29.9 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Tragedi Sarpan, Saksi Pembunuhan yang Babak Belur di Tahanan Polsek

KALTENGPOS.CO – Kapolsek dicopot dan delapan personel Polsek Percut
Sei Tuan, Deli Serdang, pun menjalani sidang disiplin. Sarpan dibebaskan
setelah ada unjuk rasa warga.

MOH. IDRIS, Deli Serdang-DEWI LUBIS, Medan

SARPAN selamanya akan berterima kasih kepada para tetangga. Berkat
intervensi mereka, dia akhirnya lepas dari hari-hari penuh penyiksaan di dalam
tahanan polisi.

Pria 57 tahun itu dibebaskan 6
Juli lalu setelah sejumlah warga berunjuk rasa di Polsek Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Para warga itu tetangganya di Jalan
Sidomulyo Pasar IX, Dusun XIII, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan.

”Mereka berdemo lantaran mendapat
keterangan dari istri saya yang melihat saya di sel tahanan sudah dalam keadaan
luka-luka di bagian wajah,” kata Sarpan kepada Sumut Pos.

Sarpan memang menderita luka
memar di sekujur tubuh dan wajah sekeluarnya dari tahanan. Di dalam tahanan,
dia mengaku disiksa, dipukul, dan diinjak-injak. Wajahnya sampai babak belur.

Pria yang sehari-hari bekerja
sebagai kuli bangunan itu diperiksa polisi pada Kamis pekan lalu (2/7) dengan
status saksi. Pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Sidomulyo Gang Gelatik, Desa
Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan.

”Ternyata, sewaktu di dalam sel
tahanan disiksa dan diintimidasi dengan disuruh mengaku jika telah membunuh
Dodi Somanto,” lanjutnya.

Padahal, Sarpan justru saksi dari
pembunuhan terhadap pria 41 tahun tersebut. Polisi akhirnya juga menangkap si
pelaku sebenarnya, A. Pria 27 tahun itu merupakan anak pemilik rumah tempat dia
bekerja sebagai kuli bangunan.

”Saya sudah seperti ’binatang’ di
dalam sel tahanan,” kenang Sarpan.

Baca Juga :  Digempur Corona, Bertahan Hidup di Balik Kostum Badut Jalanan

Bahkan, saat diinterogasi, dia
dituding telah berselingkuh dengan pemilik rumah dan ketahuan oleh Dodi
Somanto. ”Dari itu, polisi mengira saya yang membunuh si korban. Padahal,
tudingan itu tidaklah benar,” terangnya.

Setelah kasus penyiksaan yang
dialami Sarpan itu, Kapolsek Percut Sei Tuan Komisaris Polisi Otniel Siahaan
dicopot. Selain itu, Kanitreskrim Polsek Percut Sei Tuan Iptu Luis Beltran
turut diperiksa dalam kasus tersebut. Sebagai pengganti Kapolsek, sementara
ditunjuk AKP Ricky Pripurna Atmaja yang sebelumnya menjabat Kanit Pidum
Polrestabes Medan.

”Iya benar, Kapolsek (Percut Sei
Tuan, Red) diserahterimakan,” kata Kabidhumas Polda Sumatera Utara Komisaris
Besar Polisi Tatan Dirsan Atmaja Kamis (9/7).

Dia mengatakan bahwa hingga saat
ini yang bersangkutan masih diperiksa Bidang Propam Polda Sumatera Utara.
Sanksi disiplin dan etik menunggu. ”Kita tunggu lah hasilnya, ya,” ujar Tatan.

Selain mencopot Kapolsek, Polda
Sumut menarik delapan personel polisi dari Polsek Percut Sei Tuan ke
Polrestabes Medan dalam rangka proses sidang disiplin.

Sarpan mengaku dipukul
bertubi-tubi selama ditahan. Dia juga mengaku disetrum. ”Setelah itu, dari
belakang ada beberapa orang menutup mata dan mulut saya, kemudian langsung
memukuli di bagian dada dan perut serta diinjak-injak orang yang di dalam
tahanan,” jelasnya sambil menangis.

Atas peristiwa itu, Sarpan
mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, dia benar-benar tidak mengetahui
mengapa dirinya disiksa.

Atas kebrutalan yang dialami
Sarpan itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menganggap kasus
tersebut tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun
sanksi etik kepada semua yang terlibat. Sebab, perbuatan para oknum polisi
tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga menjadi wajar jika mereka
dijatuhi sanksi pidana.

Baca Juga :  Dua Tiang Rumah Raja Dipakai buat Fondasi Musala

”Pemberian sanksi yang tegas
dalam kasus penyiksaan yang dilakukan aparat sipil negara perlu dilakukan untuk
menunjukkan adanya akuntabilitas, khususnya dalam hal ini pada institusi
kepolisian.” Demikian rilis resmi ICJR seperti dikutip dari situs resmi ICJR.

ICJR dalam penelitiannya pada
2019 juga menemukan bahwa dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus
yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati. Dalam penelitian mengenai
penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, ICJR mengulas salah
satu kasus yang sempat gempar pada 2016, yakni kasus Yusman Telaumbanua.

Yusman mengalami penyiksaan saat
penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama
kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam
menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman di Pengadilan Negeri Gunungsitoli,
Nias. Mahkamah Agung kemudian membatalkan vonis tersebut.

ICJR menemukan setidaknya 23
dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni
oknum penyidik melakukan intimidasi dan penyiksaan secara fisik maupun psikis
untuk mengejar pengakuan. Ironisnya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit
dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas
diatur dalam hukum acara pidana.

Tatan menyebutkan, Kapolda Sumut
Irjen Pol Martuani Sormin akan memberikan reward bagi anggota yang berprestasi.
”Tapi, juga akan menindak anggota yang melakukan kesalahan,” ujarnya.

Sarpan memang akhirnya bisa
pulang berkat unjuk rasa para tetangga. Dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk
memulihkan luka-lukanya. Dan, pasti butuh waktu lebih lama lagi untuk
mengenyahkan traumanya.

KALTENGPOS.CO – Kapolsek dicopot dan delapan personel Polsek Percut
Sei Tuan, Deli Serdang, pun menjalani sidang disiplin. Sarpan dibebaskan
setelah ada unjuk rasa warga.

MOH. IDRIS, Deli Serdang-DEWI LUBIS, Medan

SARPAN selamanya akan berterima kasih kepada para tetangga. Berkat
intervensi mereka, dia akhirnya lepas dari hari-hari penuh penyiksaan di dalam
tahanan polisi.

Pria 57 tahun itu dibebaskan 6
Juli lalu setelah sejumlah warga berunjuk rasa di Polsek Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Para warga itu tetangganya di Jalan
Sidomulyo Pasar IX, Dusun XIII, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan.

”Mereka berdemo lantaran mendapat
keterangan dari istri saya yang melihat saya di sel tahanan sudah dalam keadaan
luka-luka di bagian wajah,” kata Sarpan kepada Sumut Pos.

Sarpan memang menderita luka
memar di sekujur tubuh dan wajah sekeluarnya dari tahanan. Di dalam tahanan,
dia mengaku disiksa, dipukul, dan diinjak-injak. Wajahnya sampai babak belur.

Pria yang sehari-hari bekerja
sebagai kuli bangunan itu diperiksa polisi pada Kamis pekan lalu (2/7) dengan
status saksi. Pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Sidomulyo Gang Gelatik, Desa
Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan.

”Ternyata, sewaktu di dalam sel
tahanan disiksa dan diintimidasi dengan disuruh mengaku jika telah membunuh
Dodi Somanto,” lanjutnya.

Padahal, Sarpan justru saksi dari
pembunuhan terhadap pria 41 tahun tersebut. Polisi akhirnya juga menangkap si
pelaku sebenarnya, A. Pria 27 tahun itu merupakan anak pemilik rumah tempat dia
bekerja sebagai kuli bangunan.

”Saya sudah seperti ’binatang’ di
dalam sel tahanan,” kenang Sarpan.

Baca Juga :  Digempur Corona, Bertahan Hidup di Balik Kostum Badut Jalanan

Bahkan, saat diinterogasi, dia
dituding telah berselingkuh dengan pemilik rumah dan ketahuan oleh Dodi
Somanto. ”Dari itu, polisi mengira saya yang membunuh si korban. Padahal,
tudingan itu tidaklah benar,” terangnya.

Setelah kasus penyiksaan yang
dialami Sarpan itu, Kapolsek Percut Sei Tuan Komisaris Polisi Otniel Siahaan
dicopot. Selain itu, Kanitreskrim Polsek Percut Sei Tuan Iptu Luis Beltran
turut diperiksa dalam kasus tersebut. Sebagai pengganti Kapolsek, sementara
ditunjuk AKP Ricky Pripurna Atmaja yang sebelumnya menjabat Kanit Pidum
Polrestabes Medan.

”Iya benar, Kapolsek (Percut Sei
Tuan, Red) diserahterimakan,” kata Kabidhumas Polda Sumatera Utara Komisaris
Besar Polisi Tatan Dirsan Atmaja Kamis (9/7).

Dia mengatakan bahwa hingga saat
ini yang bersangkutan masih diperiksa Bidang Propam Polda Sumatera Utara.
Sanksi disiplin dan etik menunggu. ”Kita tunggu lah hasilnya, ya,” ujar Tatan.

Selain mencopot Kapolsek, Polda
Sumut menarik delapan personel polisi dari Polsek Percut Sei Tuan ke
Polrestabes Medan dalam rangka proses sidang disiplin.

Sarpan mengaku dipukul
bertubi-tubi selama ditahan. Dia juga mengaku disetrum. ”Setelah itu, dari
belakang ada beberapa orang menutup mata dan mulut saya, kemudian langsung
memukuli di bagian dada dan perut serta diinjak-injak orang yang di dalam
tahanan,” jelasnya sambil menangis.

Atas peristiwa itu, Sarpan
mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, dia benar-benar tidak mengetahui
mengapa dirinya disiksa.

Atas kebrutalan yang dialami
Sarpan itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menganggap kasus
tersebut tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun
sanksi etik kepada semua yang terlibat. Sebab, perbuatan para oknum polisi
tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga menjadi wajar jika mereka
dijatuhi sanksi pidana.

Baca Juga :  Dua Tiang Rumah Raja Dipakai buat Fondasi Musala

”Pemberian sanksi yang tegas
dalam kasus penyiksaan yang dilakukan aparat sipil negara perlu dilakukan untuk
menunjukkan adanya akuntabilitas, khususnya dalam hal ini pada institusi
kepolisian.” Demikian rilis resmi ICJR seperti dikutip dari situs resmi ICJR.

ICJR dalam penelitiannya pada
2019 juga menemukan bahwa dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus
yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati. Dalam penelitian mengenai
penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, ICJR mengulas salah
satu kasus yang sempat gempar pada 2016, yakni kasus Yusman Telaumbanua.

Yusman mengalami penyiksaan saat
penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama
kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam
menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman di Pengadilan Negeri Gunungsitoli,
Nias. Mahkamah Agung kemudian membatalkan vonis tersebut.

ICJR menemukan setidaknya 23
dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni
oknum penyidik melakukan intimidasi dan penyiksaan secara fisik maupun psikis
untuk mengejar pengakuan. Ironisnya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit
dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas
diatur dalam hukum acara pidana.

Tatan menyebutkan, Kapolda Sumut
Irjen Pol Martuani Sormin akan memberikan reward bagi anggota yang berprestasi.
”Tapi, juga akan menindak anggota yang melakukan kesalahan,” ujarnya.

Sarpan memang akhirnya bisa
pulang berkat unjuk rasa para tetangga. Dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk
memulihkan luka-lukanya. Dan, pasti butuh waktu lebih lama lagi untuk
mengenyahkan traumanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru