30.5 C
Jakarta
Monday, October 7, 2024

Hidup di Indonesia, Berobat ke Johor, Jual Ikan ke Singapura dan Hongk

Di luar ketegangan di lautan, ada kedekatan antara warga Kepulauan Natuna
dan negeri jiran yang telah terjalin. Urusan kehidupan sehari-hari mereka lebih
nyaman terhubung dengan negara-negara tetangga itu.

AGUS DWI PRASETYO, Natuna, Jawa Pos

ALI (41), tekong (nakhoda) kapal rawai di Tanjung
Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
(Kepri), tengah berada di Johor, Malaysia, ketika Dedek Ardiansyah menghubungi
melalui video call WhatsApp (WA). Dari layar ponsel, Ali tampak kurang sehat.
Dia baru menjalani cek darah di salah satu RS ternama negeri jiran itu.

“Empedu batu tak jelas,” ujar dia dengan suara terbata.

Karena koneksi internet kurang bagus, komunikasi itu diakhiri Dedek.
Sejurus kemudian, percakapan beralih ke sambungan telepon reguler.

Dedek yang masih penasaran menanyakan kondisi relasi kerjanya tersebut.
”Sakit apa kau, Li?” tanya Dedek. ”Empedu batu,” jawab Ali mengulang.

Bukan karena gengsi jika Ali memilih berobat ke luar negeri. Tapi, karena
merasa cocok. Sebelum ke Johor, Ali berobat ke salah satu RS di Surabaya.
Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh. Atas saran sejumlah kerabat, Ali ke
Johor. Tentu, semua biaya dia tanggung mandiri karena kartu BPJS Kesehatan tak
berlaku di sana.

Beberapa tekong lain yang kapal ikannya mangkal di depan rumah Dedek juga
berobat ke Johor. Abeng salah satunya. Nakhoda kapal pancing rawai berkapasitas
20 gross tonnage (GT) asal Tanjung Balai Karimun, Kepri, itu sembuh dari
penyakit kencing batu setelah berobat ke Johor. Abeng sebelumnya berobat di
Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna. Dia juga sudah menjajal RS di Kota Batam.
Namun, semua tak membuahkan hasil.

“Dan waktu berobat di Johor langsung sembuh,” kata dia saat ditemui di
pangkalan kapal nelayan Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat,
Natuna.

Berobat ke Malaysia juga menjadi kebiasaan keluarga Dedek sejak
bertahun-tahun. Bos kapal pancing rawai di Tanjung Kumbik Utara itu membawa
semua anggota keluarganya berobat ke daerah yang terletak di selatan
Semenanjung Malaysia tersebut. Yang paling baru, ayah tiri Dedek, Sabli, awal
tahun lalu operasi kornea mata. Saat ini penglihatannya nyaris sembuh seperti
sediakala.

Baca Juga :  Memelihara Ikan Molly, Murah tapi Menyenangkan

“Kami senang ke Johor karena obatnya bagus,” tutur suami Siti Kumalasari
tersebut.

Tradisi berobat ke Johor dilakukan warga lantaran fasilitas rumah sakit
daerah yang belum lengkap. Dedek pernah punya pengalaman pilu. Kakak
pertamanya, Norman, meninggal karena penanganan yang menurutnya kurang
maksimal.

“Saat itu alat CT scan kepala tidak ada (di RSUD Natuna), padahal waktu itu
abang merasakan ngilu sekali di kepala,” kata Dedek.

“Kalau sekarang kami nggak tahu, sudah ada atau belum (alat CT scan kepala,
Red),” imbuh bapak dua anak itu.

Warga di Natuna –khususnya kalangan ekonomi menengah ke atas– menurut Dedek,
memang lebih memilih berobat ke Johor. Meski, ironisnya, hingga sekarang mereka
sulit menghafal nama rumah sakitnya lantaran berbahasa asing. ”Sebagian besar
memang nggak hafal nama rumah sakitnya, yang penting sembuh,” terang Dedek,
lantas tertawa.

Kedekatan Natuna dengan negara tetangga juga terbangun lewat hubungan
bisnis ikan. Rodhial Huda, warga Pulau Tiga Barat, beberapa tahun terakhir
memelihara ikan kerapu cantik di belakang rumah panggungnya. Ikan perkawinan
silang antara kerapu cepak dan kerapu tiger itu laku dijual ke Hongkong melalui
pengepul.

Saat ini 1.000 kerapu dipelihara pria yang sehari-hari berprofesi petugas
sekuriti tersebut. Seekor ikan dengan berat 2 kg dihargai Rp 500 ribu.
Sementara itu, ikan dengan berat 1 kilogram biasanya dibeli Rp 145 ribu. “Kalau
(ikan) sudah umur 2 tahun biasanya baru bisa dipanen,” terangnya.

Mayoritas warga di pesisir Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, sampai Sedanau
yang ada di Natuna menggantungkan hidup dari bisnis jual beli ikan. Ikan-ikan
itu diekspor pengepul. Paling banyak ke Singapura dan Hongkong. Ada pula yang
dibawa ke Malaysia. Pemasukan dari bisnis tersebut amat menggiurkan. Sekali
transaksi bisa ratusan juta rupiah.

Misalnya, bisnis ikan tangkapan yang digeluti Dedek secara turun-temurun.
Awal Desember lalu dia mengirim 18 ton ikan ke Tanjung Balai Karimun dengan
nilai transaksi Rp 460 juta. Jenis ikan yang dikirim, antara lain, kurisi bali,
kakap merah, kurisi, kerapu, dan jahan. Dari Tanjung Balai Karimun, ikan-ikan
itu dikirim ke Singapura melalui Batam.

Baca Juga :  Yakin Tidak Takut Tertular Jika Mematuhi Protokol Kesehatan

Di pertengahan November, Dedek juga mengirim ikan ke lokasi yang sama.
Jumlah ikan lebih sedikit, yakni 15 ton, tapi nilai jualnya lebih bagus
daripada Desember. Yaitu, Rp 570 juta. Kebetulan, harga beberapa jenis ikan
terbilang bagus di bulan itu. ”Harga ikan ini memang tidak pasti, kalau lagi bagus,
ya bagus juga pendapatan kita,” tuturnya.

Kedekatan masyarakat pesisir dengan negara luar juga terlihat dari
kebiasaan membeli produk kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak isian dapur yang
merupakan hasil “impor”. Di situ mudah sekali menemukan kecap produksi
Selangor, Malaysia. Begitu pula dengan produk-produk camilan atau minuman
berperisa.

Produk tersebut sejatinya tidak diperbolehkan beredar di Indonesia.
Termasuk wilayah Pulau Tiga Barat yang minim listrik itu. Pasalnya, tidak ada
nomor registrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI di kemasannya.
Juga, tidak ada label Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, sebagian besar
warga merasa tidak peduli. Sebagian mengaku tidak tahu.

Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti mengakui kedekatan masyarakatnya
dengan negara-negara tetangga sudah terjalin sejak lama. Di bidang kesehatan,
misalnya, biayanya relatif lebih terjangkau berobat ke Malaysia atau Singapura
daripada ke Jakarta. “Fasilitas kesehatan mereka lebih bagus. Ini memang jadi
masalah,” ujarnya saat dihubungi.

Soal bisnis ikan, secara historis kedekatan antara masyarakat Natuna dan
asing memang sudah terjalin. Pasalnya, secara geografis, menjual ikan memang
lebih dekat ke Singapura dan Malaysia. “Natuna itu memang sudah seperti saudara
(bagi Malaysia dan Singapura, Red),” tutur perempuan berjilbab itu.

Harus diakui, kedekatan Natuna dengan negara tetangga memang tercatat
sebagai warisan leluhur masyarakat setempat. Namun, kedekatan itu semestinya
tidak menjadi pintu masuk kapal ikan asing (KIA) mencuri ikan di sana. Atau
mengedarkan produk-produk olahan tanpa izin edar. “Historinya tetap jalan, tapi
pelanggaran jangan dibiarkan,” kata Ngesti. (*/c10/ayi/jpc/kpc)

Di luar ketegangan di lautan, ada kedekatan antara warga Kepulauan Natuna
dan negeri jiran yang telah terjalin. Urusan kehidupan sehari-hari mereka lebih
nyaman terhubung dengan negara-negara tetangga itu.

AGUS DWI PRASETYO, Natuna, Jawa Pos

ALI (41), tekong (nakhoda) kapal rawai di Tanjung
Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
(Kepri), tengah berada di Johor, Malaysia, ketika Dedek Ardiansyah menghubungi
melalui video call WhatsApp (WA). Dari layar ponsel, Ali tampak kurang sehat.
Dia baru menjalani cek darah di salah satu RS ternama negeri jiran itu.

“Empedu batu tak jelas,” ujar dia dengan suara terbata.

Karena koneksi internet kurang bagus, komunikasi itu diakhiri Dedek.
Sejurus kemudian, percakapan beralih ke sambungan telepon reguler.

Dedek yang masih penasaran menanyakan kondisi relasi kerjanya tersebut.
”Sakit apa kau, Li?” tanya Dedek. ”Empedu batu,” jawab Ali mengulang.

Bukan karena gengsi jika Ali memilih berobat ke luar negeri. Tapi, karena
merasa cocok. Sebelum ke Johor, Ali berobat ke salah satu RS di Surabaya.
Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh. Atas saran sejumlah kerabat, Ali ke
Johor. Tentu, semua biaya dia tanggung mandiri karena kartu BPJS Kesehatan tak
berlaku di sana.

Beberapa tekong lain yang kapal ikannya mangkal di depan rumah Dedek juga
berobat ke Johor. Abeng salah satunya. Nakhoda kapal pancing rawai berkapasitas
20 gross tonnage (GT) asal Tanjung Balai Karimun, Kepri, itu sembuh dari
penyakit kencing batu setelah berobat ke Johor. Abeng sebelumnya berobat di
Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna. Dia juga sudah menjajal RS di Kota Batam.
Namun, semua tak membuahkan hasil.

“Dan waktu berobat di Johor langsung sembuh,” kata dia saat ditemui di
pangkalan kapal nelayan Tanjung Kumbik Utara, Kecamatan Pulau Tiga Barat,
Natuna.

Berobat ke Malaysia juga menjadi kebiasaan keluarga Dedek sejak
bertahun-tahun. Bos kapal pancing rawai di Tanjung Kumbik Utara itu membawa
semua anggota keluarganya berobat ke daerah yang terletak di selatan
Semenanjung Malaysia tersebut. Yang paling baru, ayah tiri Dedek, Sabli, awal
tahun lalu operasi kornea mata. Saat ini penglihatannya nyaris sembuh seperti
sediakala.

Baca Juga :  Memelihara Ikan Molly, Murah tapi Menyenangkan

“Kami senang ke Johor karena obatnya bagus,” tutur suami Siti Kumalasari
tersebut.

Tradisi berobat ke Johor dilakukan warga lantaran fasilitas rumah sakit
daerah yang belum lengkap. Dedek pernah punya pengalaman pilu. Kakak
pertamanya, Norman, meninggal karena penanganan yang menurutnya kurang
maksimal.

“Saat itu alat CT scan kepala tidak ada (di RSUD Natuna), padahal waktu itu
abang merasakan ngilu sekali di kepala,” kata Dedek.

“Kalau sekarang kami nggak tahu, sudah ada atau belum (alat CT scan kepala,
Red),” imbuh bapak dua anak itu.

Warga di Natuna –khususnya kalangan ekonomi menengah ke atas– menurut Dedek,
memang lebih memilih berobat ke Johor. Meski, ironisnya, hingga sekarang mereka
sulit menghafal nama rumah sakitnya lantaran berbahasa asing. ”Sebagian besar
memang nggak hafal nama rumah sakitnya, yang penting sembuh,” terang Dedek,
lantas tertawa.

Kedekatan Natuna dengan negara tetangga juga terbangun lewat hubungan
bisnis ikan. Rodhial Huda, warga Pulau Tiga Barat, beberapa tahun terakhir
memelihara ikan kerapu cantik di belakang rumah panggungnya. Ikan perkawinan
silang antara kerapu cepak dan kerapu tiger itu laku dijual ke Hongkong melalui
pengepul.

Saat ini 1.000 kerapu dipelihara pria yang sehari-hari berprofesi petugas
sekuriti tersebut. Seekor ikan dengan berat 2 kg dihargai Rp 500 ribu.
Sementara itu, ikan dengan berat 1 kilogram biasanya dibeli Rp 145 ribu. “Kalau
(ikan) sudah umur 2 tahun biasanya baru bisa dipanen,” terangnya.

Mayoritas warga di pesisir Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, sampai Sedanau
yang ada di Natuna menggantungkan hidup dari bisnis jual beli ikan. Ikan-ikan
itu diekspor pengepul. Paling banyak ke Singapura dan Hongkong. Ada pula yang
dibawa ke Malaysia. Pemasukan dari bisnis tersebut amat menggiurkan. Sekali
transaksi bisa ratusan juta rupiah.

Misalnya, bisnis ikan tangkapan yang digeluti Dedek secara turun-temurun.
Awal Desember lalu dia mengirim 18 ton ikan ke Tanjung Balai Karimun dengan
nilai transaksi Rp 460 juta. Jenis ikan yang dikirim, antara lain, kurisi bali,
kakap merah, kurisi, kerapu, dan jahan. Dari Tanjung Balai Karimun, ikan-ikan
itu dikirim ke Singapura melalui Batam.

Baca Juga :  Yakin Tidak Takut Tertular Jika Mematuhi Protokol Kesehatan

Di pertengahan November, Dedek juga mengirim ikan ke lokasi yang sama.
Jumlah ikan lebih sedikit, yakni 15 ton, tapi nilai jualnya lebih bagus
daripada Desember. Yaitu, Rp 570 juta. Kebetulan, harga beberapa jenis ikan
terbilang bagus di bulan itu. ”Harga ikan ini memang tidak pasti, kalau lagi bagus,
ya bagus juga pendapatan kita,” tuturnya.

Kedekatan masyarakat pesisir dengan negara luar juga terlihat dari
kebiasaan membeli produk kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak isian dapur yang
merupakan hasil “impor”. Di situ mudah sekali menemukan kecap produksi
Selangor, Malaysia. Begitu pula dengan produk-produk camilan atau minuman
berperisa.

Produk tersebut sejatinya tidak diperbolehkan beredar di Indonesia.
Termasuk wilayah Pulau Tiga Barat yang minim listrik itu. Pasalnya, tidak ada
nomor registrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI di kemasannya.
Juga, tidak ada label Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, sebagian besar
warga merasa tidak peduli. Sebagian mengaku tidak tahu.

Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti mengakui kedekatan masyarakatnya
dengan negara-negara tetangga sudah terjalin sejak lama. Di bidang kesehatan,
misalnya, biayanya relatif lebih terjangkau berobat ke Malaysia atau Singapura
daripada ke Jakarta. “Fasilitas kesehatan mereka lebih bagus. Ini memang jadi
masalah,” ujarnya saat dihubungi.

Soal bisnis ikan, secara historis kedekatan antara masyarakat Natuna dan
asing memang sudah terjalin. Pasalnya, secara geografis, menjual ikan memang
lebih dekat ke Singapura dan Malaysia. “Natuna itu memang sudah seperti saudara
(bagi Malaysia dan Singapura, Red),” tutur perempuan berjilbab itu.

Harus diakui, kedekatan Natuna dengan negara tetangga memang tercatat
sebagai warisan leluhur masyarakat setempat. Namun, kedekatan itu semestinya
tidak menjadi pintu masuk kapal ikan asing (KIA) mencuri ikan di sana. Atau
mengedarkan produk-produk olahan tanpa izin edar. “Historinya tetap jalan, tapi
pelanggaran jangan dibiarkan,” kata Ngesti. (*/c10/ayi/jpc/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru