31.3 C
Jakarta
Friday, December 5, 2025

Tragedi Sumatera dan Keengganan Pusat

Oleh Kaleb E. Simanungkalit, dosen dan Kaprodi di FKIP Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli

Angka 770 bukanlah sekadar statistik. Itu adalah jumlah nyawa manusia, saudara kita yang melayang akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November lalu. Jika kita membayangkan 770 jenazah yang dibaringkan berdampingan, mungkin hati nurani kita baru akan benar-benar terguncang.

Donasi Bencana Alam

Ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar tahun ini. Tiga provinsi lumpuh sekaligus. Ribuan rumah lenyap. Infrastruktur hancur lebur. Namun, respons administratif dari Jakarta terasa dingin dan terbatas: Pemerintah pusat memutuskan untuk tidak menetapkan status bencana nasional.

Keputusan itu tidak hanya mengecewakan, tetapi juga merugikan rasa keadilan masyarakat. Di saat Sumatera berteriak minta tolong dengan napas tersengal, Jakarta justru sibuk berlindung di balik benteng resolusi undang-undang.

Alasan Klise

Argumen utama pemerintah menolak status bencana nasional selalu merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007. Alibinya klasik, pemerintahan daerah (pemda) di tiga provinsi tersebut dianggap belum ’’lumpuh total’’. Gubernur dan bupati/wali kota masih ada. Kantor dinas masih berdiri.

Electronic money exchangers listing

Ini adalah logika birokrasi yang kaku dan tidak membumi. Benar bahwa gubernur dan bupati masih ada secara fisik. Namun, apakah ’’tangan’’ mereka masih mampu bekerja?

Kita harus ingat, bencana ini terjadi pada bulan Desember 2025. Ini adalah ujung tahun anggaran. Kas daerah (APBD) di hampir seluruh wilayah Indonesia sudah ’’kering’’ atau sudah dialokasikan untuk pos-pos lain yang tak bisa digeser sembarangan.

Baca Juga :  Puasa, Sedekah, dan Bahagia

Ketika bencana raksasa terjadi pada saat dompet daerah kosong, sesungguhnya pemerintahan itu sudah lumpuh secara fungsi meski tampak utuh secara struktur.

Memaksa daerah menanggung beban pemulihan triliunan rupiah dengan sisa anggaran akhir tahun adalah sebuah kemustahilan. Jakarta seharusnya paham betul realistis fiskal itu.

Menolak status bencana nasional dengan alasan ’’gubernur masih ada’’ sama saja dengan menyuruh petinju yang sudah babak belur dan kehabisan darah untuk terus bertarung sendirian di atas ring.

Ketakutan Semu

Selain alasan teknis, aroma politis juga tercium kuat. Ada kekhawatiran elite pusat bahwa label bencana nasional akan mencoreng wajah Indonesia di mata internasional. Ketakutan akan kaburnya investor atau turunnya geliat pariwisata seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi pembuat kebijakan.

Pola pikir itu sangatlah bermasalah. Apakah kita lebih peduli pada pemeringkatan investasi daripada nyawa rakyat sendiri? Menyematkan status bencana nasional bukanlah aib. Justru, itu menunjukkan bahwa negara hadir dan bertanggung jawab penuh.

Dunia internasional justru akan lebih menghargai negara yang transparan mengakui krisis dan menanganinya dengan sekuat tenaga daripada negara yang berusaha menyembunyikan ’’borok’’ bencana di bawah karpet demi menjaga citra semu.

Ketimpangan Pusat dan Daerah

Kasus ini kembali memunculkan sentimen lama tentang hubungan pusat dengan daerah. Masyarakat di Sumatera dapat bertanya, ’’Seandainya bencana dengan 770 korban jiwa dan melumpuhkan tiga provinsi itu terjadi di Pulau Jawa, apakah respons Jakarta akan sedingin ini?’’

Baca Juga :  Hanya Satu Orang yang Selamat, Sekeluarga Jadi Korban Longsor di Trenggalek

Sejarah mencatat, atensi pemerintah pusat kerap kali lebih cepat dan masif jika bencana terjadi di dekat pusat kekuasaan. Jangan salahkan apabila muncul persepsi bahwa nyawa di luar Jawa seolah memiliki ’’valuasi’’ yang berbeda dalam kalkulator birokrasi.

Status bencana nasional sebenarnya adalah kunci inggris untuk membuka segala sumbatan. Dengan status itu, pintu APBN terbuka lebar tanpa birokrasi berbelit. Komando menjadi satu di tangan pusat, menghilangkan ego sektoral antardaerah. Rekonstruksi bisa berjalan cepat, bukan menunggu hibah yang cairnya kapan saja.

Sudahi Debat

Warga di Aceh, Sumut, dan Sumbar saat ini tidak perlu mengambil definisi hukum. Mereka membutuhkan kepastian tempat tinggal, jaminan pangan, dan perbaikan jalan yang putus agar perekonomian kembali berputar.

Pemerintah pusat harus segera merevisi keputusan ini. Jangan biarkan rakyat merasa yatim piatu di tengah-tengahnya. Kehilangan 770 nyawa adalah ’’lampu merah’’ yang menyala terang benderang.

Menetapkan status bencana nasional adalah langkah politik yang menguntungkan. Itu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti empati. Sudahi narasi ’’bencana daerah’’. Ini duka Indonesia, maka harus ditanggung sebagai beban nasional. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa birokrasi kita lebih kukuh daripada rasa kemanusiaan kita. (*)

“Ada kekhawatiran elite pusat bahwa label bencana nasional akan mencoreng wajah Indonesia di mata internasional.”

Oleh Kaleb E. Simanungkalit, dosen dan Kaprodi di FKIP Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli

Angka 770 bukanlah sekadar statistik. Itu adalah jumlah nyawa manusia, saudara kita yang melayang akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November lalu. Jika kita membayangkan 770 jenazah yang dibaringkan berdampingan, mungkin hati nurani kita baru akan benar-benar terguncang.

Donasi Bencana Alam

Electronic money exchangers listing

Ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar tahun ini. Tiga provinsi lumpuh sekaligus. Ribuan rumah lenyap. Infrastruktur hancur lebur. Namun, respons administratif dari Jakarta terasa dingin dan terbatas: Pemerintah pusat memutuskan untuk tidak menetapkan status bencana nasional.

Keputusan itu tidak hanya mengecewakan, tetapi juga merugikan rasa keadilan masyarakat. Di saat Sumatera berteriak minta tolong dengan napas tersengal, Jakarta justru sibuk berlindung di balik benteng resolusi undang-undang.

Alasan Klise

Argumen utama pemerintah menolak status bencana nasional selalu merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007. Alibinya klasik, pemerintahan daerah (pemda) di tiga provinsi tersebut dianggap belum ’’lumpuh total’’. Gubernur dan bupati/wali kota masih ada. Kantor dinas masih berdiri.

Ini adalah logika birokrasi yang kaku dan tidak membumi. Benar bahwa gubernur dan bupati masih ada secara fisik. Namun, apakah ’’tangan’’ mereka masih mampu bekerja?

Kita harus ingat, bencana ini terjadi pada bulan Desember 2025. Ini adalah ujung tahun anggaran. Kas daerah (APBD) di hampir seluruh wilayah Indonesia sudah ’’kering’’ atau sudah dialokasikan untuk pos-pos lain yang tak bisa digeser sembarangan.

Baca Juga :  Puasa, Sedekah, dan Bahagia

Ketika bencana raksasa terjadi pada saat dompet daerah kosong, sesungguhnya pemerintahan itu sudah lumpuh secara fungsi meski tampak utuh secara struktur.

Memaksa daerah menanggung beban pemulihan triliunan rupiah dengan sisa anggaran akhir tahun adalah sebuah kemustahilan. Jakarta seharusnya paham betul realistis fiskal itu.

Menolak status bencana nasional dengan alasan ’’gubernur masih ada’’ sama saja dengan menyuruh petinju yang sudah babak belur dan kehabisan darah untuk terus bertarung sendirian di atas ring.

Ketakutan Semu

Selain alasan teknis, aroma politis juga tercium kuat. Ada kekhawatiran elite pusat bahwa label bencana nasional akan mencoreng wajah Indonesia di mata internasional. Ketakutan akan kaburnya investor atau turunnya geliat pariwisata seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi pembuat kebijakan.

Pola pikir itu sangatlah bermasalah. Apakah kita lebih peduli pada pemeringkatan investasi daripada nyawa rakyat sendiri? Menyematkan status bencana nasional bukanlah aib. Justru, itu menunjukkan bahwa negara hadir dan bertanggung jawab penuh.

Dunia internasional justru akan lebih menghargai negara yang transparan mengakui krisis dan menanganinya dengan sekuat tenaga daripada negara yang berusaha menyembunyikan ’’borok’’ bencana di bawah karpet demi menjaga citra semu.

Ketimpangan Pusat dan Daerah

Kasus ini kembali memunculkan sentimen lama tentang hubungan pusat dengan daerah. Masyarakat di Sumatera dapat bertanya, ’’Seandainya bencana dengan 770 korban jiwa dan melumpuhkan tiga provinsi itu terjadi di Pulau Jawa, apakah respons Jakarta akan sedingin ini?’’

Baca Juga :  Hanya Satu Orang yang Selamat, Sekeluarga Jadi Korban Longsor di Trenggalek

Sejarah mencatat, atensi pemerintah pusat kerap kali lebih cepat dan masif jika bencana terjadi di dekat pusat kekuasaan. Jangan salahkan apabila muncul persepsi bahwa nyawa di luar Jawa seolah memiliki ’’valuasi’’ yang berbeda dalam kalkulator birokrasi.

Status bencana nasional sebenarnya adalah kunci inggris untuk membuka segala sumbatan. Dengan status itu, pintu APBN terbuka lebar tanpa birokrasi berbelit. Komando menjadi satu di tangan pusat, menghilangkan ego sektoral antardaerah. Rekonstruksi bisa berjalan cepat, bukan menunggu hibah yang cairnya kapan saja.

Sudahi Debat

Warga di Aceh, Sumut, dan Sumbar saat ini tidak perlu mengambil definisi hukum. Mereka membutuhkan kepastian tempat tinggal, jaminan pangan, dan perbaikan jalan yang putus agar perekonomian kembali berputar.

Pemerintah pusat harus segera merevisi keputusan ini. Jangan biarkan rakyat merasa yatim piatu di tengah-tengahnya. Kehilangan 770 nyawa adalah ’’lampu merah’’ yang menyala terang benderang.

Menetapkan status bencana nasional adalah langkah politik yang menguntungkan. Itu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti empati. Sudahi narasi ’’bencana daerah’’. Ini duka Indonesia, maka harus ditanggung sebagai beban nasional. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa birokrasi kita lebih kukuh daripada rasa kemanusiaan kita. (*)

“Ada kekhawatiran elite pusat bahwa label bencana nasional akan mencoreng wajah Indonesia di mata internasional.”

Terpopuler

Artikel Terbaru