28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mengenal Fenomena Fatherless dan Pentingnya Peran Figur Ayah Bagi Anak

BADAN Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyatakan maraknya fenomena fatherless sangat memengaruhi ketahanan keluarga Indonesia. Fatherless merupakan kondisi di mana terjadi sosok ayah kurang hadir, baik secara fisik atau psikologis dalam sebuah keluarga (Dwinanda, 2023).

Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country (Fajarrini & Umam, 2023). Tidak semua anak dapat merasakan kehadiran seorang ayah apabila sebuah negara tersebut dikatakan masuk dalam kategori fatherless (Fajarrini & Umam, 2023). Fatherless adalah ketidakterlibatan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak, baik secara fisik atau psikologis dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang anak dapat dikategorikan masuk dalam kondisi keluarga fatherless, ketika ia tidak memiliki sosok ayah, atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya yang dikarenakan kondisi perceraian, kematian, maupun permasalahan dalam pernikahan. Kondisi ini dapat terjadi mengakibatkan anak kehilangan figur ayah dalam diri anak secara utuh akibat ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan (Fajarrini & Umam, 2023).

Sama seperti seorang Ibu, Ayah juga memiliki peran yang penting dalam suatu hubungan keluarga. Kepribadian anak yang baik merupakan cerminan dari keberhasilan pengasuhan dan didikan yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika diibaratkan keluarga sebagai perusahaan, maka posisi ayah adalah posisi dari pemimpin perusahaan (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Ayah berperan sebagai pemimpin, penjaga, pembimbing, mendidik, dan melindungi keluarganya, sehingga kehadirannya sangat berpengaruh dalam kehidupan anak-anaknya dan akan memberikan kesan bagi anak hingga anak tersebut tumbuh dewasa.

Menteri Sosial Republik Indonesia periode 2014-2018, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan jika Indonesia menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai negara dengan tingkat kasus fatherless tertinggi (Fajarrini & Nasrul, 2023). Fenomena yang terjadi di Indonesia ini merupakan dampak dari ketidakkehadiran sosok seorang ayah bagi anak-anaknya dalam kehidupan berkeluarga.

Hal ini dapat dipicu beberapa faktor seperti perceraian, permasalahan pada pernikahan orang tua, kematian, masalah kesehatan, ataupun akibat dari profesi yang dijalankan oleh sosok ayah dalam keluarga. Pemberian label fatherless bukan semerta-merta karena tidak memiliki ayah, namun hal tersebut karena ketidakhadiran peran ayah dalam sebuah keluarga (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Ayah tidak hanya berperan untuk mencari nafkah dan pemenuhan finansial, tetapi keterlibatan ayah juga berperan penting dalam perkembangan psikologis anak dan kehidupan sehari-sehari seorang anak. (Nisa, Ayah berperan dalam perkembangan kognitif, emosi, kesejahteraan psikologis, sosial dan kesehatan fisik pada anak (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).

Pada segi perkembangan kognitif, ayah seharusnya memberikan dukungan akademik sehingga berdampak positif dalam motivasi prestasi akademik. Pada segi perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis, seorang ayah seharusnya memberikan kehangatan yang membantu meminimalisir masalah perilaku yang terjadi pada anak.

Baca Juga :  Penyuluh Narkoba Dibekali Pencegahan Stunting Guna Tingkatkan Kualitas Sdm

Pada segi perkembangan sosial, anak yang memiliki kelekatan dengan ayahnya akan meminimalisir konflik dengan teman sebaya. Pada segi kesehatan fisik, anak yang tidak tinggal seatap dengan ayahnya mayoritas mengalami masalah kesehatan (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).

Masyarakat di Indonesia, kebanyakan menitikberatkan tanggung jawab dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak hanya kepada ibunya saja. Padahal baik, ayah maupun ibu memiliki tanggung jawab yang sama untuk terlibat dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak. Ngewa (2019) mengemukakan bahwa pada hakikatnya kemampuan ayah juga dapat sama dengan ibu dalam mengenali dan merespon kebutuhan anak-anaknya.

Hilangnya salah satu dari peran orang tua akan berdampak pada permasalahan psikologis anak. Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya kasus perceraian atau meninggal dunia yang menyebabkan anak harus kehilangan peran ayah. Ashari (2017) mengemukakan bahwa fenomena ini disebut sebagai fatherless, father absence, father loss, atau father hunger.

Fenomena fatherless saat ini sedang terjadi di Indonesia bahkan di seluruh penjuru dunia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengemukakan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di Indonesia masih rendah, dimana kualitas dan kuantitas waktu ayah dalam berkomunikasi dengan anak rata-rata hanya sejam perharinya (Asy’ari & Ariyanto, 2019).

Fatherless merupakan fenomena ketika ayah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dan perannya sebagai sosok ayah. Fatherless diartikan sebagai ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan anak baik secara fisik maupun secara psikis (Wandansari, Nur, & Siswanti, 2021).

Fatherless bukan hanya tentang tidak adanya figur ayah dalam keluarga, tetapi juga tentang peran ayah yang tidak berfungsi dengan optimal dalam kehidupan sehari-sehari seorang anak (Nurhayani, 2020).

Fatherless adalah pengalaman secara emosional yang didalamnya terdapat pikiran dan perasaan tentang kekurangan kedekatan atau kasih sayang dari ayah karena ketidakterlibatan secara fisik, emosional, dan psikologis dalam tahapan perkembangan anak. Kondisi fatherless tentu bukanlah kondisi yang diinginkan dalam pola pengasuhan.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketiadaan ayah dalam mengasuh anak, akan mengurangi dampak yang tidak baik dari perkembangan remaja seperti halnya dalam kenakalan remaja dan penggunaan minuman keras (Alfasma et al., 2023).

Fatherless dapat diartikan juga sebagai anak yang ayahnya tidak hadir secara maksimal dalam proses tumbuh dan kembangnya, sehingga secara psikologis ayah tidak berperan dengan seharusnya dikarenakan suatu permasalahan tertentu yang terjadi di dalam lingkup internal keluarga.

Baca Juga :  Komitmen Cegah Stunting, Pemkab Sukamara dan BKKBN Kalteng Teken MoU

Fenomena ini disebabkan oleh adanya pengaruh budaya terhadap paradigma pengasuhan dan stereotip, yang berpandangan laki-laki tidak seharusnya merawat dan terlibat langsung ke dalam proses pengasuhan anaknya (Fajarrini & Nasrul, 2023). Proses mengasuh dan merawat anak kerap kali dikaitkan dengan sosok ibu, sehingga tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak-anak dianggap sebagai hanyalah tugas ibu semata.

Sementara, ayah sebagai pemimpin keluarga dianggap hanya bertugas untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat belum menyadari akan pentingnya keseimbangan antara peran ibu dan ayah dalam pengasuhan terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anak sering kali kehilangan figur ayah dalam dirinya secara utuh (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Fatherless disebabkan oleh beberapa hal yang menyebabkan individu kehilangan peran ayah baik secara fisik maupun secara psikis. Smith mengemukakan bahwa individu dikatakan berada dalam kondisi fatherless apabila dia tidak memiliki ayah yang disebabkan karena kematian, tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah karena perceraian, dan permasalahan keluarga yang menyebabkan pisah tempat tinggal (Sundari & Herdajani, 2013).

Soge, dkk (2016) mengemukakan bahwa fatherless juga disebabkan oleh kurangnya waktu bersama antara ayah dan anak, serta kurangnya kerjasama antara ayah dan ibu dalam proses pengasuhan.

Ayah yang kurang berperan secara fungsi dalam kehidupan anak-anaknya, baik sebagai ayah atau kepala keluarga, akan membawa dampak yang buruk bagi anak. Dampak buruk ini dikatakan oleh Castetter yaitu diantaranya adalah anak mengalami pubertas yang lebih cepat dibanding anak seusianya, menurunnya nilai akademik pada lembaga pendidikan formal, memiliki harga diri dan self esteem yang cenderung lebih rendah karena mengalami penolakan, berdampak pada kesehatan mental dan lebih membatasi diri dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan permasalahan ekonomi, karena tidak adanya peran ayah sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi keluarga (Putri & Kusmiati, 2022).

Sedangkan Sundari dan Herdajani mengatakan jika kondisi fatherless dapat berdampak terhadap rasa marah, rasa malu, serta rendahnya harga diri seorang anak karena merasa berbeda dengan kawan sebayanya yang memiliki pengalaman dan kedekatan dengan ayah mereka.

Fatherless juga menyebabkan seorang individu rentan mengalami kecemburuan, kedukaan, kesepian, perasaan kehilangan yang sangat besar, rendahnya inisiatif, rendahnya kontrol diri, keberanian mengambil resiko, dan kecenderungan neurotik terutama pada anak perempuan (Putri & Kusmiati, 2022).

BADAN Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyatakan maraknya fenomena fatherless sangat memengaruhi ketahanan keluarga Indonesia. Fatherless merupakan kondisi di mana terjadi sosok ayah kurang hadir, baik secara fisik atau psikologis dalam sebuah keluarga (Dwinanda, 2023).

Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country (Fajarrini & Umam, 2023). Tidak semua anak dapat merasakan kehadiran seorang ayah apabila sebuah negara tersebut dikatakan masuk dalam kategori fatherless (Fajarrini & Umam, 2023). Fatherless adalah ketidakterlibatan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak, baik secara fisik atau psikologis dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang anak dapat dikategorikan masuk dalam kondisi keluarga fatherless, ketika ia tidak memiliki sosok ayah, atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya yang dikarenakan kondisi perceraian, kematian, maupun permasalahan dalam pernikahan. Kondisi ini dapat terjadi mengakibatkan anak kehilangan figur ayah dalam diri anak secara utuh akibat ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan (Fajarrini & Umam, 2023).

Sama seperti seorang Ibu, Ayah juga memiliki peran yang penting dalam suatu hubungan keluarga. Kepribadian anak yang baik merupakan cerminan dari keberhasilan pengasuhan dan didikan yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika diibaratkan keluarga sebagai perusahaan, maka posisi ayah adalah posisi dari pemimpin perusahaan (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Ayah berperan sebagai pemimpin, penjaga, pembimbing, mendidik, dan melindungi keluarganya, sehingga kehadirannya sangat berpengaruh dalam kehidupan anak-anaknya dan akan memberikan kesan bagi anak hingga anak tersebut tumbuh dewasa.

Menteri Sosial Republik Indonesia periode 2014-2018, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan jika Indonesia menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai negara dengan tingkat kasus fatherless tertinggi (Fajarrini & Nasrul, 2023). Fenomena yang terjadi di Indonesia ini merupakan dampak dari ketidakkehadiran sosok seorang ayah bagi anak-anaknya dalam kehidupan berkeluarga.

Hal ini dapat dipicu beberapa faktor seperti perceraian, permasalahan pada pernikahan orang tua, kematian, masalah kesehatan, ataupun akibat dari profesi yang dijalankan oleh sosok ayah dalam keluarga. Pemberian label fatherless bukan semerta-merta karena tidak memiliki ayah, namun hal tersebut karena ketidakhadiran peran ayah dalam sebuah keluarga (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Ayah tidak hanya berperan untuk mencari nafkah dan pemenuhan finansial, tetapi keterlibatan ayah juga berperan penting dalam perkembangan psikologis anak dan kehidupan sehari-sehari seorang anak. (Nisa, Ayah berperan dalam perkembangan kognitif, emosi, kesejahteraan psikologis, sosial dan kesehatan fisik pada anak (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).

Pada segi perkembangan kognitif, ayah seharusnya memberikan dukungan akademik sehingga berdampak positif dalam motivasi prestasi akademik. Pada segi perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis, seorang ayah seharusnya memberikan kehangatan yang membantu meminimalisir masalah perilaku yang terjadi pada anak.

Baca Juga :  Penyuluh Narkoba Dibekali Pencegahan Stunting Guna Tingkatkan Kualitas Sdm

Pada segi perkembangan sosial, anak yang memiliki kelekatan dengan ayahnya akan meminimalisir konflik dengan teman sebaya. Pada segi kesehatan fisik, anak yang tidak tinggal seatap dengan ayahnya mayoritas mengalami masalah kesehatan (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).

Masyarakat di Indonesia, kebanyakan menitikberatkan tanggung jawab dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak hanya kepada ibunya saja. Padahal baik, ayah maupun ibu memiliki tanggung jawab yang sama untuk terlibat dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak. Ngewa (2019) mengemukakan bahwa pada hakikatnya kemampuan ayah juga dapat sama dengan ibu dalam mengenali dan merespon kebutuhan anak-anaknya.

Hilangnya salah satu dari peran orang tua akan berdampak pada permasalahan psikologis anak. Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya kasus perceraian atau meninggal dunia yang menyebabkan anak harus kehilangan peran ayah. Ashari (2017) mengemukakan bahwa fenomena ini disebut sebagai fatherless, father absence, father loss, atau father hunger.

Fenomena fatherless saat ini sedang terjadi di Indonesia bahkan di seluruh penjuru dunia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengemukakan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di Indonesia masih rendah, dimana kualitas dan kuantitas waktu ayah dalam berkomunikasi dengan anak rata-rata hanya sejam perharinya (Asy’ari & Ariyanto, 2019).

Fatherless merupakan fenomena ketika ayah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dan perannya sebagai sosok ayah. Fatherless diartikan sebagai ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan anak baik secara fisik maupun secara psikis (Wandansari, Nur, & Siswanti, 2021).

Fatherless bukan hanya tentang tidak adanya figur ayah dalam keluarga, tetapi juga tentang peran ayah yang tidak berfungsi dengan optimal dalam kehidupan sehari-sehari seorang anak (Nurhayani, 2020).

Fatherless adalah pengalaman secara emosional yang didalamnya terdapat pikiran dan perasaan tentang kekurangan kedekatan atau kasih sayang dari ayah karena ketidakterlibatan secara fisik, emosional, dan psikologis dalam tahapan perkembangan anak. Kondisi fatherless tentu bukanlah kondisi yang diinginkan dalam pola pengasuhan.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketiadaan ayah dalam mengasuh anak, akan mengurangi dampak yang tidak baik dari perkembangan remaja seperti halnya dalam kenakalan remaja dan penggunaan minuman keras (Alfasma et al., 2023).

Fatherless dapat diartikan juga sebagai anak yang ayahnya tidak hadir secara maksimal dalam proses tumbuh dan kembangnya, sehingga secara psikologis ayah tidak berperan dengan seharusnya dikarenakan suatu permasalahan tertentu yang terjadi di dalam lingkup internal keluarga.

Baca Juga :  Komitmen Cegah Stunting, Pemkab Sukamara dan BKKBN Kalteng Teken MoU

Fenomena ini disebabkan oleh adanya pengaruh budaya terhadap paradigma pengasuhan dan stereotip, yang berpandangan laki-laki tidak seharusnya merawat dan terlibat langsung ke dalam proses pengasuhan anaknya (Fajarrini & Nasrul, 2023). Proses mengasuh dan merawat anak kerap kali dikaitkan dengan sosok ibu, sehingga tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak-anak dianggap sebagai hanyalah tugas ibu semata.

Sementara, ayah sebagai pemimpin keluarga dianggap hanya bertugas untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat belum menyadari akan pentingnya keseimbangan antara peran ibu dan ayah dalam pengasuhan terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anak sering kali kehilangan figur ayah dalam dirinya secara utuh (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Fatherless disebabkan oleh beberapa hal yang menyebabkan individu kehilangan peran ayah baik secara fisik maupun secara psikis. Smith mengemukakan bahwa individu dikatakan berada dalam kondisi fatherless apabila dia tidak memiliki ayah yang disebabkan karena kematian, tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah karena perceraian, dan permasalahan keluarga yang menyebabkan pisah tempat tinggal (Sundari & Herdajani, 2013).

Soge, dkk (2016) mengemukakan bahwa fatherless juga disebabkan oleh kurangnya waktu bersama antara ayah dan anak, serta kurangnya kerjasama antara ayah dan ibu dalam proses pengasuhan.

Ayah yang kurang berperan secara fungsi dalam kehidupan anak-anaknya, baik sebagai ayah atau kepala keluarga, akan membawa dampak yang buruk bagi anak. Dampak buruk ini dikatakan oleh Castetter yaitu diantaranya adalah anak mengalami pubertas yang lebih cepat dibanding anak seusianya, menurunnya nilai akademik pada lembaga pendidikan formal, memiliki harga diri dan self esteem yang cenderung lebih rendah karena mengalami penolakan, berdampak pada kesehatan mental dan lebih membatasi diri dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan permasalahan ekonomi, karena tidak adanya peran ayah sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi keluarga (Putri & Kusmiati, 2022).

Sedangkan Sundari dan Herdajani mengatakan jika kondisi fatherless dapat berdampak terhadap rasa marah, rasa malu, serta rendahnya harga diri seorang anak karena merasa berbeda dengan kawan sebayanya yang memiliki pengalaman dan kedekatan dengan ayah mereka.

Fatherless juga menyebabkan seorang individu rentan mengalami kecemburuan, kedukaan, kesepian, perasaan kehilangan yang sangat besar, rendahnya inisiatif, rendahnya kontrol diri, keberanian mengambil resiko, dan kecenderungan neurotik terutama pada anak perempuan (Putri & Kusmiati, 2022).

Terpopuler

Artikel Terbaru