Anies Baswedan terus menjadi sorotan. Namanya sempat muncul sebagai calon kuat yang akan diusung PDIP di Pilkada DKI Jakarta 2024 pasca keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan syarat pencalonan. Dengan ketentuan baru tersebut, partai kepala banteng sudah bisa mengajukan calon sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Namun, ternyata PDIP tidak jadi mencalonkan Anies. Mereka memilih kader sendiri, Pramono Anung, menteri sekretaris kabinet saat ini, yang diduetkan dengan Rano Karno yang juga kader internal. Sempat beredar kabar, Anies bakal dicalonkan PDIP di pilkada Jabar, tetapi ternyata juga tidak jadi.
Partai Politik Baru
Sampai detik-detik terakhir waktu pendaftaran Pilkada 2024, tidak ada nama Anies. Pesaing presiden terpilih Prabowo dalam pilpres lalu itu tidak berhasil menjadi calon kepala daerah di mana pun.
Bagaimana nasib Anies selanjutnya setelah tidak bisa ikut serta dalam pilkada sebagai calon?
Banyak pertanyaan seperti itu yang mengemuka. Anies disebut-sebut bakal membidik Pilpres 2029 di mana dia akan kembali berkompetisi menjadi orang nomor satu di republik ini. Dalam rentang lima tahun sebelumnya, tentu Anies harus tetap aktif di politik sehingga namanya tidak tenggelam.
Lalu, apa yang harus dilakukan Anies? Salah satu opsi yang kini banyak dibicarakan adalah membentuk partai politik baru. Anies dalam suatu kesempatan pernah mengungkapkan kemungkinan mendirikan partai politik.
Jika memang dia benar-benar akan mendirikan partai politik, setidaknya ada empat hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, identitas kepartaian (party identity). Terkait dengan hal ini, yang terpenting adalah bagaimana menjadikan partai baru memiliki perbedaan atau distingsi yang tegas dengan partai-partai lain.
Salah satu masalah besar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia selama ini adalah tidak tegasnya diferensiasi antara satu partai dan partai lain. Baik pada level ideologi maupun program kerjanya. Perbedaan yang terlihat hanyalah pada aspek nama, logo, serta warna partai. Selebihnya kurang lebih sama.
Akibatnya, pada level elite, para pengurus partai tampak kesulitan merancang program-program kerja yang lebih unggul dari yang lain. Demikian pun pada level publik, mereka merasakan kesulitan untuk memilih mana partai yang benar-benar mewakili aspirasi politiknya.
Karena itu, Anies harus benar-benar mampu membuat identitas kepartaian yang berbeda dengan partai-partai lama. Jika selama ini dia sering bertumpu pada gagasan atau pemikiran, sudah seharusnya partai politik besutan Anies merumuskan sebuah gagasan politik yang berbeda dengan yang berlaku sekarang di republik ini sehingga bisa menarik minat warga.
Kedua, ketokohan atau figur. Harus diakui, kehidupan kepartaian di lndonesia belum berbasis pada sistem, melainkan masih bergantung pada ketokohan atau figur. Ketika figur itu kuat dan mendapatkan dukungan luas dari publik, partainya pun berkembang pesat. Demikian pula sebaliknya.
PDIP sejauh ini mampu bertahan dengan kuat sebenarnya lebih karena mengandalkan ketokohan Soekarno yang saat ini terepresentasikan pada Megawati. Partai Demokrat, tak diragukan lagi, sangat bergantung pada ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hanya sedikit partai yang tidak terlalu bergantung pada figur. Sebut saja Golkar dan PKS.
Sayang, ada sejumlah tokoh di Indonesia yang mencoba mendirikan partai politik baru, tetapi tidak berhasil. Amien Rais, misalnya. Setelah keluar dari PAN, dia mendirikan Partai Ummat, tetapi gagal meraih ambang batas parlemen. Demikian pula Din Syamsuddin yang mendirikan Partai Pelita, setali tiga uang.
Mungkin di level internasional, ada contoh yang sebaliknya. Anwar Ibrahim di Malaysia, misalnya. Setelah keluar dari koalisi UMNO dan tidak lagi sehaluan dengan Mahathir Mohamad, dia mendirikan partai politik baru. Kemudian, setelah melalui perjuangan yang keras, Anwar akhirnya menjadi perdana menteri.
Pertanyaannya, apakah Anies bisa menjadi figur bagi partai baru nanti sehingga menjadi magnet yang menarik banyak warga sebagai anggota atau setidaknya menjadi simpatisannya? Ini tentu akan menjadi ujian bagi Anies, apakah popularitasnya selama ini sebagai sosok pembawa perubahan atau antitesis terhadap penguasa bakal berhasil atau tidak.
Ketiga, dana. Sudah menjadi rahasia umum, kehidupan politik di Indonesia berbiaya sangat tinggi. Sistem pemilu yang dibangun di atas landasan pasar bebas politik jelas membutuhkan biaya politik yang besar. Sementara partai politik di Indonesia masih mengandalkan sebagian dananya dari anggaran negara.
Sebagai partai politik baru, tentu tidak mudah untuk mendapatkan dana besar. Satu-satunya jalan yang paling memungkinkan adalah mendapatkan dukungan dana dari orang-orang yang punya modal besar seperti para pengusaha. Masalahnya, apakah Anies mampu membuat sejumlah pengusaha tertarik untuk mendukung pendanaan partainya?
Keempat, jaringan. Bagi partai politik, jaringan jelas sangat penting. Idealnya, partai politik harus memiliki kepengurusan di setiap provinsi kalau ingin bersaing dengan partai-partai lama dengan sumber daya manusianya yang tepat.
Jaringan tentu bukan hanya dalam konteks kepengurusan partai di setiap level daerah, melainkan juga jaringan ketokohan dan organisasi. Partai-partai yang memiliki jaringan kuat dengan sejumlah tokoh dan organisasi, baik pada level nasional maupun internasional, jelas akan mendapat dukungan luas.
Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendirian partai politik baru di Indonesia. Keseriusan untuk menempuh langkah itu jelas sangat diperlukan demi mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia. (*)
*) IDING ROSYIDIN, Wakil dekan akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ketua umum APSIPOL Indonesia