan PDRB dan UMK berpengaruh secara parsial terhadap tingkat daya beli masyarakat.

Dengan kata lain, perkembangan inflasi nasional yang terus memperlihatkan penurunan tidak serta-merta disimpulkan sebagai akibat dorongan pelemahan daya beli masyarakat. Boleh jadi pelemahan daya beli masyarakat kebanyakan terjadi pada kelas bawah, sedangkan pada kelas atas ada kecenderungan untuk menahan belanja.

Tapi, paling tidak, indikasi ini sebagai sinyal awal bahwa sesungguhnya pendapatan riil masyarakat belum cukup untuk menopang perekonomiannya akan baik-baik saja. Karena itu, pemerintah dan setiap pemangku kepentingan perlu memahami psikologis masyarakat bahwa biaya hidup tidaklah seperti mengusap lampu Aladdin, simsalabim, diperoleh dengan murah, mudah, dan tercipta segera. (*)

*) ACHMAD ALI, Statistisi Ahli Madya di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali

Terpopuler

Artikel Terbaru