27.5 C
Jakarta
Tuesday, December 10, 2024

Mengenang Markis Kido: Lucu, Gigih, dan Ngemong Pemain Muda

Meski memiliki riwayat hipertensi, Markis Kido tak pernah patah semangat dan berhasil meraih puncak karier berkat kegigihannya itu. Ada masa ketika, karena kondisi kesehatannya tersebut, dia sampai perlu surat pernyataan dari keluarga agar bisa ikut turnamen.

RAGIL PUTRI IRMALIA, Jakarta, Jawa Pos

YUL Asteria sebenarnya sudah melarang Markis Kido bermain badminton di Tangerang Senin malam (14/6) itu.

Ibunda juara Olimpiade tersebut khawatir dengan kondisi kesehatan sang putra. ”Tapi, kata Uda (Kido), nggak apa-apa karena buat senang-senang saja. Ketemu teman, tidak capek-capek,” ujar Bona Septano, adik Kido, menceritakan ulang cerita sang ibu.

Yul tentu yang paling tahu sang anak memang tak pernah bisa dipisahkan dari bulu tangkis. Sejak kecil, Kido tumbuh bersama olahraga yang dicintainya tersebut. Dan, badminton pula yang mengantarkannya ke puncak dunia: merebut emas ganda putra Olimpiade Beijing 2008 berpasangan dengan Hendra Setiawan.

Namun, ibu tetaplah ibu. Bahkan, seandainya tak diberi tahu, seorang ibu akan merasa bahwa kondisi sang buah hati sedang tidak fit. Karena itu, saat mereka sarapan bersama pada Selasa pagi itu, Yul meminta Kido tak menepok bulu dulu.

Kido tetap berangkat sore itu untuk cari keringat di GOR Petrolin, Alam Sutera, Tangerang. Dia memang rutin bermain di sana. Salah seorang rekan bermainnya adalah Candra Wijaya, sesama anggota pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, dulu. Namun, Kido tiba-tiba kolaps saat baru bermain setengah set. Pingsan. ”Dari sisi teman-teman di sana, ketika pingsan itu, dia (Kido) sempat ngorok. Ada indikasi Kido mengalami serangan jantung. Tapi, sejauh ini belum menerima laporan dari dokternya,” kata Kabidhumas PP PBSI Broto Happy.

Baca Juga :  Melayani Masyarakat, Pemprov Berikan Bantuan ke Kotim Rp300 Miliar Leb

Kido memiliki riwayat darah tinggi atau hipertensi sejak dulu. Ada indikasi faktor genetik yang memengaruhi kondisi tersebut.

Sigit Pamungkas, pelatih yang menangani ganda putra saat Olimpiade Beijing 2008, menceritakan bahwa Kido yang dilahirkan di Jakarta pada 11 Agustus 1984 menorehkan perjuangannya dengan penyakitnya tersebut. Bahkan ketika dia masih aktif menjadi atlet. Setiap hari Kido selalu mengonsumsi obat. Sigit juga selalu mengingatkan anak asuhnya tersebut untuk selalu menjaga pola makan.

Pada 2009, Kido juga nyaris tak bisa mengikuti Jepang Terbuka karena kondisinya tidak baik berdasar hasil cek kesehatan. Namun, dia kekeh untuk tetap berangkat. ”Sampai ada surat pernyataan dari keluarga, kalau terjadi apa-apa sama Kido, tidak akan menuntut PBSI. Semua akhirnya berjalan lancar. Malah Kido/Hendra (Setiawan) keluar sebagai juara,” ujarnya.

Kido, menurut Sigit, memang tak hanya bertalenta. Dia juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Meski memiliki kondisi kesehatan khusus, dia menolak menyerah. Hingga akhirnya, Kido bisa berprestasi tinggi.

Kegigihan Kido itu juga menjadi inspirasi bagi kedua adiknya, Bona dan Pia Zebadiah. Seperti sang kakak, keduanya akhirnya berhasil menembus pelatnas. Di pelatnas, Bona sempat berpasangan dengan M. Ahsan. Kelak Ahsan-lah yang menjadi partner Hendra setelah tak lagi berpartner dengan Kido. ”Selama saya tangani, saya bilang harus saling terbuka soal kondisi. Misalnya, menu latihan ini dirasa berat, bilang agar saya bisa memantau,” ungkap Sigit.

Kido dibesarkan di PB Jaya Raya. Duetnya bersama Hendra sempat menjadi ganda putra nomor satu dunia. Merebut berbagai gelar bergengsi di level turnamen, kejuaraan dunia, sampai emas di ajang multicabang: SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Pemerintah juga mengganjarnya Parama Krida Utama Kelas I. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 September 2008.

Baca Juga :  Produk Lokal yang Tembus ke Pasar Nasional dan Internasional

”Dia (Kido) punya jiwa sosial, suka membantu. Kelihatannya pendiam begitu, tapi kalau sudah bicara, sangat lucu dan suka membuat orang tertawa,” kenang Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wiguna.

Tontowi Ahmad, salah seorang karibnya di pelatnas, juga tak akan pernah lupa suntikan semangat dari Kido agar tak menyerah memburu emas Olimpiade. Owi –sapaan akrab Tontowi– akhirnya berhasil mendapatkannya bersama Liliyana Natsir pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016. ”Sosok yang lucu dan baik hati. Ngemong juga dengan pemain muda,” kata Owi.

Pada 2013, Kido juga sempat berpasangan dengan juniornya di Jaya Raya, Marcus Fernaldi Gideon. Mereka menjuarai Prancis Terbuka tahun itu. Marcus kemudian diduetkan dengan Kevin Sanjaya Sukamuljo dan menjadi ganda putra nomor satu dunia.

Kido pensiun dari dunia yang membesarkan namanya tersebut pada 2018. Setelah itu, dia melanjutkan karier sebagai pelatih ganda putra U-15 dan U-17 di PB Jaya Raya. Namun, dia tak pernah benar-benar gantung raket. Di sela kesibukannya, Kido selalu menyempatkan waktu untuk menepok bulu. Termasuk pada Selasa sore lalu itu ketika kemudian dia kolaps dan mengembuskan napas penghabisan. Kemarin (15/6) sang juara Olimpiade diantar ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Kebon Nanas, Jakarta Timur. ”Dia sepertinya maunya (hidup dan matinya, Red) di lapangan kali ya,” ujar Yul seperti yang disampaikan kepada tim Humas PP PBSI.

Meski memiliki riwayat hipertensi, Markis Kido tak pernah patah semangat dan berhasil meraih puncak karier berkat kegigihannya itu. Ada masa ketika, karena kondisi kesehatannya tersebut, dia sampai perlu surat pernyataan dari keluarga agar bisa ikut turnamen.

RAGIL PUTRI IRMALIA, Jakarta, Jawa Pos

YUL Asteria sebenarnya sudah melarang Markis Kido bermain badminton di Tangerang Senin malam (14/6) itu.

Ibunda juara Olimpiade tersebut khawatir dengan kondisi kesehatan sang putra. ”Tapi, kata Uda (Kido), nggak apa-apa karena buat senang-senang saja. Ketemu teman, tidak capek-capek,” ujar Bona Septano, adik Kido, menceritakan ulang cerita sang ibu.

Yul tentu yang paling tahu sang anak memang tak pernah bisa dipisahkan dari bulu tangkis. Sejak kecil, Kido tumbuh bersama olahraga yang dicintainya tersebut. Dan, badminton pula yang mengantarkannya ke puncak dunia: merebut emas ganda putra Olimpiade Beijing 2008 berpasangan dengan Hendra Setiawan.

Namun, ibu tetaplah ibu. Bahkan, seandainya tak diberi tahu, seorang ibu akan merasa bahwa kondisi sang buah hati sedang tidak fit. Karena itu, saat mereka sarapan bersama pada Selasa pagi itu, Yul meminta Kido tak menepok bulu dulu.

Kido tetap berangkat sore itu untuk cari keringat di GOR Petrolin, Alam Sutera, Tangerang. Dia memang rutin bermain di sana. Salah seorang rekan bermainnya adalah Candra Wijaya, sesama anggota pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, dulu. Namun, Kido tiba-tiba kolaps saat baru bermain setengah set. Pingsan. ”Dari sisi teman-teman di sana, ketika pingsan itu, dia (Kido) sempat ngorok. Ada indikasi Kido mengalami serangan jantung. Tapi, sejauh ini belum menerima laporan dari dokternya,” kata Kabidhumas PP PBSI Broto Happy.

Baca Juga :  Melayani Masyarakat, Pemprov Berikan Bantuan ke Kotim Rp300 Miliar Leb

Kido memiliki riwayat darah tinggi atau hipertensi sejak dulu. Ada indikasi faktor genetik yang memengaruhi kondisi tersebut.

Sigit Pamungkas, pelatih yang menangani ganda putra saat Olimpiade Beijing 2008, menceritakan bahwa Kido yang dilahirkan di Jakarta pada 11 Agustus 1984 menorehkan perjuangannya dengan penyakitnya tersebut. Bahkan ketika dia masih aktif menjadi atlet. Setiap hari Kido selalu mengonsumsi obat. Sigit juga selalu mengingatkan anak asuhnya tersebut untuk selalu menjaga pola makan.

Pada 2009, Kido juga nyaris tak bisa mengikuti Jepang Terbuka karena kondisinya tidak baik berdasar hasil cek kesehatan. Namun, dia kekeh untuk tetap berangkat. ”Sampai ada surat pernyataan dari keluarga, kalau terjadi apa-apa sama Kido, tidak akan menuntut PBSI. Semua akhirnya berjalan lancar. Malah Kido/Hendra (Setiawan) keluar sebagai juara,” ujarnya.

Kido, menurut Sigit, memang tak hanya bertalenta. Dia juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Meski memiliki kondisi kesehatan khusus, dia menolak menyerah. Hingga akhirnya, Kido bisa berprestasi tinggi.

Kegigihan Kido itu juga menjadi inspirasi bagi kedua adiknya, Bona dan Pia Zebadiah. Seperti sang kakak, keduanya akhirnya berhasil menembus pelatnas. Di pelatnas, Bona sempat berpasangan dengan M. Ahsan. Kelak Ahsan-lah yang menjadi partner Hendra setelah tak lagi berpartner dengan Kido. ”Selama saya tangani, saya bilang harus saling terbuka soal kondisi. Misalnya, menu latihan ini dirasa berat, bilang agar saya bisa memantau,” ungkap Sigit.

Kido dibesarkan di PB Jaya Raya. Duetnya bersama Hendra sempat menjadi ganda putra nomor satu dunia. Merebut berbagai gelar bergengsi di level turnamen, kejuaraan dunia, sampai emas di ajang multicabang: SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Pemerintah juga mengganjarnya Parama Krida Utama Kelas I. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 September 2008.

Baca Juga :  Produk Lokal yang Tembus ke Pasar Nasional dan Internasional

”Dia (Kido) punya jiwa sosial, suka membantu. Kelihatannya pendiam begitu, tapi kalau sudah bicara, sangat lucu dan suka membuat orang tertawa,” kenang Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wiguna.

Tontowi Ahmad, salah seorang karibnya di pelatnas, juga tak akan pernah lupa suntikan semangat dari Kido agar tak menyerah memburu emas Olimpiade. Owi –sapaan akrab Tontowi– akhirnya berhasil mendapatkannya bersama Liliyana Natsir pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016. ”Sosok yang lucu dan baik hati. Ngemong juga dengan pemain muda,” kata Owi.

Pada 2013, Kido juga sempat berpasangan dengan juniornya di Jaya Raya, Marcus Fernaldi Gideon. Mereka menjuarai Prancis Terbuka tahun itu. Marcus kemudian diduetkan dengan Kevin Sanjaya Sukamuljo dan menjadi ganda putra nomor satu dunia.

Kido pensiun dari dunia yang membesarkan namanya tersebut pada 2018. Setelah itu, dia melanjutkan karier sebagai pelatih ganda putra U-15 dan U-17 di PB Jaya Raya. Namun, dia tak pernah benar-benar gantung raket. Di sela kesibukannya, Kido selalu menyempatkan waktu untuk menepok bulu. Termasuk pada Selasa sore lalu itu ketika kemudian dia kolaps dan mengembuskan napas penghabisan. Kemarin (15/6) sang juara Olimpiade diantar ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Kebon Nanas, Jakarta Timur. ”Dia sepertinya maunya (hidup dan matinya, Red) di lapangan kali ya,” ujar Yul seperti yang disampaikan kepada tim Humas PP PBSI.

Terpopuler

Artikel Terbaru