28.3 C
Jakarta
Monday, March 31, 2025

Membelah Hutan untuk Hindari Debu Tambang

Kakak
beradik Indra dan Alan punya semangat luar biasa. Saban hari berjalan sekitar
16 kilometer untuk berangkat dan pulang sekolah. Berjalan kaki membelah hutan
menjadi pilihan, karena jalan hauling tak lagi terasa nyaman untuk dilewati.

 

 

ANISA
B WAHDAH-AGUS PRAMONO-
Tamiang Layang

 

PANTAT begitu
penat. Enam jam duduk di kursi minibus yang membawa kami dari Palangka Raya
menuju Ampah. Tak ingin berlama-lama, kami langsung menuju Dusun Pimping, Desa
Gandrung.


Untuk ke sana, kami harus
menyewa sepeda motor. Tak ada ojek maupun angkot. Estimasi waktu paling lambat
dua jam.

Pantat tambah penat.
Medan yang dilalui tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Kami melewati jalan
makadam. Kontur jalan demikian membuat pengendara mesti pintar-pintar memilih
jalan. Jika tak sempat menghindari batu, ya begitu terasa di pantat.

Kami pun memilih
pelan-pelan. Asal sampai di tujuan dengan selamat. Di tengah perjalanan, pohon
tumbang menghalang jalan. Diameternya seukuran galon air. Kami pun berputar
otak mencari cara untuk bisa lewat. Sebab, tak mungkin untuk memotong atau
memindahkannya.

Saat itu langit
bersemburat berwarna merah jambu. Matahari mulai tenggelam dari cakrawala. Burung-burung
walet menukik tajam dari ketinggian. Saling berkejaran.

Breng…Breng. Terdengar
suara sepeda motor keluar dari hutan. Pengendara itu menerobos ilalang. Kami
pun mengikuti jalan alternatif yang dilewati pengendara tersebut. Tidak jauh.
Tapi kontur tanah begitu lembek. Meski sedikit kesulitan, akhirnya kami bisa
melewati itu.

Matahari benar-benar
sudah terbenam. Namun kami belum sampai di tujuan. Suara binatang malam
mengiringi sepanjang perjalanan. Laju sepeda motor sedikit kencang, karena
sudah melewati jalan hauling.

“Yee sampai,” pekik
Anisa memecah keheningan.

Sepeda motor terparkir
di pelataran rumah Indra (13) dan Alan (12). Kami disambut hangat oleh orang tua
mereka, Edi dan Injut. Setelah mengobrol singkat, kami pun beristirahat. Di
rumah panggung terbuat dari kayu itu, lampu teplok menjadi penerang.

Lantai dari kayu
tiba-tiba berderit. Ternyata Indra dan Alan sudah melangkah keluar dari kamar.
Mengalungkan handuk. Tangannya membawa gayung berisi peralatan mandi. Mereka berjalan
menuju sungai. Jaraknya 100 meter. Tepat di sisi kiri rumah. Jam di ponsel
menunjukkan pukul 05.00 WIB. Terasa malas untuk bangun. Apalagi hawa dingin
begitu menusuk tulang.

“Mau mandi?” tanya Rika
(21), kakak sepupu Alan, yang juga seorang guru honorer yang turut tidur di
rumah Alan. “Mandi? Di mana?” sahut kami. “Di Sungai Pimping, setiap pagi kami
mandi di sini,” kata Rika. Sungai tersebut menjadi satu-satunya sumber
kehidupan warga Dusun Pimping. Arus sungai tak begitu deras. Dangkal. Sedikit
keruh. Aktivitas mandi, mencuci, dan buang air, semuanya dilakukan di sungai
itu.

Baca Juga :  Kisah Dibalik Isolasi Mandiri dan Penerapan PPKM Mikro

Sepulang dari sungai, Rika,
Indra, dan Alan bergegas bersiap menuju sekolah. Tidak sarapan. Tidak membawa
bekal. Masing-masing diberi uang saku Rp2 ribu. Maklum, sang ibu dan ayah hanya
berpenghasilan Rp15 ribu per hari. Hasil menyadap karet. Dihargai Rp5 ribu per
kilogram.

“Sehari paling dapat
lima kilogram. Yang punya kebun dapat dua kilogram. Sisanya kami,” kata Injut,
ibu Alan.

Tepat pukul 06.00 WIB,
melangkah keluar rumah. Mengejar waktu agar tidak telat, karena jam masuk
sekolah adalah pukul 08.00 WIB. Mereka terlihat menyambut hari pertama masuk
sekolah dengan penuh semangat usai libur panjang.

Kami mengikuti mereka
membelah hutan. Naik turun perbukitan. Menyusuri sungai. Menempuh jarak delapan
kilometer agar sampai ke SDN Gandrung.

Alan dan Indra
berangkat tanpa mengenakan seragam. Begitu juga Rika. Mereka memakai kaus oblong
dan celana pendek. Melindungi kaki dengan sandal jepit karet merek Nipon. Tatkala
musim hujan, tak jarang tali sandal putus. Sering terpeleset.

“Kami berangkat sekolah
tidak menggunakan seragam, karena harus menyusuri sungai. Seragam kami masukkan
dalam tas. Nanti baru ganti saat di sekolah,” kata Rika sembari berjalan.

Sang kakak, Indra yang
bercita-cita sebagai dokter, membekali diri dengan mandau. Meski perempuan,
Indra berjalan yang paling depan. Saban hari membawa mandau untuk berjaga-jaga.
Jika ada ranting pohon atau dahan menghalangi jalan.

Tak sampai satu
kilometer, napas kami mengap-mengap. Mulai lemas. Mau balik kanan, malu. Alan menertawakan
kami tanpa rikuh.

Perjalanan berjalan. Perut
terasa kosong karena belum sarapan. Langkah demi langkah kami lewati. Sambil
ngobrol. Biar lupa lelah. Lupa lapar. Indra sesekali mengeluarkan mandau.
Menebas ranting yang menghalangi jalan.

“Selama libur sekolah kami
enggak pernah lewat lagi di sini. Makanya banyak ranting tumbuh tak teratur,”
ucap Indra.

Jalan setapak yang
dilewati ini menjadi akses tercepat. Jika melewati jalan hauling dan jalan
kampung, harus memutar jauh. Belum lagi ancaman debu bertebaran yang bisa mengganggu
kesehatan.

Belum setengah
perjalanan naik turun bukit. Kulihat Rika, Indra, dan Alan belum berkeringat. Napas
mereka tak terengah-engah. Sementara, kami berdua sudah beberapa kali membungkuk,
menopang kedua tangan pada lutut.

Setelah naik turun
bukit yang masih tampak hijau dan banyak pohon karet itu, kami pun menyusuri Sungai
Pimping. Kebetulan debit air sedikit, karena sedang musim kemarau. Langkah kami
pelan. Meraba-raba dasar sungai. Batu-batu yang dipijaki begitu licin. Salah
melangkah, bisa fatal akibatnya.

“Jika musim hujan, air bisa
sampai dada kami,” ucap Rika.

“Bisa sampai leher,” sahut
Alan, bocah yang bercita-cita menjadi polisi.

Tubuh Alan tidak
terlalu tinggi. Wajar saja ia kesuliatan melewati sungai itu saat musim hujan.

Baca Juga :  Serunya Mengikuti Kontes, Bazar, dan Lelang Durian di Kabupaten Blitar

“Saya pernah hampir
terseret arus, ditarik pakai bambu sama teman saya,” lanjut Alan.

Sesekali ada perasaan
waswas. Takut bertemu binatang buas. Bertemu ular dan babi hutan sudah menjadi
hal biasa bagi mereka bertiga. Asal tidak diganggu, binatang hutan itu tidak
akan menyerang.

Langkah kami agak
terhuyung-huyung usai melewati sungai. Lima menit kami beristirahat. Sekadar
meluruskan kedua kaki. Kepala mendongak, menatap jalan sambil menanyakan kepada
Alan berapa lama lagi perjalanan kami.

“Enggak lama lagi, ini
sudah banyak jalanan menurun,” jawab Alan, diiringi tawa kecil dari Indra.

Apa yang disampaikan
Alan membuat kami sedikit lega.

Tak jauh kaki
melangkah, Alan yang berjalan di belakang kami menceletuk. “Dulu saya lahir di sini,”
katanya.

Kami berpaling. Lalu
berhenti melangkah. Kami kaget. Melihat Alan memegang batang pohon berdiameter
seperti roda minibus. Entah apa nama pohonnya.

“Ceritanya, saat itu ibu
Alan (Injut, red) pulang dari pasar. Usai kandungannya sembilan bulan. Tiba-tiba
perut ibunya sakit. Merasa ingin melahirkan,” sahut Rika.

Suami Injut menuju Desa
Gandrung untuk mencari pertolongan. Namun ketika kembali, Injut sudah
melahirkan.

“Makanya diberi nama
Alan. Menurut bahasa Dayak Maanyan, jalan itu artinya lalan. Untuk mengenang
cerita itu, orang tua memberi nama Alan. Alan adalah jalan. Seorang bayi
laki-laki yang terlahir di jalan,” beber Rika.

Jarum jam tangan pun
sudah menujukkan pukul 07.15 WIB. Menurut Rika, jika hari biasanya atau berangkat
bertiga, paling lama satu jam sampai.

“Kami sudah terbiasa,” kata
Rika dengan napas datar, tidak terlihat kelelahan.

“Bisa jadi irama
langkah kami yang terlalu lambat,” gumam kami.

Tepat pukul 07.35 WIB
kami berlima sampai di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandrung.

Hari ini pertama
kalinya masuk sekolah semester ganjil. Mereka bertiga langsung memasuki kamar
kecil yang berada di ruang guru. Antre berganti pakaian. Lalu, Alan memasuki
ruangan baru. Dia sudah menginjak kelas IV. Sedangkan sang kakak, Indra, sudah kelas
V.

Baju Alan tampak begitu
kusam. Tak mengenakan sepatu. Begitu juga Indra. Ternyata tak hanya Alan dan
Indra. Hampir separuh murid SDN Gandrung belum bersepatu.

Senyum simpul kedua
bocah itu terlihat kala bertemu teman-temannya. Kemudian, mereka mengangkat
bangku dan kursi untuk dibersihkan.

Dua kakak beradik ini
memiliki semangat sekolah, meski dalam keterbatasan. Mereka ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi. Bisa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP),
sekolah menengah atas (SMA), bahkan hingga pendidikan tinggi. Hanya untuk satu
tujuan. Meraih cita-cita demi mengubah nasib. Demi membahagiakan orang tua. (*/ce)

Kakak
beradik Indra dan Alan punya semangat luar biasa. Saban hari berjalan sekitar
16 kilometer untuk berangkat dan pulang sekolah. Berjalan kaki membelah hutan
menjadi pilihan, karena jalan hauling tak lagi terasa nyaman untuk dilewati.

 

 

ANISA
B WAHDAH-AGUS PRAMONO-
Tamiang Layang

 

PANTAT begitu
penat. Enam jam duduk di kursi minibus yang membawa kami dari Palangka Raya
menuju Ampah. Tak ingin berlama-lama, kami langsung menuju Dusun Pimping, Desa
Gandrung.


Untuk ke sana, kami harus
menyewa sepeda motor. Tak ada ojek maupun angkot. Estimasi waktu paling lambat
dua jam.

Pantat tambah penat.
Medan yang dilalui tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Kami melewati jalan
makadam. Kontur jalan demikian membuat pengendara mesti pintar-pintar memilih
jalan. Jika tak sempat menghindari batu, ya begitu terasa di pantat.

Kami pun memilih
pelan-pelan. Asal sampai di tujuan dengan selamat. Di tengah perjalanan, pohon
tumbang menghalang jalan. Diameternya seukuran galon air. Kami pun berputar
otak mencari cara untuk bisa lewat. Sebab, tak mungkin untuk memotong atau
memindahkannya.

Saat itu langit
bersemburat berwarna merah jambu. Matahari mulai tenggelam dari cakrawala. Burung-burung
walet menukik tajam dari ketinggian. Saling berkejaran.

Breng…Breng. Terdengar
suara sepeda motor keluar dari hutan. Pengendara itu menerobos ilalang. Kami
pun mengikuti jalan alternatif yang dilewati pengendara tersebut. Tidak jauh.
Tapi kontur tanah begitu lembek. Meski sedikit kesulitan, akhirnya kami bisa
melewati itu.

Matahari benar-benar
sudah terbenam. Namun kami belum sampai di tujuan. Suara binatang malam
mengiringi sepanjang perjalanan. Laju sepeda motor sedikit kencang, karena
sudah melewati jalan hauling.

“Yee sampai,” pekik
Anisa memecah keheningan.

Sepeda motor terparkir
di pelataran rumah Indra (13) dan Alan (12). Kami disambut hangat oleh orang tua
mereka, Edi dan Injut. Setelah mengobrol singkat, kami pun beristirahat. Di
rumah panggung terbuat dari kayu itu, lampu teplok menjadi penerang.

Lantai dari kayu
tiba-tiba berderit. Ternyata Indra dan Alan sudah melangkah keluar dari kamar.
Mengalungkan handuk. Tangannya membawa gayung berisi peralatan mandi. Mereka berjalan
menuju sungai. Jaraknya 100 meter. Tepat di sisi kiri rumah. Jam di ponsel
menunjukkan pukul 05.00 WIB. Terasa malas untuk bangun. Apalagi hawa dingin
begitu menusuk tulang.

“Mau mandi?” tanya Rika
(21), kakak sepupu Alan, yang juga seorang guru honorer yang turut tidur di
rumah Alan. “Mandi? Di mana?” sahut kami. “Di Sungai Pimping, setiap pagi kami
mandi di sini,” kata Rika. Sungai tersebut menjadi satu-satunya sumber
kehidupan warga Dusun Pimping. Arus sungai tak begitu deras. Dangkal. Sedikit
keruh. Aktivitas mandi, mencuci, dan buang air, semuanya dilakukan di sungai
itu.

Baca Juga :  Kisah Dibalik Isolasi Mandiri dan Penerapan PPKM Mikro

Sepulang dari sungai, Rika,
Indra, dan Alan bergegas bersiap menuju sekolah. Tidak sarapan. Tidak membawa
bekal. Masing-masing diberi uang saku Rp2 ribu. Maklum, sang ibu dan ayah hanya
berpenghasilan Rp15 ribu per hari. Hasil menyadap karet. Dihargai Rp5 ribu per
kilogram.

“Sehari paling dapat
lima kilogram. Yang punya kebun dapat dua kilogram. Sisanya kami,” kata Injut,
ibu Alan.

Tepat pukul 06.00 WIB,
melangkah keluar rumah. Mengejar waktu agar tidak telat, karena jam masuk
sekolah adalah pukul 08.00 WIB. Mereka terlihat menyambut hari pertama masuk
sekolah dengan penuh semangat usai libur panjang.

Kami mengikuti mereka
membelah hutan. Naik turun perbukitan. Menyusuri sungai. Menempuh jarak delapan
kilometer agar sampai ke SDN Gandrung.

Alan dan Indra
berangkat tanpa mengenakan seragam. Begitu juga Rika. Mereka memakai kaus oblong
dan celana pendek. Melindungi kaki dengan sandal jepit karet merek Nipon. Tatkala
musim hujan, tak jarang tali sandal putus. Sering terpeleset.

“Kami berangkat sekolah
tidak menggunakan seragam, karena harus menyusuri sungai. Seragam kami masukkan
dalam tas. Nanti baru ganti saat di sekolah,” kata Rika sembari berjalan.

Sang kakak, Indra yang
bercita-cita sebagai dokter, membekali diri dengan mandau. Meski perempuan,
Indra berjalan yang paling depan. Saban hari membawa mandau untuk berjaga-jaga.
Jika ada ranting pohon atau dahan menghalangi jalan.

Tak sampai satu
kilometer, napas kami mengap-mengap. Mulai lemas. Mau balik kanan, malu. Alan menertawakan
kami tanpa rikuh.

Perjalanan berjalan. Perut
terasa kosong karena belum sarapan. Langkah demi langkah kami lewati. Sambil
ngobrol. Biar lupa lelah. Lupa lapar. Indra sesekali mengeluarkan mandau.
Menebas ranting yang menghalangi jalan.

“Selama libur sekolah kami
enggak pernah lewat lagi di sini. Makanya banyak ranting tumbuh tak teratur,”
ucap Indra.

Jalan setapak yang
dilewati ini menjadi akses tercepat. Jika melewati jalan hauling dan jalan
kampung, harus memutar jauh. Belum lagi ancaman debu bertebaran yang bisa mengganggu
kesehatan.

Belum setengah
perjalanan naik turun bukit. Kulihat Rika, Indra, dan Alan belum berkeringat. Napas
mereka tak terengah-engah. Sementara, kami berdua sudah beberapa kali membungkuk,
menopang kedua tangan pada lutut.

Setelah naik turun
bukit yang masih tampak hijau dan banyak pohon karet itu, kami pun menyusuri Sungai
Pimping. Kebetulan debit air sedikit, karena sedang musim kemarau. Langkah kami
pelan. Meraba-raba dasar sungai. Batu-batu yang dipijaki begitu licin. Salah
melangkah, bisa fatal akibatnya.

“Jika musim hujan, air bisa
sampai dada kami,” ucap Rika.

“Bisa sampai leher,” sahut
Alan, bocah yang bercita-cita menjadi polisi.

Tubuh Alan tidak
terlalu tinggi. Wajar saja ia kesuliatan melewati sungai itu saat musim hujan.

Baca Juga :  Serunya Mengikuti Kontes, Bazar, dan Lelang Durian di Kabupaten Blitar

“Saya pernah hampir
terseret arus, ditarik pakai bambu sama teman saya,” lanjut Alan.

Sesekali ada perasaan
waswas. Takut bertemu binatang buas. Bertemu ular dan babi hutan sudah menjadi
hal biasa bagi mereka bertiga. Asal tidak diganggu, binatang hutan itu tidak
akan menyerang.

Langkah kami agak
terhuyung-huyung usai melewati sungai. Lima menit kami beristirahat. Sekadar
meluruskan kedua kaki. Kepala mendongak, menatap jalan sambil menanyakan kepada
Alan berapa lama lagi perjalanan kami.

“Enggak lama lagi, ini
sudah banyak jalanan menurun,” jawab Alan, diiringi tawa kecil dari Indra.

Apa yang disampaikan
Alan membuat kami sedikit lega.

Tak jauh kaki
melangkah, Alan yang berjalan di belakang kami menceletuk. “Dulu saya lahir di sini,”
katanya.

Kami berpaling. Lalu
berhenti melangkah. Kami kaget. Melihat Alan memegang batang pohon berdiameter
seperti roda minibus. Entah apa nama pohonnya.

“Ceritanya, saat itu ibu
Alan (Injut, red) pulang dari pasar. Usai kandungannya sembilan bulan. Tiba-tiba
perut ibunya sakit. Merasa ingin melahirkan,” sahut Rika.

Suami Injut menuju Desa
Gandrung untuk mencari pertolongan. Namun ketika kembali, Injut sudah
melahirkan.

“Makanya diberi nama
Alan. Menurut bahasa Dayak Maanyan, jalan itu artinya lalan. Untuk mengenang
cerita itu, orang tua memberi nama Alan. Alan adalah jalan. Seorang bayi
laki-laki yang terlahir di jalan,” beber Rika.

Jarum jam tangan pun
sudah menujukkan pukul 07.15 WIB. Menurut Rika, jika hari biasanya atau berangkat
bertiga, paling lama satu jam sampai.

“Kami sudah terbiasa,” kata
Rika dengan napas datar, tidak terlihat kelelahan.

“Bisa jadi irama
langkah kami yang terlalu lambat,” gumam kami.

Tepat pukul 07.35 WIB
kami berlima sampai di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandrung.

Hari ini pertama
kalinya masuk sekolah semester ganjil. Mereka bertiga langsung memasuki kamar
kecil yang berada di ruang guru. Antre berganti pakaian. Lalu, Alan memasuki
ruangan baru. Dia sudah menginjak kelas IV. Sedangkan sang kakak, Indra, sudah kelas
V.

Baju Alan tampak begitu
kusam. Tak mengenakan sepatu. Begitu juga Indra. Ternyata tak hanya Alan dan
Indra. Hampir separuh murid SDN Gandrung belum bersepatu.

Senyum simpul kedua
bocah itu terlihat kala bertemu teman-temannya. Kemudian, mereka mengangkat
bangku dan kursi untuk dibersihkan.

Dua kakak beradik ini
memiliki semangat sekolah, meski dalam keterbatasan. Mereka ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi. Bisa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP),
sekolah menengah atas (SMA), bahkan hingga pendidikan tinggi. Hanya untuk satu
tujuan. Meraih cita-cita demi mengubah nasib. Demi membahagiakan orang tua. (*/ce)

Terpopuler

Artikel Terbaru