26.6 C
Jakarta
Friday, April 11, 2025

Belum Maksimalnya Pemberdayaan Bukan Faktor Keahlian

Upaya mengembalikan
fungsi ekologi dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari restorasi gambut, ternyata
tidak hanya menjadi perhatian dunia nasional, tetapi juga internasional. Kali
ini, mahasiswa dan dosen dari Universitas Queensland, Australia tertarik
menggali sejauh mana pemberdayaan masyarakat di tengah upaya restorasi gambut
yang sering dan terus digaungkan pemerintah dan swasta.

ARNOLDUS MAKU, Palangka
Raya

=================-=========

SELAMA kurang lebih
delapan hari berada di tengah masyarakat Kalteng, khususnya di Desa Buntoi,
Taruna Kabupaten Pulang Pisau serta di Sei Gohong Palangka Raya, Dosen Universitas
Queensland, Australia, Elske Van de Fliert mengatakan program pemberdayaan
masyarakat sebagai tujuan dari restorasi gambut masih belum maksimal dilakukan
oleh masyarakat itu sendiri.

Belum maksimalnya
program pemberdayaan tersebut, bukan karena faktor keahlian dimana minimnya
pelatihan sebelum bantuan disalurkan, tetapi lebih kepada kesadaran dan pola
pikir masyarakat itu sendiri yang tidak melihat lebih jauh dampak positif dari
pemberdayaan yang dilakukan.

“Masyarakat kebanyakan
masih berpikir hari ini makan apa, sehingga bantuan yang diberikan untuk
dikembangkan disalahgunakan untuk hal-hal yang konsumtif dan bermanfaat jangka
pendek,” tuturnya di Gedung Biru Kalteng Pos, kemarin sore.

Baca Juga :  10 Kardus Bakpia di Kereta Argo Semeru

Kalau diberi bantuan
kambing dan babi, misalnya, bukannya dikembangbiakkan malah ada yang disembelih
untuk acara dan lain sebagainya, bahkan dijual untuk beli motor.

Tidak efektifnya
pemberdayaan masyarakat yang digaungkan sebagai tujuan dari restorasi gambut,
bisa saja terjadi karena tidak adanya komunikasi yang benar-benar menyentuh
titik kesadaran masyarakat, untuk sesuatu yang baik dan berguna demi
kesejahteraan.

“Selama tinggal bersama
dengan masyarakat hampir kurang lebih seminggu bisa dinilai bahwa tingkat SDM
masyarakat yang menjadi target program pemderdayaan, tidak bisa hanya dibangun
dengan sosialiasi secara komunal dan temporal, tetapi semestinya pendekatan
personal dengan model komunikasi dalam skala kecil dan dilakukan secara
berulang,” jelas Nick Given salah satu mahasiswa Fakultas Hukum.

Sebelumnya, juga harus
memahami betul karakter dan budaya masyarakat setempat sebelum adanya
peluncuran program pemberdayaan masyarakat.

Selain Nick, Hariet
Lomas mahasiswa Fakultas Hukum juga menceritakan masih banyaknya masyarakat
yang cenderung membakar lahan gambut dikarenakan adanya sebuah kebiasaan atau
model pertanian tradisional yang sudah diwariskan, serta belum sepenuhnya
memahami regulasi atau peraturan yang berkaitan dengan pembakaran lahan dan
hutan.

Baca Juga :  Dibacakan oleh Ibu, Anak Langsung Nyantol

“Ada banyak juga
masyarakat yang masih terbiasa dengan pola bercocok tanam tradisional dan
instan dimulai dengan membakar. Ini bisa terjadi juga karena mereka belum
sepenuhnya tahu dan paham tentang regulasi atau larangan pembakaran lahan dan
hutan,” jelasnya.

Dalam bincang-bincang bersama
Pemimpin Redaksi Kalteng Pos Alberh M Sholeh, para mahasiswa tersebut mengaku
bangga dan senang. Hal ini karena kedatangan mereka disambut baik oleh masyarakat
dan juga pemerintah.

“Senang pokoknya,
karena masyarakatnya ramah dan baik. Alamnya juga indah dan sejuk. Semoga
kedepannya bisa kembali di sini,” celetuk sejumlah mahasiswa.

Sebagai bentuk tanggung jawab kepada pemerintah
dan BRG, apa yang dialami dan dijumpai di tengah masyarakat dalam hubungan
dengan restorasi gambut akan dirangkum dan menjadi sebuah rekomendasi untuk
dikaji lebih jauh demi perubahan Kalteng yang lebih baik. (*)

Upaya mengembalikan
fungsi ekologi dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari restorasi gambut, ternyata
tidak hanya menjadi perhatian dunia nasional, tetapi juga internasional. Kali
ini, mahasiswa dan dosen dari Universitas Queensland, Australia tertarik
menggali sejauh mana pemberdayaan masyarakat di tengah upaya restorasi gambut
yang sering dan terus digaungkan pemerintah dan swasta.

ARNOLDUS MAKU, Palangka
Raya

=================-=========

SELAMA kurang lebih
delapan hari berada di tengah masyarakat Kalteng, khususnya di Desa Buntoi,
Taruna Kabupaten Pulang Pisau serta di Sei Gohong Palangka Raya, Dosen Universitas
Queensland, Australia, Elske Van de Fliert mengatakan program pemberdayaan
masyarakat sebagai tujuan dari restorasi gambut masih belum maksimal dilakukan
oleh masyarakat itu sendiri.

Belum maksimalnya
program pemberdayaan tersebut, bukan karena faktor keahlian dimana minimnya
pelatihan sebelum bantuan disalurkan, tetapi lebih kepada kesadaran dan pola
pikir masyarakat itu sendiri yang tidak melihat lebih jauh dampak positif dari
pemberdayaan yang dilakukan.

“Masyarakat kebanyakan
masih berpikir hari ini makan apa, sehingga bantuan yang diberikan untuk
dikembangkan disalahgunakan untuk hal-hal yang konsumtif dan bermanfaat jangka
pendek,” tuturnya di Gedung Biru Kalteng Pos, kemarin sore.

Baca Juga :  10 Kardus Bakpia di Kereta Argo Semeru

Kalau diberi bantuan
kambing dan babi, misalnya, bukannya dikembangbiakkan malah ada yang disembelih
untuk acara dan lain sebagainya, bahkan dijual untuk beli motor.

Tidak efektifnya
pemberdayaan masyarakat yang digaungkan sebagai tujuan dari restorasi gambut,
bisa saja terjadi karena tidak adanya komunikasi yang benar-benar menyentuh
titik kesadaran masyarakat, untuk sesuatu yang baik dan berguna demi
kesejahteraan.

“Selama tinggal bersama
dengan masyarakat hampir kurang lebih seminggu bisa dinilai bahwa tingkat SDM
masyarakat yang menjadi target program pemderdayaan, tidak bisa hanya dibangun
dengan sosialiasi secara komunal dan temporal, tetapi semestinya pendekatan
personal dengan model komunikasi dalam skala kecil dan dilakukan secara
berulang,” jelas Nick Given salah satu mahasiswa Fakultas Hukum.

Sebelumnya, juga harus
memahami betul karakter dan budaya masyarakat setempat sebelum adanya
peluncuran program pemberdayaan masyarakat.

Selain Nick, Hariet
Lomas mahasiswa Fakultas Hukum juga menceritakan masih banyaknya masyarakat
yang cenderung membakar lahan gambut dikarenakan adanya sebuah kebiasaan atau
model pertanian tradisional yang sudah diwariskan, serta belum sepenuhnya
memahami regulasi atau peraturan yang berkaitan dengan pembakaran lahan dan
hutan.

Baca Juga :  Dibacakan oleh Ibu, Anak Langsung Nyantol

“Ada banyak juga
masyarakat yang masih terbiasa dengan pola bercocok tanam tradisional dan
instan dimulai dengan membakar. Ini bisa terjadi juga karena mereka belum
sepenuhnya tahu dan paham tentang regulasi atau larangan pembakaran lahan dan
hutan,” jelasnya.

Dalam bincang-bincang bersama
Pemimpin Redaksi Kalteng Pos Alberh M Sholeh, para mahasiswa tersebut mengaku
bangga dan senang. Hal ini karena kedatangan mereka disambut baik oleh masyarakat
dan juga pemerintah.

“Senang pokoknya,
karena masyarakatnya ramah dan baik. Alamnya juga indah dan sejuk. Semoga
kedepannya bisa kembali di sini,” celetuk sejumlah mahasiswa.

Sebagai bentuk tanggung jawab kepada pemerintah
dan BRG, apa yang dialami dan dijumpai di tengah masyarakat dalam hubungan
dengan restorasi gambut akan dirangkum dan menjadi sebuah rekomendasi untuk
dikaji lebih jauh demi perubahan Kalteng yang lebih baik. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru